Sidoarjo, 11 Juni 2016 – Belum sembuh sempurna diriku dari penyakit demam berdarah yang kuderita sejak tanggal 7 Mei. Tubuhku masih setengah lemas. Namun aku mau tak mau harus pergi untuk mengikuti tes masuk MAN. Hari itu adalah kesempatan terakhirku supaya bisa diterima di sekolah negeri.
Aku datang ke sana dalam keadaan lemah. Padahal aku sedang tak berpuasa di hari itu. Ya, jadi kala itu sedang bertepatan dengan bulan puasa. Aku juga merasa minder saat datang ke sana meski tiada yang tahu kalau aku sedang tidak berpuasa. Tidak ada yang tahu kalau aku baru saja habis sepiring nasi dengan telur ceplok goreng.
Kulihat para siswa datang bersama teman-teman mereka. Saling memberi semangat serta bercanda tawa. Namun apalah dayaku? Sudah datang diantar, masuk sendiri, gak ada yang kenal sama siapapun pula. Aku seakan-akan mengikuti ujian namun tanpa ada dukungan dari siapapun.
Aku lalu masuk di salah satu ruangan yang letaknya tepat berada di bawah masjid. Tiada satu yang kukenal. Wajah mereka nampak asing bagiku. Aku mendapat tempat duduk di bagian depan pojok kanan. Benar-benar bingung aku kala itu. Waktu itu aku masih sendirian di bangku. Walhasil, jadi bengong deh. Mau ngobrol sama anak lain gak ada yang kenal. Mau buka-buka buku, males. Rasanya otak susah mikir. Maklum masih separuh sakit.
Beberapa saat kemudian, ada seorang cewek dari SMP lain duduk di samping bangkuku. Sekilas kulihat, dia lumayan cantik. Aku jadi gugup dan grogi. Di kerudung putihnya kulihat bordiran yang membentuk tulisan “SMPN 1 Taman”. Pikirku, jauh-jauh dari Taman belain kesini ya. Gak apa-apa. Namanya juga berjuang mengadu nasib demi sekolah negeri. Sama sepertiku.
Kami tak ngobrol apapun selama ujian dimulai. Kami hanya bergerak untuk sekadar menyalurkan lembar ujian serta lembar absen. Ya, itu seminimalnya kami berinteraksi. Begitu terus sampai hari kedua. Dan di hari ketiga, dia hanya bicara sedikit hal padaku. Tak jauh dari topik ujian. Sebentar saja, setelah itu kami berdua saling diam kembali. Itu pun dia yang memulai obrolan. Padahal bisa saja dari awal aku mengajak cewek itu ngobrol banyak.
Saat ini, tahun 2022, kalau aku mengingat-ingat kembali, sayang juga ya. Aku telah menyia-nyiakan kesempatan emas. Padahal kalau bisa akrab kan lumayan. Dulu aku ingat, banyak kawan sesekolahnya yang juga mengikuti ujian di MAN. Dia cukup akrab dengan kawan-kawannya. Aku bisa mendengar tawanya yang beriringan dengan suara langkahku yang pergi meninggalkan kelas di bawah masjid itu. Jika saja dia membaca tulisanku ini. Asal kau tahu, diammu saja mampu memikatku, Sinta.
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falih Winardi