Andai dulu aku terlambat lima menit saja datang ke toko itu, pasti tidak akan kulewati lima tahun ini dengan merindukan orang yang bahkan tidak tahu bahwa aku hidup.
Atau justru aku beruntung karena waktu seakan menggiringku, memberitahuku untuk terus berharap dan bersabar. Dari lima menit yang kusesali, lima tahun penantian sia-sia tanpa harapan, hingga akhirnya takdir menemukan jalannya sendiri, sampai akhirnya aku dan dia, kami diizinkan bersama.
Rentetan kisah di mana seorang gadis yang lumayan berprestasi menyukai murid lelaki kelas sebelah yang jarang masuk dan pernah mengukir sejarah karena memecahkan kaca ruang guru dengan tendangan pamungkasnya, inilah kisahku yang memaksakan diri untuk jangan pernah berhenti berharap pada angan-angan bodoh, aku yang seperti idiot dengan tetap berdoa untuk seorang lelaki yang bahkan memutuskan memacari perempuan lain, hingga kejutan yang tak pernah kusangka kuterima dari Sang Perencana Terbaik, Tuhan. Semuanya hanya masalah waktu.
Bermula ketika bel pertanda masuk sudah menggema ke penjuru sekolah Madrasah Tsanawiyah tempat aku dulu menuntut ilmu. Di mana seharusnya aku langsung memasuki kelas dan memulai pembelajaran, sebaliknya aku justru ke luar gerbang sekolah menuju tempat toko alat tulis dan jasa fotocopy yang ada tak jauh dari sana. Tugasku ada yang belum selesai, dan mata pelajarannya tepat jam pertama.
Aku tak masalah jika terlambat masuk, karena sebelum belajar biasanya pembacaan Al-Qur’an didahulukan, dan itu kulewatkan, paling-paling aku mendapat hukuman. Tidak apa, mengepel lantai di depan kelas bukanlah hukuman yang memberatkan. Lagi pula, di luar gerbang masih banyak siswa yang berlarian mengejar waktu takut kesiangan.
Sedikit bercerita tentang diriku sendiri, aku termasuk siswa yang cukup diperhitungkan di kelas. Mata pelajaran yang paling aku kuasai jauh dari teman-temanku adalah Seni dan Ilmu Pengetahuan Sosial, dari satu kelas bisa dibilang akulah juaranya kedua mata pelajaran itu. Meski demikian, rangking yang aku raih saat pembagian rapor semester tidak cukup memuaskan, paling-paling aku dapat posisi ke 5. Aku buruk di Matematika dam Sains, mungkin itulah alasannya.
Saat di toko alat tulis, kuserahkan lembaran tugasku untuk disalin dan diperbanyak di kertas lain sebanyak dua lembar. Namun, sebelum si penjaga toko itu melakukannya, seorang murid laki-laki sekonyong-konyong datang menyerobot, dia berdiri tepat di sampingku, meminta pada si penjaga toko untuk didahulukan miliknya. Detik itulah aku melihat wajah itu pertama kali, wajah yang membuat hidupku berabe ke depannya, namun akan selalu kurindukan, wajah yang sesekali terlupakan namun lebih sering kuimpikan.
Aneh sekali karena meskipun aku yang duluan, aku tak marah jika ia yang didahulukan. “Gak apa-apa,” kataku pada si penjaga toko, “Punya dia dulu aja.”
Bolehlah dikata bahwa kala itu aku menyukainya pada pandangan pertama. Ehm!
Awalnya, aku tidak tahu siapa dia dan dari kelas mana dia berasal, aku benar-benar penasaran. Seperti sudah dalam suratan skenario, tak lama dari jauh terdengar teriakan seseorang.
“Bima!” Aku tahu siapa yang memanggil nama itu, dialah Bety. Aku pernah menjadi temannya beberapa waktu saat masih duduk di kelas delapan, dia siswi kelas sembilan D, kelas yang terhalang dua ruangan dengan kelasku, sembilan A. Dan, Bima, nama itu sering kudengar sebelumnya bahkan sejak aku kelas tujuh, tapi tak pernah kukenal siapa orangnya, yang ternyata dialah yang sedang di sampingku sekarang.
“Tugasnya sudah selesai?” tanya siswi bernama Bety itu dari kejauhan. “Sudah,” seru lelaki yang baru saja kutahu namanya Bima itu. “Flashdisknya nggak lupa, kan?” “Nggak, dong. Tenang aja.” Si Bety kemudian memasuki gerbang.
Dari lembaran kertas milik Bima yang tengah dalam proses penyalinan, dan tentang flashdisk yang dibicarakan, aku tahu itu adalah tugas kelompok yang sama denganku untuk mata pelajaran kemarin, pelajaran fikih kalau tidak salah. Artinya, dia sama-sama kelas sembilan, tepatnya sembilan D, satu kelas dengan Bety.
Ya, tuhan … kemana saja aku selama ini baru mengenal orang ini padahal dua tahun sudah kuhabiskan bersama di sekolah ini.
Rasanya aku melayang ketika berjalan kembali ke kelas saat keperluan di toko alat tulis itu sudah diselesaikan, aku terus teringat wajahnya. Aku ingin lebih tahu banyak tentang dirinya, di mana dia tinggal, dengan siapa dia berteman. Dan, ada sebuah dorongan, aku ingin dia tahu bahwa aku mengaguminya.
Semenjak hari itu, kebiasaanku di madrasah jadi agak berbeda, lebih tepatnya menambah jadwal dari yang biasanya. Yang awalnya sebelum pelajaran dimulai aku biasa melamun menunggu bel berbunyi, setelah aku kenal siswa bernama Bima itu setiap pagi aku nangkring di jendela hanya untuk melihatnya lewat dengan sepeda motornya menuju tempat parkir. Aku jadi sering menengok ke kelasnya, kelas D. Setiap waktu salat dzuhur aku kembali nangkring kali ini di depan kelas, hanya untuk melihatnya memasuki mesjid di madrasah setelah berwudhu. Tahu kan bagaimana tampilan pria kalau rambutnya basah bekas wudhu? Ya tuhan, aku suka saat dia mengibaskan surainya yang agak gondrong.
Mulai saat itu setiap keluar kelas, aku selalu mencari sesuatu, di kelas lain, di lapangan futsal, di kantin, mataku tak pernah berhenti mengedarkan pandangan demi melihat keberadaan orang itu, Bima.
Setiap hari aku jadi semangat pergi ke sekolah. Setiap hari juga aku tak pernah bosan mencari tahu tentang Bima, dan bahkan saat itu aku sudah tahu di mana dia tinggal. Saat aku berangkat ke sekolah dengan angkutan umum, di jalan aku melihat dia dengan sepeda motornya keluar dari sebuah gang sempit, kusimpulkan di daerah situlah dia rupanya tinggal.
Beberapa dari temanku sudah mengetahui bahwa aku menyukai siswa kelas lain, teman-temanku kadang meledekku dengan mengatakan “Crushmu itu pernah jadi jagal kaca sekolah.” Ya, yang aku tahu tentang dia, katanya dia pernah menendang bola terlalu keras hingga memecahkan salah satu kaca jendela ruang guru, itu terjadi saat dia kelas delapan, sebelum aku tahu keberadaan Bima. Aku sama sekali tidak peduli, dia sudah mengambil alih seluruh perhatianku, aku benar-benar menyukai Bima.
Aku punya banyak teman dari kelas D, salah satu temanku dari kelas yang sama dengan Bima, namanya Ellie. Aku dan dia satu organisasi di ekstrakurikuler Pramuka, saat pertemuan rutin organisasi, kukatakan padanya meskipun sedikit malu bahwa aku menyukai teman sekelasnya. Dia kaget pada awalnya, tapi tidak banyak bicara. Dia hanya meragukanku, sama seperti temanku kebanyakan. “Yang benar kamu suka dengan orang itu, apa istimewanya si Bima?”
Bukan satu dua kali teman-teman yang merasa aneh bahwa aku menyukai Bima.
“Aku pernah melihat Bima merokok di luar sekolah, padahal kan belum cukup umur.” “Si Bima itu jarang sekolah.” “Si Bima motornya butut, ngapain suka sama murid kayak gitu.”
Tak satu pun dari omongan yang mengatakan bahwa Bima itu begini dan begitu membuatku merasa ingin mundur, justru aku semakin ingin tahu banyak tentangnya. Dan hal yang aku sangat ingin tahu adalah … suaranya. Selama ini aku hanya memantaunya dari jauh, melihat ia bicara, tersenyum, tertawa tanpa tahu bagaimana suaranya terdengar.
Seingatku di hari Selasa, Ellie seperti biasa main ke kelasku saat jam istirahat ke dua sebelum salat dzuhur, dia mengatakan bahwa dia sudah menyampaikannya pada Bima. Astaga, siapa yang menyuruhnya mengatakan langsung pada orangnya? Wajahku terasa panas saat itu, punya teman bermulut lémés seperti dia kadang menyulitkan juga.
“Aku bilang sama Bima, kalau salah satu siswi kelas sembilan A ada yang suka sama dia.” Aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini, aku ingin kabur dari hadapan Ellie saat itu juga, tapi mulutku sama lémésnya dengan Ellie, “Terus, terus?” tanyaku penasaran. “Dia bilang, ‘kayaknya gak usah suka sama aku deh’ gitu katanya” “Kenapa?” tanyaku heran. “Katanya sih … Ah, gatau deh. Dia aja ngomongnya gak jelas.”
Harusnya dari percakapan itu aku menyudahi memupuk perasaan suka pada Bima, tetapi aku tidak ingin menyerah barang sedikit, justru dari sana kurasa ada sedikit kemajuan. Setelah hari itu, setiap kali aku memperhatikan Bima dari kejauhan, dia melihat padaku juga.
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda