Dia selalu terlihat cantik karena dia memang cantik. Sejak 20 tahun yang lalu, sejak diriku berumur 5 tahun sampai sekarang dia tetap terlihat cantik. Sejak aku menjadi tetangga barunya, sampai dia akan menikah satu bulan lagi dia selalu terlihat cantik.
Tak dapat kupungkiri perasaanku. Aku tak pandai berbohong pada diriku sendiri. Aku memang mencintainya. Sangat mencintainya. Dari cinta monyet anak anak sampai menjelang dewasa rasa di hati ini tidak berubah walau secuil. Malah perasaanku padanya semakin membesar tak terbendung layaknya balon yang diisi udara.
Masa kecilku dihabiskan hanya dengannya, segalanya sangat menyenangkan bila bersamanya. Makan bersama, berangkat sekolah bersama, mengerjakan PR bersama, bahkan mandi bersama. Aku takkan lupa semua momen bersamanya. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa hidupku akan hampa tanpa dirinya. Aku menyadari aku sangat membutuhkannya. Dan pada saat itulah aku menyadari bahwa aku mencintainya. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengaku di hadapannya, bahwa aku mencintainya. Hingga dia hilang dalam genggamanku. Dia akan segera dimiliki oleh orang lain.
‘Tok tok tok!!’ Aku meyakinkan diri mengetuk pintu rumahnya. Beberapa menit kemudian seseorang membukanya, orang itu adalah dia. “Eh Adit, tumben pake ketuk pintu segala. Biasanya aja langsung nyelonong masuk!.” Ucapnya disertai tawa yang renyah. Tawa yang sungguh mendamaikan hati. Tawa yang membuatku kecanduan untuk melihatnya lagi dan lagi.
“Adit! Aduh lo kenapa sih?. Kok melamun!” Ucapnya membuyarkan lamunanku. “Eh enggak Yes, gue nggak melamun kok” ucapku disertai tawa yang canggung. “Ayo masuk!” Ucapnya. “Eh enggak, gue bentaran doang kok.” Ucapku. “Mau kemana sih, dan tumben banget lo aneh kayak gini.” Ucapnya lalu tertawa. Aku ikut tertawa. Aku mengusap tengkukku yang mulai terasa dingin.
“Maaf gue nggak bisa hadir di pernikahan lo, gue ada kerjaan di Kalimantan. Jadi gue mau pamitan sama lo.” Ucapku mulai menjelaskan maksud. Tiba tiba tawanya terhenti. Dia menatapku. “Harus banget ya Dit?. Padahal gue berharap lo dateng di pernikahan gue nanti. Lo udah gue anggap kaya kakak gue tau!” Ucapnya dengan mata yang mulai berkaca kaca. “Iya nggak bisa ditinggal. Gue harus kesana hari ini.” Ucapku. “Kenapa mendadak banget sih?, kenapa nggak ngomong jauh jauh hari?” Tanyanya. “Iya udah keputusan kantor kalo gue yang kesana.” Ucapku. Dia terdiam.
“Maaf ya Yes. Tapi gue selalu doa in lo kok, semoga lo hidup bahagia sama pilihan lo.” Ucapku. Dia mendongak. Menatap mataku, lama. Setetes air matanya jatuh. Dalam anganku, aku menyodorkan tangan mengusap air matanya. Tapi dalam kenyataannya kubiarkan dia terisak menangis, menghapus sendiri air matanya.
“Gue sayang banget sama lo Yes, sampai kapanpun gue tetap sayang sama lo, meskipun lo bakalan jadi milik orang lain. Gue bakalan bahagia kalo lo juga hidup bahagia.” Ucapku. Dia semakin terisak menangis.
“Sebelum gue pergi, biarkan gue memeluk lo Yes.” Ucapku memberanikan diri. Dia berusaha menghapus air matanya. Dia mengangguk. Aku seketika langsung memeluknya. Erat sekali. Dia balas memelukku sambil terisak menangis di dadaku. Jikalau aku tak memikirkan segalanya, aku berani bersumpah kalau aku tidak akan melepaskan pelukanku sampai kapanpun.
Pelukan ini terasa sangat hangat. Sangat menenangkan. Separuh hatiku terisi oleh kebahagiaan yang membuncah, sedangkan sebagian yang lain menjadi terasa sangat sakit. Mengingat aku tidak akan mungkin memeluknya lagi setelah dia menjadi milik orang lain.
Isak tangisnya masih terdengar, kutenangkan dia. Mengusap rambut panjangnya yang terurai. Aku masih ingat, dulu saat masih SD aku pernah memberinya bando berwarna pink karena aku amat menyukai rambut hitamnya. Dan bando berwarna pink itu amat cocok untuknya.
Setelah beberapa menit, aku melepaskan pelukanku. Mataku sedikit berkaca kaca, kuberanikah diri menatapnya. “Hidup bahagia terus Yes, agar aku juga hidup bahagia.” Ucapku. Dia mengangguk sambil tersenyum meski dengan air mata yang masih menetes. Kuulurkan tanganku menghapus air mata di pipinya. “Aku pergi dulu.” Ucapku. Dia dengan berat hati mengangguk. Kupeluk dia lagi dengan singkat. Tersenyum padanya. Lalu pergi dari hadapannya.
Hatiku hancur saat itu. Tapi aku akan merasa lebih baik jika dia hidup bahagia. Meski tidak denganku.
Sebulan kemudian Ponselku berbunyi. Ada pesan. Nama Yesi tertera di layarnya. Aku segera membacanya.
‘Makasih Dit, lo udah jadi sahabat terbaik gue. Gue bakalan hidup bahagia supaya lo juga hidup bahagia.’
Dia juga mengirimkan dua foto pengantin padaku. Dia dalam balutan gaun putih dan biru muda. Dia terlihat sangat cantik. Karena dia memang cantik. Aku tersenyum melihatnya. Lalu dibawahnya ada pesan lagi.
‘Gue tunggu lo juga menikah Dit, jangan kelamaan ya :)’.
Aku tersenyum membacanya. Bagaimana aku akan menikah jika hatiku saja dibawa pergi olehmu?. Tapi aku akan berusaha semampu diriku untuk membuka hati untuk wanita lain. Meskipun itu terlihat sangat mustahil.
Tamat
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Facebook: Selli Oktav Ya Ig: seliokta_vya21 Yt: beingyourself