Depok, 15 September 2022.
Mekar Irma Sari, adalah nama panjangku. Biasa dipanggil Mekar atau Irma. Tapi mau dipanggil Mekar, Irma, atau Sari, aku tidak masalah. Selama masih nyambung dengan nama panjangku.
Hari ini adalah hari Jum’at pukul 11 siang. Aku yang biasanya ke sekolah naik motor dibonceng Mbak Inah, memutuskan untuk menaiki kendaraan umum, yaitu angkot. Karena suami Mbak Inah, Pak Ridho, sedang memakai motor yang biasa Mbak Inah gunakan untuk mengantar dan menjemputku ke sekolah.
Jarak antara sekolah dan rumahku tidak begitu jauh. Kami hanya perlu jalan ke depan hingga bertemu toko kelontong dan menunggu angkot 04 arah lurus untuk menuju SMA Makmur Jaya 1. Namun sedekat apapun sekolahku, kalau datangnya di jam yang pas-pasan, tetap saja bisa telat pas sampai di sana. Maka dari itu, aku dan Mbak Inah mempercepat langkah kami agar tidak terlambat.
Mbak Inah mengembok pagar rumahku, aku menunggunya di dekat pagar. Sambil sesekali melihat suasana di sekitar rumah. Kulihat sudah banyak murid dari sekolah bawah, yaitu SMK Setia Budi yang pulang lebih awal. Mereka pulang di saat aku harus masuk sekolah shift siang. Dari banyaknya murid yang lewat, ada satu orang yang membuat kedua bola mataku berputar dan fokus ke arahnya. Seorang yang menarik dan berbeda dari yang lainnya. Orang itu lewat bersama temannya. Perawakan mereka cukup berbeda. Dia, seperti cowok yang memiliki kepribadian dingin, gaya cool, dan anti cewek. Sedangkan temannya, seperti tipe-tipe siswa yang sering kena masalah. Berandal sekali tampangnya.
Sebelum mereka melangkah melewati rumahku, Mbak Inah sudah lebih dulu selesai mengembok pagar. Beliau menyuruhku untuk cepat bergegas agar aku tidak telat. Jadi aku dan Mbak Inah berjalan di depan mereka. Sayang sekali, aku tidak bisa melihat cowok dingin itu dengan jelas.
Selama di perjalanan menuju toko kelontong, aku dan Mbak Inah sedikit berbincang tentang sekolah SMK Setia Budi. “Mbak, sekolah Setia Budi itu bagus atau enggak ya?” Tanyaku dengan wajah was-was. Karena di belakang kami sedang ada murid sekolah Setia Budi tersebut. “Enggak tau, Kak. Tapi kata temennya Rini (anaknya Mbak Inah), si Hanifah, bilang kalau dia nyesel banget masuk sekolah Setia Budi. Mbak sih beneran enggak tau alasan pastinya. Tapi mungkin sekolahnya emang kurang bagus kali.” Kata Mbak Inah terus terang. Meskipun Mbak Inah memperlihatkan tampang serius, masih ada senyum-senyum iseng di wajahnya. Dia memang Mbakku yang suka berbuat jahil.
Tak terasa kami sudah mengobrol cukup lama, sampai-sampai toko kelontong berada di sebelahku. Bahkan aku sudah tidak bisa melihat tanda-tanda cowok cool itu lewat di depan kami atau berjalan ke arah mana. Ada perasaan menyesal di dalam dada karena tidak memerhatikannya lebih lanjut.
“Kak, naik angkot gih. Udah nyampe tuh.” Seru Mbak Inah dengan menunjuk angkot 04 yang masih kosong. “Lurus kan?” Supir angkot hanya mengangguk saja. Lalu aku pun masuk ke dalam angkot. Mbak Inah melambaikan tangan ke arahku. Lama-kelamaan angkot yang kutumpangi melaju cukup kencang. Hingga membuat pandanganku ke arah Mbak Inah mulai kabur dan menjauh.
Baru beberapa menit, angkot yang kutumpangi tiba-tiba ngerem mendadak. Membuat aku dan seorang wanita paruh baya spontan memajukan tubuh kami akibat tekanan pedal rem. Ternyata, angkot itu berhenti karena dua orang penumpang yang ingin masuk. Dua penumpang itu adalah siswa, oh tunggu, cowok cool dari Setia Budi yang tadi bersama temannya! Mereka masuk ke dalam angkotku dan itu berarti aku akan seangkot dengan cowok itu!
Hatiku senang bukan kepalang. Ingin rasanya aku berkenalan dengan cowok dingin itu, tapi suasana saat itu tidak memungkinkan kami untuk saling bertegur sapa. Akhirnya kuurungkan niat untuk berkenalan dengannya. Sampai waktu dan takdir yang menjawab, apakah aku dapat berkenalan dengannya atau tidak.
Tenangkan pikiranmu, Irma. Batinku dalam hati.
Angkot kami terus melaju. Aku duduk di dekat pintu keluar. Sedangkan dia duduk seberangan denganku. Tepatnya di sebelah temannya tadi. Selama di angkot, temannya tidak henti-hentinya mengajak ngobrol. Ia mengobrol tanpa ada jeda. Diam-diam kumelirik ke arah mereka, kulihat dia tidak merespon obrolan temannya. Kepalanya hanya menunduk seperti orang yang tidak peduli. Mungkin dia sedang tidak ingin di ajak ngobrol. Untung saja kuurungkan niatku untuk berkenalan dengannya. Bisa-bisa nanti aku dikacangi olehnya.
Di perempatan jalan, temannya keluar dari angkot dan melambaikan tangannya ke cowok cool itu sambil berkata, “Von, Gw duluan yak!” ‘Von’, adalah satu kata yang harus segera ingat baik-baik. Bukan karena suka, hanya saja rasa penasaran terkadang dapat melebihi rasa suka sekali pun.
Cowok itu masih di sana. Duduk tenang tanpa berkata apapun. Sekarang kepalanya sudah tidak ditundukkan lagi. Melainkan menghadap ke arah depan. Melihat jalanan yang dipenuhi orang-orang sedang berlalu lintas dengan kendaraan mereka. Aku yang masih menunggu untuk bisa sampai ke sekolah merasa sedikit bosan dan tidak tahu harus berbuat apa. Padahal bisa saja aku mengajak ibu-ibu tersebut untuk mengobrol bersama. Tapi aku malas untuk melakukannya. Lagipula ibu-ibu itu tidak menegurku sama sekali.
Sebuah ide muncul di pikiranku. Tepatnya ide gila yang berhubungan dengan cowok cool itu. Ide itu terlintas di pikiranku. Sampai aku sadari, bahwa mungkin inilah waktu yang tepat untuk berkenalan dengannya. Perkenalanku dibuka oleh menanyai nama sekolahku. Pertanyaan bodoh memang. Jelas-jelas terpampang bet bertulis SMK Setia Budi, masih juga kutanyai di mana sekolahnya. Menyadari seseorang menyapanya, cowok itu langsung mengarahkan kepalanya ke arahku. Memandang siapa yang menegurnya. Kini aku harus memulai pembicaraan tentang topik-topik yang masih seputar edukasi. Agar ia tidak curiga bahwa aku ini stalker.
“Ah, maaf mengganggu. Apakah aku boleh bertanya?” Kataku memulai pembicaraan. “Tentu, apa yang ingin kau tanyakan?” “Apakah sekolah SMK Setia Budi itu bagus?” Aih, pertanyaan macam apa ini. Mendengar pertanyaan konyolku tadi, cowok itu langsung tersenyum ke arahku. Matanya yang membidik dan menusuk hatiku seakan-akan dibuat lembut dan hangat. Ia memulai pembicaraan selanjutnya dengan lebih pelan dan teratur. Tanpa terkejut dan menjaga jarak.
“Sekolahku itu…” Cowok itu pun mulai bercerita banyak hal tentang sekolahnya, SMK Setia Budi. Kekurangan, kelebihan, sampai hal-hal yang menarik selalu saja ia ceritakan. Aku berusaha mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya agar jantungku tidak terus berdetak. Meski begitu, ada perasaan heran di hatiku. Mengapa dia menjadi lebih baik dan hangat? Bukankah dia adalah cowok yang terlihat seperti sedingin es batu? Entahlah, mungkin aku bukan orang yang merugikannya atau membuatnya kesal. Makanya dia berusaha baik kepadaku.
Di akhir pertemuan kami, aku harus turun dari angkot. Karena sekolahku pas sudah di depan mata. SMA Makmur Jaya 1. Namun sebelum benar-benar turun, aku sempatkan untuk bertanya dengannya tentang pertanyaan paling penting saat berkenalan dengan orang baru. “Btw, siapa namamu? Dan berapa kelasmu?” “Haha, sudah kuduga kau bertanya ini. Namaku Davon dan aku kelas 12. Kalau kamu?” Wih, kakel nih. Pikirku. “Aku Irma, kelas 11. Berarti aku adik kelasmu ya?” Belum sempat ia menjawab, supir angkot itu menegurku. “Jadi turun enggak, Neng?” Aku dibuat terkejut. “Hah, iya. Maaf, Pak. Eh, Davon sampai ketemu lagi ya.” Kataku sambil keluar dari angkot dan melambaikan tangan ke arahnya. Ia balik melambaikan tangan ke arahku.
Dan sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya sampai sekarang. Maka pertemuan kami kusebut sebagai, “Pertemuan singkat yang indah.”
Cerpen Karangan: Gladyta A. G. Instagram @glad_az Namaku Gladyta dan aku pemula. Apabila ada kritik dan saran, kamu bisa mengirim pesan kepadaku lewat IG yaitu @glad_az. Ditunggu ya