Gedung-gedung bertingkat seakan terlihat pedih kala terik mentari menyinarinya tanpa ada yang mampu untuk menghalanginya. Aroma keringat yang berjatuhan ke aspal seakan melebur. Ditambah bau kotoran hewan, sayur mayur, buah-buahan dan lain sebagainya. Seumpama sudah akrab dengan hidung para pedagang di Pasar Wage ini.
Aku berjalan menyusuri setiap jalanan yang disisinya merupakan lapak para manusia mencari nafkah. Teriknya mentari begitu terasa menyengat tubuhku. Keringat menggelincir dari pelipis mataku.
Di sebuah toko, aku berhenti. Sejenak untuk mengumpulkan tenaga kembali seraya menyejukkan diri dari panasnya mentari. Tidak ada pemandangan berbeda yang kulihat. Hanya kendaraan roda dua dan empat berplat R yang lebih dominan berlalu lalang. Serta beberapa becak, truk, dan pejalan kaki yang ada di mataku.
Semuanya ada disini. Aku sadar, beginilah hidup. Tidak seumpama membalikkan telapak tangan. Ya, terlihat mudah jika dilihat. Lihatlah tukang parkir, sopir angkutan, serta pedagang asongan itu. Mereka terlihat bercanda ria bersama teman seperjuangannya. Namun, ada rasa letih di benaknya yang tak mampu dilihat oleh mata manusia. Mungkin memang mudah, namun kalau melakukannya pastilah menyerah.
Aku belajar banyak, meski tidak ada yang mengajariku. Inilah yang dinamakan belajar hidup. Bercampur satu dengan orang lain yang entah bagaimana latar belakangnya.
Aku masih duduk sendiri sembari menunggu kakakku yang katanya akan menjemputku di Pasar Wage ini. Lalu seorang bapak dengan dagangan es brasil dan kacang goreng mendekatiku. Mencoba menawarkan dagangannya padaku.
“Es brasil mas?” katanya dengan ramah. “Mboten, Pak.” Kataku dengan logat Banyumasan sembari tersenyum padanya. “Oh nggih,” jawabnya yang membalas senyumku. Kemudian pedagang itu berlalu di hadapanku. Mencoba menawarkan dagangannya kepada orang lain.
Aku mencoba untuk merogoh ponsel di dalam tasku. Tidak ada pesan ataupun panggilan untukku. Aku simpan kembali ponselku di dalam tas. Jam sudah menunjukkan 14.00 sudah cukup lama aku menunggu. Namun yang ditunggu tak kunjung datang.
Mataku kembali melihat ke depan, ketika sebuah angkutan berwarna hijau melintas di jalanan. Tidak ada yang berbeda. Angkutan itupun terlihat sama dengan angkutan hijau yang lainnya. Hanya saja, ada sesuatu yang membuatku enggan untuk mengalihkan pandangan.
Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dibalut dengan jilbab yang menutupi kepalanya seakan membuatku merasa adem kala memandangnya. Gadis itu terlihat serius dengan buku yang sedang dibacanya. Hingga akhirnya gadis itu memalingkan muka dan melihatku.
Dia tersenyum seraya mengangguk pelan padaku. Padahal jarak kami cukup jauh. Aku terpelongo, diam tak berdaya. Senyumnya seakan membuatku sejuk di tengah panasnya sengatan matahari. Aku menunjuk diriku sendiri padanya. Maksudku, apakah dia tersenyum padaku atau pada orang lain. Gadis itu mengangguk kembali. Oh betapa bahagianya diriku, lihatlah senyumnya. Sungguh, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ibarat berdiri di padang pasir kemudian Allah turunkan hujan untukku.
Beberapa saat kemudian, angkutan hijau yang membawanya terlihat akan melaju kembali. Gadis itu tersenyum sembari melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya. Kemudian angkutan itupun segera pergi dari hadapanku, bersama dengan perginya gadis itu. Seakan hatiku tidak rela jika gadis itu pergi.
Setelah mobil hijau yang membawa gadis itu pergi tidak terlihat kembali, tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Aku yang sepertinya melamun sedikit tersentak. Kaget. Aku menoleh ke arah seseorang yang memanggil namaku. Itu kakakku. Kakakku datang untuk menjemputku. Aku segera menghampirinya dan pulang bersamanya.
Akankah aku berjumpa dengannya? Dengan gadis penumpang mobil hijau itu? Setiap hari aku datang kesini, ke Pasar Wage ini. Aku rela menunggu jemputan kakakku yang terlampau lama demi untuk bertemu kembali dengannya. Melihat kembali senyum manis di wajahnya yang anggun.
Namun, tidak untuk hari ini. Beberapa mobil hijau telah berlalu di hadapanku, tapi tidak kunjung kutemui senyum itu. Senyum yang mampu membuatku selalu ingat dengan dirinya. Senyum yang mampu menyejukkan hatiku.
Aku tidak tahu dia dimana. Apakah gadis itu masih setia naik angkutan hijau seperti biasanya? Siapa gadis itu? Dimana sebenarnya ia berada? Kenapa aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya? Sungguh, jika ku mampu akan kutunggu gadis mobil hijau itu. Sekedar untuk melihat kembali senyumnya.
Mesem mu wis gawe nyong bungah. Mesem mu gawe nyong kangen. Kangen pengin ketemu karo ko maning. Witing tresna jalaran saka mesem mu.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana