Sore ini hujan telah mengguyur kotaku, senja yang biasanya terlihat sore ini telah tertutup oleh mendung, aku sedang di kamar menghadap kearah jendela menikmati hujan yang turun ke bumi ini, sejuk. Aku juga mendengarkan lagu favoritku sore itu, tiba-tiba ada sebuah pesan muncul dari handphoneku.
“Gua didepan,” isi pesan yang dia berikan untukku, aku langsung bangkit dari dudukku menuju kearah pintu setelah membaca pesan itu, aku lihat dirinya yang sudah basah kuyup terguyur hujan, mukanya pucat, tubuhnya menggigil, setelah melihat diriku dia langsung memeluk erat tubuhku, dia menangis dipelukku
“Kenapa?” tanyaku “Sasha selingkuh,” jawabnya dalam peluk kan ku sambil menangis, “Hustt.. udah udah” jawabku yang berusaha membuatnya tenang “Gua kurang apa ra sampek dia kayak gitu sama gua,” tangisnya makin pecah disini, Dia terus-terusan menangis dalam pelukkanku, aku sudah mencoba menenangkan-Nya beberapa kali namun itu semuanya sia-sia.
“Raka udah tubuh kamu menggigil kayak gini kamu ganti dulu nanti masuk angin,” ucapku khawatir dengan kondisi tubuhnya yang kedinginan, aku melepas pelukkan itu lalu menggenggam tangannya “Ganti ya?” ucapku, dia hanya mengangguk sebagai jawaban iya, dia mengganti bajunya dengan baju kakak laki-lakiku.
“Makasi ra,” ucapnya, lalu dia bercerita tentang pacarnya itu, aku sudah kenal raka sejak kelas 1 SMP, dari saat itu kami menjadi dekat, kami sering menghabiskan waktu bersama saling bertukar cerita tentang apa pun yang terlintas di kepala, aku menyukainya sejak saat itu tapi aku tak berani untuk mengungkapkannya, aku takut perasaanku malah membuat dirinya menjauhiku, hatiku sakit saat dia bercerita tentang wanita yang dia suka.
—
“Belum dijemput?” tanyanya padaku “Belum,” “Bareng gua aja,” ucapnya lalu menggandeng tanganku, Setiap dia menggenggam tanganku, aku merasakan perasaan yang berbeda, jantungku berdetak lebih cepat setiap dekat dengannya, 1 minggu ini dia sering menghabiskan waktu luangnya denganku berbeda ketika disaat ia mempunyai kekasih, aku akan terus menjadi rumah untuknya, tempat ia berlindung dan bercerita, meskipun dia lebih sering pulang ketika ia dalam keadaan keterpurukan, aku akan menerima dirinya apa adanya disaat duka maupun bahagia.
“Besok bisa jalan ga?” tanyamu diatas sepeda motor membuka obrolan “Gua cium aroma-aroma orang jomblo nih,” jawabku “Yang gua tanya bisa jalan gak bukan malah ngejek gua,” ucapmu “Bisa,” jawabku sambil tersenyum jahil “Yaudah besok gua jemput abis sekolah,” ucapmu “Akibat jomblo jadi ngajak gua jalan iya kan?” tanyaku “Ngaca lo juga jomblo,” jawabmu ketus yang berhasil membuatku ketawa “Gua mah dari dulu jomblo gak kayak lo gonta-ganti mulu,” jawabku “Makanya cari pacar,” jawabnya lagi, seandainya dia tahu kalau selama ini aku menunggu dirinya, mengharapkan dirinya “Mau gua kenalin sama temen gua,” sambungnya “Gak gua bisa cari sendiri lagian cewek cakep kayak gua mesti banyak yang mau lah,” jawabku bercanda meskipun hatiku terasa sakit ketika sampai sekarang dia belum sadar aku menaruh harapan padanya “Halah” jawabmu
Berminggu-minggu berlalu, aku bertambah semakin dekat dengan dirinya, semakin membuat harapanku menggebu-gebu, aku ingin dirimu menjadi milikku seutuhnya sampai kapanpun.
Sore ini hujan turun, aku bersama dirinya sedang berada di teras rumah menikmati segelas kopi hangat, yang sangat cocok dengan hawa yang dingin ini.
“Sasha chat gua lagi,” ucapnya padaku, sambil meminum secangkir kopi hangat buatanku “Isi chat nya apa?” tanyaku “Dia minta maaf sama gua,” jawabnya, aku cuman mengangguk mendengar jawabannya tadi “Gua balikan sama dia,” sambungnya.
Aku cuman bisa diam mendengar ucapannya yang berhasil membuat hatiku merasa nyeri, perasaan yang kupendam bertahun-tahun ini tak akan mendapat balasan, aku terlalu berharap bahwa dirinya akan menjadi milikku suatu saat nanti, kedekatan kita selama bertahun-tahun ini yang dia anggap cuman sebatas teman, aku terlalu berharap padanya sampai aku lupa bagaimana caranya untuk sadar diri, sadar bahwa bahagianya bukan denganku, dan dia sampai kapanpun tidak akan menjadi milikku.
Cerpen Karangan: Ajeng Laraswati