Lagi-lagi si gadis manis bermata sayu itu terlihat murung, hampir semua malam ia habiskan untuk duduk melamun di depan jendela kamarnya, Aara adalah gadis yang amat pendiam di sekolahnya, ia selalu menundukkan wajahnya terlebih ketika bersimpangan dengan lelaki yang bukan mahramnya.
“Aara, kamu kenapa sayang? Ibu perhatiin akhir-akhir ini kamu sering banget duduk melamun disini, kamu ada masalah nak? cerita sama Ibu!” Ibu menghampiri Aara yang terlihat sangat rapuh. “Eh Ibu, Ibu udah lama ya disini? Aara nggak papa Bu, cuma capek aja tadi abis ngerjain PR,” Dengan wajah polosnya ia membohongi Ibunya, hanya karena ia tak ingin melihat Ibunya khawatir.
Ghea Aara Az-Zahra, adalah anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari sosok Ayah, untung saja Ibunya mampu berperan sebagai Ibu juga sekaligus Ayah. Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat hendak pergi ke Rumah Sakit untuk melihat putri kecilnya yang baru saja lahir. Namun takdir berkemauan lain, setelah mengantarkan pelanggan ojeknya, tiba-tiba saja ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi yang merampas nyawanya. Ayah Aara sebagai tukang ojek karena dulu adalah orang yang selalu kesulitan dalam ekonomi, oleh karenanya Ayah Aara mencari pundi-pundi rupiah di jalanan dengan profesi sebagai tukang ojek, yang hanya menunggu orang yang membutuhkan jasanya yang hanya bermodalkan motor butut saja. Hanya sedikit orang yang sudi untuk meminta jasanya, mungkin hanya orang yang memiliki rasa belas kasihan yang tinggi saja.
“Bu, boleh gak Aara tanya sesuatu?” Dengan tatapan sendunya ia bertanya kepada Ibunya. “Boleh dong, Aara mau nanya apa sama Ibu?” “Ayah tu orangnya gimana si Bu? sampe-sampe Ibu gak mau nikah lagi dengan alasan Ibu mau tetep setia sama Ayah?” “Aara, dulu Ayah kamu tu meskipun orang susah dia memiliki rasa tanggung jawab yang penuh buat Ibu, Ayah kamu tu ibadahnya nggak pernah tinggal, terus meskipun penghasilan Ayah itu dalam sehari cuma tiga puluh lima ribu, dia tetep nyisihin buat shodakoh. Ibu tu salut banget pokonya sama Ayah kamu, dan Ibu juga banyak belajar segala macem dari Ayah kamu, intinya Ibu selalu do’a semoga kelak Aara dapet suami kayak Ayah ya.” Aara langsung menangis sembari memeluk Ibunya yang terlihat rapuh ketika mengenang sang Ayah. “Aamiin ya Buk semoga Aara seberuntung Ibu,” “Aamiin, yaudah sekarang kamu tidur, nggak boleh sedih-sedih lagi, oke?” “Baik Ibu, Ibu juga tidur ya,” “Iya sayang, Ibu ke kamar dulu ya, jangan malem-malem tidurnya, kan besok Aara harus sekolah.” Sembari menutup pintu kamar Aara. “Iya Ibu ku.”
“Yaallah kenapa Aara gak bisa mendem rasa buat Pak Attar ya? dan anehnya kenapa rasa ini tu harus ke Pak Attar gitu lo, kan nggak mungkin Pak Attar juga punya rasa buat Aara, secara kan dia Guru, tampan juga iya, terus pinter lagi, secara dia sangat terkenal akan semua prestasinya. Sedangkan Aara? Cuma anak pendiem, bodoh lagi.” Celoteh Aara sembari merebahkan tubuhnya di kasur empuk dan memandangi balkon kamarnya.
“Cukup sekian pelajaran kita hari ini ya, kita bertemu lagi minggu depan, insyaallah. Bapak akhiri Wasalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh,” “Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh Pak.” Jawab murid dengan serempak.
“Aara Bapak boleh minta tolong antarkan laptop keruangan Bapak ya,” Tentu saja Aara sangat terkejut karena baru saja namanya dipanggil oleh seseorang yang begitu ia kagumi. “Eee baik Pak,” Pipinya memerah.
“Assalamualaikum Pak, saya taruh sini ya Pak?” “Waalaikumussalam, iya Ra terimakasih ya,” “Sama-sama Pak, permisi Pak,” rasanya Aara tak mampu menahan pipinya yang semakin memanas, sehingga ia tergesa-gesa untuk meninggalkan ruangan tersebut.
“Sebentar Aara saya mau bicara, duduk dulu!” tentu saja wajah Aara semakin memerah, akhirnya ia pun duduk berhadapan dengan sosok lelaki yang sejak lama ia kagumi itu. “Aara, kan sebentar lagi kamu kelulusan, kamu punya rencana untuk melanjutkan dimana?” “Maaf Pak, Aara masih belum terfikir ke situ Pak, dan rasanya Aara juga sudah gak mampu buat mikir Pak, sekolah aja Aara selalu ranking akhir, Aara gak mau ngerasain minder lagi,” “Kamu tidak boleh seperti itu Aara, kamu gak boleh ngerasa kamu tu gak punya apa-apa, saya yakin kamu itu sebenarnya memiliki kemampuan terpendam, dan kamu malas untuk mengasahnya, sayang kalau kamu berhenti cuma sampai lulus SMA aja,” “Tapi kan Bapak tau kalau sosial saya itu kurang baik, saya itu orang yang sangat susah dalam beradaptasi, saya tidak menyukai keramaian Pak, saya juga jangankan untuk kuliah, Ibu saya nyari uang buat jajan saya saja kesusahan Pak, dan IQ saya juga Bapak tentunya tahu, tingkat kecerdasan saya dibawah rata-rata Pak, mana ada orang bodoh seperti saya bisa masuk ke Universitas?” Aara menimpali saran dari Attar, dengan nada seolah ia tersinggung, dan dengan semua jawaban Aara membuat Attar merasa bahwa ia sudah menyinggung perasaannya.
“Maaf kan saya Aara saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin kamu melanjutkan pendidikan kamu, mungkin di balik kamu yang introvert kamu memiliki skill yang bisa kamu kembangkan, bisa saja kamu kuliah mengambil jurusan sastra indonesia, dan kamu bisa jadi penulis hebat, masalah sosial saya yakin kamu bisa merubahnya, saya mohon pikir-pikir lagi,” “Terimakasih Pak, baik akan saya pertimbangkan lagi,” “Yasudah, kalau harapan saya kamu lanjutkan sampai ke perguruan tinggi, supaya nanti kamu bisa balik lagi ke sekolah ini, tapi sudah sebagai guru ya?” “Aamiin terimakasih atas saran dan do’anya Pak, kalau begitu saya pamit Pak, Assalamualikum.” Aara langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Akhirnya hari kelulusan pun tiba, setelah acara kelulusan selesai Aara pergi ke WC dan melihat ijazahnya, ternyata semua nilainya terbilang sangat rendah hanya nilai Bahasa Indonesia saja yang terlihat besar. Aara menangis tentunya sangat terpukul ia benar-benar merasa sangat kecewa kepada dirinya. “Ibu maafin Aara, Aara sampai detik ini belum bisa bahagiain Ibu, Aara yakin kalo Ibu liat nilai Aara, pasti Ibu kecewa banget sama Aara, untung aja hari ini Ibu nggak bisa hadir,” Aara menangis didalam kamar mandi sendirian dan memeluk erat ijazahnya.
Saat suasana sekolah masih sangat ramai, yang tersajikan momen-momen kemesraan antara orangtua dan siswa, sedangkan Aara memilih untuk pulang dengan alasan Ibunya tidak bisa datang.
Cerpen Karangan: Sri Wahyuningsih Blog / Facebook: Wahyu Ningsih TENTANG PENULIS Sri Wahyuningsih, Lahir di Tanggamus, Lampung Selatan. Pada tanggal 27 Maret Tahun 2002. Alumni SMP Islam Kebumen, SMK Darussalam Argomulyo, dan melanjutkan ke bangku kuliah di Universitas Pringsewu, Lampung. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Sangat hobi melakukan hal-hal yang berkaitan dengan karya sastra, seperti menulis cerpen, puisi, dan juga hobi membaca. Saat ini juga masih menjalani pendidikan non-formal di Pondok Pesantren Darussalam, Argomulyo, Lampung.