Di sepertiga malam di saat dunia terlelap dan terbuai oleh mimpinya. Ia meraih sajadah dan sebuah tasbih. Berdiri menghadap kiblat mendirikan tahajud. Air matanya tumpah seiring bibirnya bergerak. Ia tergugu di atas sajadahnya dengan memeluk erat al qur’annya. Mengucapkan beribu zikir dengan perasaan yang teramat pilu. Ia mengangkat tangannya berdoa kepada yang kuasa agar orang yang dicintainya kembali dengan selamat. Bahkan semestapun tau pemuda itu tidak pernah mengenalnya apalagi mencintainya. Tak pernah saling menyapa atau berjumpa tetapi, ia tak pernah berhenti mencintai pemuda itu.
Ia tahu pemuda itu telah mencintai seseorang yang lebih baik dari segi apapun dari pada dia. Namun, hatinya tak pernah bisa diajak berdamai. Berulang kali terluka berulang kali tersakiti tapi, ia tetap saja bertahan dengan penuh keikhlasan. Semenjak pemuda itu diberangkatkan satgas ke perbatasan negeri, ia tak pernah meninggalkan tahajudnya. Pemuda itu adalah seorang prajurit, ia adalah seorang abdi negara. Sama seperti sebelumnya gadis itu membaca alqur’an dengan isakan tangis yang terdengar sangat pilu. Ia berharap tuhan tuhan kan mengabulkan doanya meski pemuda itu tidak akan pernah menjadi miliknya.
Tepat di perbatasan sana tampak seorang pemuda tengah berjuang melawan maut. Sebuah peluru merobek perut kirinya, ia roboh di hadapan rekan rekannya.
“Sersan faris!” teriak seniornya. “DANRU!!!” teriak yang lainnya.
Pemuda itu mengatur nafasnya berharap rasa sakitnya kan berkurang. Darah segar terus mengucur membasahi baju lorengnya. Tiba tiba semua berubah menjadi gelap dan ia mendengar suara wanita tengah berzikir sambil terisak pilu. Tiba tiba hatinya berdesir padahal ia tau itu bukan suara kekasihnya. Ia bingung apa yang sedang terjadi dan siapa gadis itu. Ia meletakkan senjata dan bangkit. Ia baru sadar ia tidak merasakan sakit lagi ia meraba perut kirinya di sana juga tidak terdapat noda darah. Lalu ia mendengar suara itu lagi suara itu terdengar kian nyaring seiring kakinya melangkah seolah ia semakin dekat dengan suara itu.
“Apa yang sedang kau cari?” ia terkejut dan berbalik ke belakang dan melihat seorang anak laki laki yang sangat mirip dengannya. “Siapa kamu?” tanya pemuda itu. “Ikut aku.” ujar anak laki laki itu sambil menarik tangan pemuda itu.
Pemuda itu berjalan mengikuti anak laki laki itu. Suara itu terdengar semakin dekat dan ia merasa ia seperti pernah mendengar suara itu. Anak laki laki itu berhenti dan menunjuk kearah seorang gadis yang tengah duduk bersimpuh di atas sajadah. Seketika ingatannya berputar pada bulan ramadhan tahun lalu. Sekarang ia ingat gadis itu adalah gadis yang ditemuinya di setiap sore hari di bulan ramadhan.
“Tangis itu untukmu,” pemuda itu tersentak mendengar ucapan anak laki laki itu. “Apa maksudmu?” tanya pemuda itu lagi. “Bila engkau kembali nanti ingatlah karna air mata gadis itu tuhan menyelamatkanmu dari kematian. Ketulusan cintanya membuat nyawamu selamat,” ujar anak laki laki itu, pemuda itu menatap gadis itu lagi dan di hatinya terdapat rasa sedih yang teramat dalam.
“Dan lihatlah di sana.” tunjuk anak laki laki itu. Pemuda itu melihat ke arah sudut yang lainnya tampak seorang wanita tengah bersantai di atas tempat tidurnya sambil memainkan ponselnya. Wanita itu adalah orang yang dicintainya. Pemuda kembali melihat kearah gadis itu. Sesegukannya tampak semakin menjadi jadi, bahkan terdengar begitu menyakitkan. “Kamu sekarang tahu kan siapa yang mencintaimu dengan tulus?” belum sempat ia menjawab anak laki laki itu telah menghilang dan semuanya pun ikut menghilang rasa sakitnya pun kembali terasa sakit. Namun, suara gadis itu berzikir masih terdengar jelas di pendengarannya. Ia membuka matanya dan tampak ia berada di camp pengobatan. Ia melihat ke sekelilingnya di sana hanya terdapat seorang seniornya.
“Bang arif,” panggilnya pada pemuda yang berpangkat letnan dua itu. “Faris,” ujar pemuda itu. “Apa sakit?” tanya pemuda itu dan dibalas gelengan oleh Faris. “istirahatlah,” ujar pemuda yang bernama arif itu.
“Boleh saya tanya sesuatu bang?” tanya Faris. “Tentu,” “Apa abang masih ingat gadis yang sering kita jumpai bulan puasa tahun lalu tempat kita membeli untuk bukaan puasa itu?” tanya Faris. “Gadis? Tunggu saya ingat dulu,” “Kenapa?” tanya Arif lagi. “Tiba tiba saya teringat akan dia,” “Ya, saya ingat gadis remaja itu kan?” “Iya, apa abang tau namanya?” “Tidak, tapi sepertinya saya tahu di mana untuk mengetahuinya.” Arif meraba saku celananya dan mengambil ponselnya. Dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. “Gadis ini maksudmu?” tanya Arif. “Iya dia,” “Sepertinya namanya Khalisa,” ujar Arif dan jelas terlihat senyum senang terpancar dari wajah Faris.
Beberapa bulan kemudian… Tampak semua prajurit satgas tengah berkemas mereka akan kembali ke batalyon masing masing. Faris menatap ponselnya dan tersenyum sendiri lalu ia menelepon kekasihnya.
“Hallo, assalamualaikum dek,” sapanya. “Waalaikumsalam ada apa bang?” tanya wanita di seberang sana. “Abang cuman mau bilang besok gak usah jemput abang ya sesampainya di sana abang juga mau membicarakan sesuatu,” ujar Faris. “Kok gitu bang? Kan abang juga bisa bicara langsung di sini kenapa harus besok coba,” ujar wanita itu seolah tak terima. “Abang mau membicarakan hal penting jadi harus empat mata adek,” jelas Faris.
Faris telah yakin seratus persen untuk mengakhiri semuanya. Ia berharap ini merupakan keputusan terbaik, ia menggenggam erat kotak kecil berbentuk hati berwarna beludru tersebut. Isi dari kotak itu awalnya diperuntukkan kepada kekasihnya. Namun, sekarang isi kotak itu akan diberikan untuk gadis yang telah menyelamatkan hidupnya itu.
“Belum pulang udah telepon cewek aja kau ris,” ujar teman satu lettingnya. “Aku mau mengakhirinya,” jawab Faris. “Serius kau cewek secantik dan sebaik itu,” “Iya dia memang baik dan cantik tapi ada seseorang yang tulus tengah mempertaruhkan hatinya antara bahagia atau kembali dihancurkan,” “Siapa dia,” “Dia yang tak pernah kusadari ketulusannya,” “Macam tau aja kau,”
Faris tersenyum lalu memasukkan kotak itu ke dalam tasnya. Ia menyangkutkan tasnya ke atas bahunya dan berbaris berjalan keluar dengan yang lainnya. Ia memandang truk truk tentara yang akan membawanya dan rekan rekannya ke pelabuhan. Sebentar lagi ia akan menemui gadis itu sebelum terlambat.
Akhirnya setelah melalui beberapa hari di perjalanan ia sampai di kota tempat ia berdinas. Ia menghirup udara dengan sangat dalam. Ia menatap keluar tampak ada beberapa perbedaan. Delapan bulan ia pergi membuat ia sangat merindukan kota ini. Reo berhenti tepat di lapangan batalyon semuanya bersiap untuk turun menemui keluarganya masing masing.
‘Khalisa tunggu aku datang.” ujarnya dalam hati sambil menapakkan kakinya ke atas tanah.
DEG
Disana di tengah terik matahari seorang gadis menghentikan aktivitasnya. Dadanya terasa sesak jantungnya berdegub dua kali lebih kencang. Tiba tiba ia teringat akan Faris, ia mengira Faris tengah dalam bahaya. Ketakutan mulai menerpa hati dan pikirannya. Ia menghentikan seluruh aktivitasnya dan berjalan ke tempat yang teduh. Ia tidak tahu bahwa Faris telah kembali. Hatinya menjadi was was ia berharap Faris akan baik baik saja.
Seminggu kemudian… Tepat pukul 18.00 wib Khalisa mengakhiri semua aktivitasnya. Hari ini adalah hari di mana ia menjalani ujian sabuk coklat karate tingkat akhir. Setelah melaksanakan upacara penutupan mereka semua berpamitan karna akan kembali ke daerah masing masing.
BRUAK AW… Khalisa meringis menahan sakit di tulang keringnya. Tampak tulang keringnya langsung membiru dan bengkak. Tanpa sengaja rekannya menendang kaki Khalisa dengan sangat kuat. Sang pelatih pun langsung memberi intruksi pada anak didiknya untuk tenang. Ia mencoba memeriksa kaki Khalisa dan tampak wajahnya sangat terkejut.
“Patah,” ujarnya membuat semua orang menatap sang pelaku. “Cepat bawa ke rumah sakit.” perintah sang pelatih kepada salah seorang anak didiknya yang telah dewasa. “Ada apa?” tiba tiba Faris datang menghampiri mereka. Ia baru saja sampai di kodim dan melihat semua orang berkumpul dan terlihat panik. “Kakinya Patah,” jawab salah satu senior khalisa membuat atensi Faris mengalih kepada Khalisa. “Biar saya bawa ke rumah sakit kalian jemput ibunya saja.” ujar Faris sambil mengangkat tubuh Khalisa.
Semuanya seperti mimpi jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Saat ini ia berada dalam pelukan pemuda yang dicintanya. Harumnya dapat dicium dengan sangat jelas, bahkan detak jantungnya terdengar sangat jelas. Rasa sakit itu seolah hilang dari kakinya, ia tak lagi merasakan rasa sakit. Tanpa sadar setetes air matanya jatuh ia tidak tahu entah apa yang dirasakannya.
“Sangat sakit?” tanya Faris dengan lembut. “Hmmm…” jawab Khalisa, jujur ia tak dapat membuka mulutnya. Ia takut bibirnya yang gemetar akan mengeluarkan isakan. “Tenanglah lima menit lagi sampai.” ujarnya sambil menarik kepala Khalisa ke dalam pelukan hangatnya.
Pertahanan gadis itu runtuh ia tergugu dalam diam. Bukan rasa bahagia yang ia rasakan melainkan rasa sakit yang teramat dalam. Faris menggenggam erat tangan Khalisa seolah takkan pernah dilepaskannya lagi.
Setelah menunggu beberapa waktu akhirnya Faris diizinkan untuk menemani Khalisa. Ia melihat gadis itu tampak sangat damai. Ia duduk di samping brankar Khalisa dan menyentuh surau hitam gadis itu. Khalisa membuka matanya merasakan sebuah tangan menyentuh pucuk kepalanya. Faris tersenyum hangat memandang mata indah Khalisa.
“Siapa namamu?” tanya Faris. “Khalisa,” jawab Khalisa. “Berapa usiamu?” “20 tahun,” “Sudah punya pacar?” “Belum,” “Kenapa belum padahal kamu sangat cantik,” “Saya sedang menanti seseorang,”
“Pemuda yang kamu selamatkan di sepertiga malam itu?” “Maksud abang?” “Saya lihat dari usiamu sudah cocok untuk menikah maukah kamu menjadi ibu persitku?”
“Abang bercanda kan?” “Saya Serius.” Faris mengeluarkan kotak beludru itu dari saku celananya dan membukanya di hadapan Khalisa. “Maukah kamu menikah denganku?” Khalisa terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Faris.
“Apa yang abang lihat dariku hingga memintaku menjadi istrimu sedangkan aku anak orang miskin dan juga tidak punya pendidikan tinggi aku juga tidak punya kelebihan apapun,” Faris menggenggam erat tangan Khalisa menyalurkan sebuah kehangatan padanya. “Saya mencintai kamu yang seperti ini bukan kamu yang memiliki ribuan kelebihan,” jawab Faris membuat air mata Khalisa jatuh tak terkendali.
“Dek, tetaplah cintai abang seperti sebelumnya dan jadilah istri abang tanpa harus mengubah apapun darimu,” “Apa abang yakin?” “Ya, tentu saja abang tidak ingin kehilangan kamu,” “Abang janji abang akan terus bersamamu akan terus mendukungmu meski abang tidak selalu berada di sampingmu,”
“Sembuhlah dengan cepat setelah itu kita pengajuan dan menikah.” Faris memasukkan cincin emas itu ke jari manis Khalisa yang menandakan gadis itu akan menjadi miliknya.
Khalisa menatap jari manisnya disana telah melingkar sebuah cincin emas. Perjuangan dan harapannya membuahkan hasil yang sangat manis. Seseorang yang mustahil ia miliki kini melingkarkan cincin di jari manisnya. Sepertiga malam menjadi saksi perjuangannya dalam memperjuangkan cintanya.
Faris mengecup singkat punggung tangan Khalisa. Hatinya terasa damai seolah ini adalah keputusan terbaik yang pernah ia lakukan. Hingga tiba waktu keduanya telah sah menjadi suami istri. Pedang porapun dilaksanakan dengan hikmat. Gadis itu telah memenangkan cintanya. Kini di sepertiga malam ia tak lagi meminta agar pemuda itu menjadi miliknya. Namun, ia meminta agar pemuda itu dijaga di manapun ia bertugas. Saat ini ia tidak lagi berada di fase mengikhlaskan tapi, ia berada di fase memiliki ia telah menjadi pemenang sejati.
TAMAT
Cerpen Karangan: Khalisa Blog / Facebook: Khalisa Airlangva