“Insan random, maksudku, ya, seperti manusia-manusia lain dalam hidup Sir dari Sir lahir hingga ada di sini; datang dan pergi, penulis cerita tapi juga pengakhir cerita. Kayak angin, datangnya dari mana; perginya ke mana; maksud kehadirannya apa tidak (bisa) diketahui secara pasti selain mengira-ngira. Kita bahkan gak bisa milih hendak memiliki cerita dengan siapa dan seperti apa, Seperti permulaan cerita kita, beserta dengan perjalanan ceritanya. Kadang aku berpikir, mungkinkah ada dimensi relasi yang lain dengan perputaran waktu yang terbalik? Mengapa aku mencintai seseorang yang sama sekali lain dari yang kuperkirakan dan diidealkan? Misalnya, seumuran.” Ingatkah engkau akan suratanku itu?
—
Memandangmu sebagai semburat mentari, ah, bagiku terlalu sempit lagi naif akan keluasanmu sebagai insan. Aku juga enggan terjerembab karena mengejarmu selangkah lebih maju dari semburat mentari yang memayungi teduh tatapmu dan lengkung senyummu bersama jeluk di pipimu tatkala kita saling bertukar pandang. Aku bersumpah, engkau indah dalam remang-remang, bak panorama angkasa malam di mana bintik-bintik cahaya bertaburan dengan acaknya.
—
Selamat ulang tahun! Lihatlah, kita sedikit mulai berjauhan lewat pertambahan usiamu. Jika saja aku masih bernafas hingga tahun depan, tepatnya di bulan kelahiranku dan tanggal kelahiranku, maka aku setidaknya selangkah lebih maju mengejarmu, meski kita tidak akan pernah dapat berdiri dalam tingkatan usia yang sama.
Kulihat, kau suka sinar matahari, apalagi ketika semburatnya mengetuk kaca jendela. Engkau mencarinya seperti bunga-bunga dan rerumputan di padang merinduinya. Sungguh, aku menyukai klise tentangmu itu. Tetapi, cahaya matahari yang kau sambut dan kau bukakan jendela di pagi hari itu sebenarnya adalah cahaya matahari beberapa menit yang lalu menurut perhitungan tahun cahaya. Tahun cahaya memang bukan soal waktu, melainkan jarak. Di titik itu, aku meragu terhadap waktu, termasuk konstruksinya pada perbedaan umur, antara aku dan kau.
“Jadi, begitu, Berry.” “Begitu bagaimana? Kamu mencintainya?” Aku mengangguk sembari melipat tanganku, melabur gugup dalam dadaku. “Mengapa wajahmu begitu?” “Begitu bagaimana?” “Gugup.” “Kami berbeda dalam banyak hal.” “Tepat sekali! Dan ironisnya, kalian terlihat bahagia bersama tepat di dalam perbedaan-perbedaan itu. Jadi?” “Aku heran, mengapa manusia merasa asing dengan perbedaan, sedangkan ia lahir dari perbedaan.” Imbuh Berry. “Lantas dari mana persamaan itu?” timpalku. “Dari cinta. Cinta tidak membuat perbedaan itu menjadi persamaan, tapi ia mencipta dorongan penerimaan dan karenanya lahir persamaan. Tetapi, perbedaan tetaplah perbedaan. Itulah mengapa cinta dituduh buta, tetapi dalam kebutaannya sekalipun ia celik dan mencelikkan. Cinta mempekerjakan setiap orang untuk melihat sesamanya bukan sebagai orang asing atau berbeda dengan dirinya sama sekali. Karena melihatnya sebagai orang asing akan mendorongnya untuk mengabaikannya, menyingkirkannya, atau bahkan melenyapkannya.” Tutup Berry. Ia melangkah pergi. Bayangnya perlahan luruh dari pandangku bersama lembayung dan bisu yang menyeruak di kepalaku. Senja sudah mulai merapat di cakrawala nan merana bersama hiruk-pikuk kota yang beringas oleh klakson yang saling berbalas. Sesak dadaku meraup semua bising itu. Agaknya, Berry benar, orang-orang ingin menghempas satu sama lain. Siapakah dalangnya?
—
Kutenggerkan kepalaku di kusen jendela. Kunarikan jari telunjukku, melukis konstelasi dan risalah hati di hamparan taman nirmala, di mana para pemain di alam mimpi bebas dari jari-jari telunjuk yang gemar mencucuk noda dan membuat manusia terasing dengan Tuhan. Pada sebuah animasi kanak-kanak bertajuk “In The Night Garden”, binar bintang-bintang di angkasa malam merupakan “taman” yang berhiaskan lampu-lampu. Di sana hanya ada keceriaan, kedamaian. Tidak ada kecemasan, tidak ada kebencian, tidak ada rasa bersalah, dan tidak ada tangisan. Mungkinkah itu nirwana?
“Tapi, di sana ada ledakan.” Kelakar Berry menyentak lamunku dari belakang. “Ledakan apa?” “Emm… Supernova?” “Itu, Betelgeuse. Kudengar, ia tak lama lagi meledak. Ia berangsur-angsur menua.” Imbuhnya. Senyap menaungi kami setelahnya dan membisu kami beberapa menit lamanya. Aku menghela nafas panjang dan meringkuk, membenamkan air mukaku yang keruh.
“Katakan padanya bahwa kau mencintainya.” “Selayaknya Betelgeuse yang kita lihat sekarang ini, kira-kira berjarak lima ratus tiga puluh tahun cahaya, maka, sebenarnya kesekarangan itu bukan sesuatu yang pasti juga. Di dalam misteri alam semesta, pasti ada yang berlaku terbalik untuk menjungkir balik insani dan membelenggunya dengan teka-teki abadi.” “Jadi?” “Sebenarnya, ia yang kau cinta itu boleh jadi seumuran.” seringai Berry. “Seumuran dengan siapa?” “Kamu dong. Karena dia yang kau pernah temui pertama kali, hingga dia yang kau saksikan, dengannya kau bertukar cerita, rahasia, dan keluhan saat ini, tidak lain merupakan dia yang lahir sekitar dua puluh sembilan tahun yang lalu sebelum sampai ke hadapanmu dan kau rengkuh dengan inderamu.”
“Jadi, apakah ini takdir?” “Takdir? Takdir sudah terlalu banyak ditunggangi kepentingan maknanya. Lagipula, ia terlalu pasti untuk realita yang gemar jungkir balik. Dibanding menyebutnya sebagai takdir, suatu kata sok polos yang sebenarnya tak lagi suci, aku terlebih suka menyebutnya sebagai ‘sebelum cahaya’” “Sebelum cahaya?” “Ya. Sebelum cahaya adalah dimensi ruang dan waktu yang sakral dan tak terjamah lagi tak terbantah. Aku, kamu, dia, mereka, semua dari kita sebagai insan yang katanya ‘pilihan’ untuk diadakan mengalami apa yang namanya kehidupan dan diseret oleh waktu kepada kematian, jauh sebelum itu, apakah kita bisa mendebat Allah dengan mengatakan ‘aku sepertinya tidak cocok dipilih untuk hidup’? Random. It’s completely random. Kalau absurd sih, enggak. Karena, semua akan perlahan sedikit lebih jelas dan masuk akal pada waktunya. Tetapi, persoalan randomness, siapa atau dengan apa ia hendak diterangkan atau dibantah? Dengan dogma? Bahkan, para petapa yang memenuhkan diri dengan dogma pun tidak bisa memastikan mengapa ia menderita luka A dan yang lain menderita luka B selain memukul ratanya dengan dalih ‘hidup adalah penderitaan’ lalu menekankan keberdosaan. Manusia sudah terlalu kenyang dengan paham akan keberdosaan, kesalahan. Penudingan terus-menerus membuatnya perlahan merasa terkhianati oleh ikhtiarnya menjadi baik dan pada titik tertentu meragu serta melihat Tuhan sebagai kemustahilan yang tak terkejar bahkan menjadi delusi terhadapnya. Tuhan itu dekat, ya, Ia ada dalam setiap hal random cerita kehidupan kita. Kamu tidak perlu selalu mengeras dalam kepastian, juga tidak perlu selalu berlarian bak dikejar tuduhan, apalagi memukuli sesamamu karena menurutmu ia bersalah. Ledakan di angkasa yang jelas-jelas meremukkan; keganasan planet-planet yang membuatnya tidak terbuka menjadi hunian pun tidak pernah saling menuding siapa yang jahat, siapa lebih baik, siapa yang salah, dan siapa yang pantas dilenyapkan? Sebelum cahaya. Ingat, sebelum cahaya.”
“Jadi, aku harus bagaimana, Berry?” “Memandangnya sebagai sebelum cahaya.” “Maksudnya?” “Tidak terbatasi usia, tidak terbatasi milik siapa, untuk siapa, salah siapa. Lagipula, malam akan tiba di mana tak akan setitik pun cahaya disisakan. Apa kata manusia tentang senja? Itu kan hanya rekaman manusia, seakan-akan ia tersimpan dalam toples ingatan dan kesan. Padahal, matahari saat terbenam dengan keindahan senjanya yang membuat pengunjung Taman Ewood berdecak kagum, beramai-ramai mengabadikannya, terbenam begitu saja, menjadi malam begitu saja. Seolah ia buta, ia tuli, ia begitu tak peduli. Adakah cahaya yang disisakannya atau mampu kita simpan di toples paling rapat sekalipun? Tidak. Cahaya Betelgeuse yang kita lihat saat ini, akan sirna. Tetapi, kesirnaannya sudah termaktub pada sebelum cahaya. Hanya saja, perhambaan manusia terhadap mata tidak bisa diandalkan untuk melirik ke dimensi sebelum cahaya.”
—
Berry meminta aku menuliskan ini untukmu, “Aku mencintaimu sebagai dan demi sebelum cahaya.”
Memang benar, dengan kacamata waktu, di bawah hukum matahari untuk pagi dan bulan serta bintang untuk malam, rentang usia kita berkisar dua puluh sembilan tahun. Titik. Angka itu tidak akan berubah, karena waktu tidak pernah mau mengalah. Maka, ketika engkau bertambah, aku pun harus bertambah. Tetapi dalam sebelum cahaya, kita adalah sama dalam keacakan dan taburan cinta yang entah untuk seduhan siapakah kemudian.
Sukoharjo, 21 Oktober 2022.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya Blog / Facebook: Jessica Tanya