Saat itu aku tengah menghabiskan jajananku di depan kelas, dan kebetulan Bima lewat dengan teman-temannya, saat kutahu ada Bima di antara mereka, mataku langsung tertuju padanya, dan dari jarak jauh pun ternyata dia sudah melihat padaku. Aku tidak tahu sebanyak apa percakapan Ellie dengan Bima yang tidak diceritakan padaku, tapi aku semakin suka pada Bima.
Tidak sampai di situ saja, saat dia dan teman-temannya berhenti di bangku panjang yang ada di sekolah, dan tempat itu masih ada dalam jangkauan pandanganku, kulihat Bima beberapa kali menoleh ke arahku. Entah apa yang terjadi padanya, teman-temannya melihat pada kakinya, sepertinya dia menginjak sesuatu, terlihat sedikit kesakitan.
Begitulah hari-hari berjalan setelahnya, saat aku melihat padanya, pandangan kami selalu beradu, tetapi tak pernah sekalipun saling berbicara atau yang lainnya, hanya saling lirik.
Namun, saat hari ujian telah tiba dan waktuku di madrasah sudah hampir selesai karena tak lama lagi kelulusan tiba, Bima tak lagi seperti biasa. Setiap kali dia melirik ke arahku, dia selalu menghindari kontak mata denganku. Waktu itu aku berjalan menuju kelasku yang kebetulan mengarah ke kelasnya, dia sedang duduk menghadap ke kelasku, dipastikan kami beradu pandang saat itu. Mengejutkan, dia langsung berbalik dan mengubah posisi duduknya, membelakangiku.
Aku masih sangat kecil dulu, usiaku 14 tahun. Aku tidak mengerti hal-hal seperti ini, yang aku tahu hanya aku suka pada Bima. Itu saja. Aku tidak tahu apa yang Bima rasakan, apakah Bima bahkan mengenalku? Apa dia tidak suka padaku? Kalo itu wajar sih, soal penampilan aku termasuk siswa monoton di sekolah. Tetapi mengapa sebelumnya dia seolah memberi lampu hijau, kemudian dengan tiba-tiba menjadi lampu merah?
Hari kelulusan pun tiba. Sekolah merayakan pelepasan angkatan kami dengan sangat meriah.
Dari awal aku berharap hari ini tidak akan ada. Lulus dari sekolah madrasah artinya melanjutkan ke sekolah baru. Semua yang ada di madrasah ini akan kutinggalkan, teman-teman, guru-guru, semua masa menyenangkan yang kulewati di sini hanya tinggal kenangan. Termasuk kebiasaanku melirik ke sana ke mari hanya untuk melihat Bima, melewati jalan paling jauh menuju kantin demi berpapasan dengan Bima, bertengger di depan kelas demi memastikan Bima masuk ke mesjid, semuanya akan kutinggalkan.
Hari itu adalah kali terakhir aku melihat wajahnya, Bima mengenakan setelan jas hitam saat itu, dia sempat mengalihkan pandangan padaku saat aku menerima medali kelulusan.
Aku berdoa agar aku dan dia bisa satu sekolah nanti. Tetapi dewi fortuna belum berpihak padaku. Aku jadi semakin jauh dengan Bima. Aku juga gagal memasuki sekolah impianku dan terpaksa harus melanjutkan ke Madrasah Aliyah yang cukup jauh.
Dan, kabar buruk bagiku sebulan setelah kami lulus. Bima kudapati sudah memiliki pacar, kulihat dari akun facebooknya dengan seorang perempuan yang dulu adalah kakak kelas kami, namanya Santi. Dia cantik, membuatku untuk kali pertama ciut nyali.
Dari hari itu aku hanya bisa memantau Bima dari akun media sosial yang ia miliki, atau akun milik pacarnya, kulakukan diam-diam. Aku mengetahui tanggal mereka pertama kali pacaran, aku tahu kapan keduanya ulang tahun, aku tahu di mana keduanya sekolah, dan, aku tahu aku bodoh. Aku merasakan bahwa Bima tidak terlalu mengenalku, dia tahu namaku saja aku kurang yakin.
Selama aku bersekolah di Madrasah baruku, tak seorang pun yang bisa menggantikan posisi Bima di pikiranku atau di benakku kala itu. Padahal sudah jalan satu tahun, sebentar lagi menuju kelas sebelas, aku masih saja berharap bisa bertemu lagi dengan Bima.
Aku bahkan selalu memperingati tanggal 14 Mei, di mana di tanggal itulah terakhir aku melihat Bima, di hari kelulusan Madrasah sebelumnya. Kuhitung bulan demi bulan, tahun demi tahun, hingga tak terasa sudah lima tahun aku bertingkah konyol menantikan seseorang yang sudah jelas tidak tertarik padaku. Bahkan setelah lima tahun itu, Bima telah melamar Santi, perempuan yang dicintainya.
Aku sudah lulus Madrasah Aliyah, dan sudah tiga semester kuhabiskan waktu buat kuliah, meskipun aku tahu semuanya mustahil, kesabaran dan harapanku akan bertemu dengannya lagi tidak pernah surut, aku tidak akan berhenti sebelum hari pernikahan ditetapkan, masih ada celah, pikirku.
Sial! Aku terlalu naif, terlalu percaya diri.
Hingga tibalah pada suatu sore, ketika aku sedang bersama teman-temanku di sebuah aula kampus yang di depannya terhampar lapangan hijau tempat mahasiswa biasa bermain sepak bola ketika kelas usai. Rintik hujan membuat kami yang hendak pulang menunggu di bangku kecil berharap tetesan air dari langit ini segera reda.
Aku menyadari sesuatu saat itu, aku teringat tas kecil berisi buku yang kugantungkan di motor dan kurasa akan basah jika dibiarkan. Akhirnya aku terpaksa berlari ke sisi lapangan tempat sepeda motorku terparkir, untuk ke sana aku harus melewati tengah lapangan dahulu. Ketika berlari dengan tangan di kepala sedikit menutup pandangan, kurasakan tubuhku menabrak seseorang sampai aku agak tersungkur. Aku menengadah melihat ke atas dan terkejut menemukan siapa orang yang membuatku jatuh barusan.
Orang ini, orang yang selama ini kurindukan, seorang pria yang membuatku berharap pada angan-angan kosong, dia yang membuatku tidak mau membuka hati pada siapa pun, lelaki yang sejak pertama kali aku melihat wajahnya tak pernah sekalipun tergoda untuk berpaling. Bima, aku tidak salah lihat, dialah Bima.
Bima mengenakan setelan jas dengan logo yang sama denganku, tetapi jas itu tidak sama dengan jas program studi di fakultasku. Bisa dipastikan bahwa kami selama ini berada di kampus yang sama dengan jurusan berbeda.
Aku menatap nanar pria itu, tak mengucapkan sepatah kata pun karena ini semua seolah hanya mimpi, penantian lima tahun akhirnya mengantarkanku bertemu kembali dengannya. Tetapi, di lubuk sana, aku kembali bertanya pada diriku sendiri, apakah dia merasakan apa yang aku rasakan?
Aku berdiri menegakkan tubuhku kembali. Bima, dia yang membangunkanku, dan aku masih belum mengatakan apa pun, aku khawatir dia tidak mengenalku. Namun saat itu terjadi, mata lelaki itu menatapku, kedua tangannya masih di bahuku, kedua alisnya bertaut dan nafasnya sedikit memburu.
“Maya,” bisiknya pelan, tak melepaskan tatapan matanya padaku.
Dia lantas membawa tubuhku ke pelukannya, mendekapku dengan sangat erat, kurasakan wajahnya menyelusup di leherku, sampai lelehan air matanya terasa hangat di pundakku. Dia menangis, aku pun demikian. Entah apa yang kami tengah rasakan tetapi, aku seperti bertemu dengan sesuatu yang hilang dariku, sesuatu yang melengkapi hidupku telah kembali lagi padaku.
Bima berbisik lagi di tengah rintihannya, “Lama sekali aku mencarimu, Maya.” Kini kudengar bisikannya persis di telingaku. “Aku juga.”
Lelaki itu mendekapku kembali dan menekan pelan kepalaku di dadanya, hingga aku bisa mendengar detak jantungnya, kucium aroma tubuhnya. Inilah dia, Bima yang selama ini tak pernah luput dari pikiranku, tak pernah lekang dari harapanku.
Aku menghembuskan nafas pelan, aku merasakan kelegaan luar biasa. Segala pertanyaan di kepalaku, segala kekhawatiran di benakku semuanya hilang. Bima ternyata mengenalku, bahkan kini aku tahu bahwa dia pun mencintaiku.
Setelah hari itu kami menghabiskan waktu bersama setiap hari layaknya sepasang kekasih. Dia berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkanku lagi, dia berjanji akan selalu ada di sampingku dan dia berjanji untuk menjadikanku satu-satunya perempuan miliknya, satu-satunya teman hidupnya.
Dan kami … hidup bahagia selamanya untuk waktu yang tak terhingga.
Itulah kisah yang sengaja kukarang sebagian, sengaja kutambahkan alurnya untuk menghibur hati, membohongi diri sendiri dengan berkhayal bahwa di tengah guyuran hujan dia menemukanku, dia memelukku, dan kita diizinkan bersama. Sebenarnya sampai saat ini belum ada perubahan, aku tetap orang bodoh yang berfantasi menantikan pangeran berkudanya datang melamar. Akan kulanjutkan kisah ini jika nasib berpihak baik padaku, jika penantian yang sudah setengah dekade ini tidak akan bertambah tahun lagi. Jika dia, Bima, sungguh datang menemukanku dan bukan sekedar khayalanku lagi.
Setiap malam sebelum tidur, aku selalu berharap bahwa aku terlahir sebagai Santi, bukan Maya.
~ Selesai ~
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda