Tidak! Momen itu datang lagi. Momen yang paling tidak disukai seorang wibu nolep seperti Abhirama Hansensyah alias Bima. Yakni acara reuni keluarga besar. Hari ini dia harus ikut keluarganya ke acara reuni keluarga yang berlokasi di rumah Pakde Markijo, pamannya.
Bima sebenarnya malas berkumpul-kumpul dan lebih suka berdiam diri di rumah sambil ngewibu. Tapi Dedi Sugardi, ayahnya, memberitahunya bahwa menjalin kekeluargaan itu penting. Bahkan karena sikap Bima yang demikian, dia kurang akrab dengan dua sepupu terdekatnya yakni Mentari dan Surya.
“Surya? Ah, dia lagi! Ndak ah! Bocil kematian itu dulu suka menggangguku!” “Halah, itu kan dulu. Surya sekarang kan sudah gede. Udah kelas 5! Ayolah, Nak. Apa kamu lebih mementingkan duniamu yang semu dibandingkan dunia yang nyata? Keluar dan jalinlah hubungan baik dengan manusia, bukan dengan tokoh kartun.” “Iya deh, yah. Tapi lama gak?” “Ya, ayah gak tau. Eh tapi kamu tau gak? Saudara kamu itu banyak yang sukses. Bahkan yang cewek sekarang makin cakep lho. Siapa tahu, kamu bisa kenalan dengan mereka. Ayo ikut ya!” “Iya deh, Bima mandi dulu. Gak lama kok.”
Sugardi terpaksa mengatakan hal itu supaya Bima lebih punya semangat dalam menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar yang hanya bertemu dua tahun sekali. Yakni disaat awal tahun serta hari lebaran. Mereka sekeluarga akhirnya berangkat jam 9 pagi.
Setibanya di rumah Pakde Markijo, Bima mulai tidak nyaman. Saudaranya banyak sekali yang datang. Mulai dari anak-anak, bapak, ibu, remaja, serta lansia. Tak banyak yang Bima kenal, sampai akhirnya dia melihat seorang cewek yang sangat cantik sedang memegang gawai di depan kipas angin.
“Nah, Bima, kamu duduk dulu, ayah sama ibu mau ketemu Budhe Markijo.” “Duduk dimana yah?” “Itu di dekat kipas angin kan kosong, nah kebetulan itu ada sepupumu, Kak Mentari. Eh tapi Surya kemana ya?” “Ooo… itu sepupu aku? Lah? Kok udah berubah banget mukanya? Iya deh, yah. Aku duduk duluan ya!!!”
Keloyoan Bima mendadak habis. Nama serta sosok karakter anime yang sangat dia idolakan seketika terlupakan. Di pikirannya kini hanyalah seorang cewek bongsor yang cantik dengan rambut hitam sepanjang bahu. Siapa lagi kalau bukan Mentari? sepupunya sendiri. Bima benar-benar grogi dan tidak tahu harus berbuat apa selain duduk. Mau ngobrol tapi bingung karena gak ada topik, mereka udah lama gak ketemu, usianya juga lebih tua dua tahun daripada Bima. Jadi berasa agak kagok. Apalagi Mentari itu cantiknya kebangetan menurut pandangan Bima. Tak lama kemudian, Surya datang dengan membawa mainan lato-lato tektek-nya dan salah satu bijinya tak sengaja mengenai kepala Bima.
“Tektektek…tok…” “Aduh!” “Eh, maaf. Gak tau aku, kak. Eh, Kak Bima! Kok baru datang kak?” “Kamu lagi, Sur! Sakit kena bijinya keras itu! Aduhhh…” “Surya! Dibilangin jangan main itu waktu ada banyak orang! Gimana sih? Gak kakak kasih jatah lagi kapok kamu!” “Iya deh Kak Mentari, latonya aku simpan dulu…”
Jatah? Apa maksudnya? Bima mendadak bingung. Entahlah. Yang jelas kini Bima akan mencoba ngobrol dengan Mentari, sepupu yang sudah jarang bahkan tidak pernah bertemu. Bima mencoba mengingat kembali pertama kali mereka bertemu di usia 7 tahun.
Jadi, kala itu tahun 2006, Pak Dedi Sugardi, ayah Bima, kedatangan tamu di rumah. Tamu itu terdiri dari sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan. Bima belum tahu siapa mereka, sampai pada akhirnya ayah dan ibunya memperkenalkan mereka kepada Bima.
“Nak, ini Pakde sama Budhemu. Ayo coba kenalan.” “Duh ponakan kita udah gede ya, pak!” “Iya, kayaknya barusan lahir. Udah gede aja. Hehehe. Namanya siapa ini?” “Bima!” “Ooo, Bima namanya. Ayo, kak. Coba kenalan, ini sodara kamu! Ayo!” “Aku… M-mmm…” “Ih, dia malu-malu, bu! Hahaha!” “Kak, gapapa. Bima gak nakal kok. Bima anak baik ya kan? Ayo, nak. Namanya siapa?” “Mmm… Mentari!” “Ah, pinter! Ayo kalian main sana!”
Bima kembali mengingat segala kenangan itu. Biar kata dia dan Mentari itu berbeda jenis kelamin, tapi dia ingat sekali kalau Mentari dulu mau diajak main apa saja. Begitupun dengan dirinya. Main sepak bola bareng, main bola bekel bareng, petak umpet, bahkan yang paling mengenang di saat setelah main hujan sekaligus main air, mereka mandi bersama di sumur belakang rumahnya. Bima mengingat juga kala mereka dulu sedang berantem karena suatu hal. Mentari lantas melapor ke ayah dan ibunya. Para orangtua lalu menyuruh mereka saling bermaafan. Lucunya, di saat bermaafan Mentari bukannya berjabat tangan, dia malah memeluk Bima dengan erat.
“Ah… mantap… andai sekarang kejadian itu bisa terulang lagi…” “Hei, ngomong sama siapa kamu?” “Eh, ndak kok! Ehm… Ini Kak Mentari kan, sepupu aku?” “Iya.” “Masih ingat aku kan?” “Ehm, kamu itu, anaknya Paklek Dedi kan? Keponakannya ayahku, ya kan?” “Iya.” “Oh, Bima. Iya aku inget. Eh, kita jarang banget ketemu loh!” “Iya. BTW, Mentari kesibukannya apa sekarang? “Aku kuliah sambil kerja.” “Di mana?” “Bla bla bla…”
Mulus! Bima akhirnya bisa berhasil ngobrol banyak dengan Mentari, sepupu cantik yang telah lama tak bertemu. Mentari dan Surya pun cukup senang bisa bertemu Bima. Bisa ngobrol bareng, berbagi kisah, bercanda, bahkan mabar. Acara reuni keluarga seakan-akan tercapai tujuannya. Saat acara pembukaan reuni dimulai, Bima dibuat terpaku oleh sesosok cewek pendek nan manis yang berperan sebagai moderator. Gila! Banyak sepupu idaman disini rupanya!.
“Kak Mentari, itu siapa ya? Sodara kita kah?” “Ehm, itu siapa ya? Ehm… Ah! Anu, itu namanya Fera. Cucu dari Mbah Bejo, adiknya kakek kita, Mbah Jindul. Kenapa? Kamu suka ya?” “Eh, ehm… hihihi… ya kali aku suka sepupu sendiri?” “Lho, emang salah ya? Cuman suka aja kok masa ga boleh?” “Nah itu dua cewek di samping Fera siapa lagi? Gila, mancung banget hidungnya. Jadi minder aku. Yang satunya lagi kulitnya cerah kayak artis. Duh…” “Hihi, itu namanya Nesa. Sampingnya lagi itu kakaknya, namanya Nadin. Cucu dari Mbah Pa’ul, kakaknya Mbah Jindul! Kamu pinter juga memuji ya, Han?” “Hehehe. Malahan aku juga pengen bilang kalau kakak itu yang paling cantik di antara mereka semua.” “Ih, Bima apaan sih. Malu tau didengerin Surya…” “Cieee…”
Bima terus saja mengobrol dengan lebih banyak cewek, bahkan dengan lebih banyak anggota keluarga besar. Perasaan di dalam hatinya perlahan berubah. Yang tadinya merasa bahagia ketika bisa ngewibu atau nyawer vtuber, kini dia lebih bahagia karena bisa ngobrol dengan orang beneran. Bahkan setelah acara reuni itu, Bima menghapus semua koleksi animenya, melupakan para vtuber kebanggannya, dan melakukan suatu hal baru dalam hidupnya.
“Mah!” “Iya, ada apa Bim?” “Punya nomor WA-nya Pakde Markijo gak?” “Mama punya. Kenapa? Mau minta nomornya?” “Hehehe. Iya. Tapi aku minta WA beliau itu tujuannya biar bisa minta WA-nya Kak Mentari…” “Ah, Si Bima mulai. Hehehehe. Gak apa-apa kok. Sambil mengakrabkan hubungan. Tenang, nanti mamah kasih!” “Nah, gitu! Ini baru anak ayah! Suka cewek boleh. Tapi, sama cewek yang beneran nyata. Oke?” “Siap! (dalam hati: Oke Bima, kamu mungkin suka Kak Mentari, tapi ingat, kamu tidak bisa memacarinya. Alaaah, gak masalah. Yang penting aku udah niat untuk tobat agar tidak wibu lagi! Aku lebih ingin bisa mengenal cewek beneran! Bisa!).
Bima benar-benar senang karena ayah dan mamanya mengajak dirinya ke acara reuni keluarga. Pada awalnya dia mengira kalau hari itu akan berjalan dengan kacau. Andai dia menolak ikut ke acara, mungkin dia sudah kehilangan banyak kesempatan untuk mengenal cewek di dunia nyata, yakni Mentari dan para sepupu idaman lainnya. Ini sekaligus langkah awal agar Bima bisa selangkah mengenal lebih banyak cewek di dunia nyata.
Mulai sekarang, tinggalkan waifu-mu! Sadarilah bahwa yang nyata itu lebih nikmat, kawan!
Cerpen Karangan: M. Falih Winardi Blog / Facebook: Falperience Follow my ig: @falihfale