Hatiku hancur berkeping-keping lalu, menjadi abu yang diterbangkan angin. Harapan yang kusimpan dalam doa dan diam, kini lenyap terbawa arus kehidupan.
Sebuah undangan pernikahan berada di tanganku. Aku berusaha tersenyum membaca rentetan acara itu. Beginikah resiko mencintai dalam diam, yang sangat berbeda dengan khayalanku. Kukira kau juga sama menunggu cintaku dalam diam tapi ternyata, kisah ini tidak seindah kisah Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi talib yang begitu sempurna.
Aku sekarang dipaksa takdir untuk menerima kenyataan yang seharusnya tidak ada. Kau memilih Anisa sahabatku sendiri sebagai pendamping hidupmu. Bagaimana bisa aku kuat sedangkan sakit ini terus saja menyiksa hati.
Tak terasa air mata jatuh mengalir di pipiku. Itu membuat seseorang di sampingku bertanya. “Kamu kenapa menangis Zahra?”. Bodohnya aku, kenapa bisa lupa kalau ada Anisa di sampingku yang mengantar surat undangan itu. Aku menyeka air mata dengan tangan sambil tersenyum kepadanya.
“Ada yang salah? Apa aku nyakitin kamu? Atau apa Zahra? Jelasin, aku tidak suka lihat kamu menangis!” seru Anisa nyerocos tanpa rem. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir padaku.
“Ya Allah padahal aku ingin sekali mengatakan bahwa yang ia akan nikahi adalah orang yang kucintai tapi aku tidak mau menyakitinya” pikirku.
“Kalau bertanya itu satu-satu, aku kan jadi bingung mau jawab yang mana” ujarku yang menggelengkan kepala padanya. “Maaf, aku khawatir aja sama kamu” ucapnya dengan nada memelas. “Tadi a..aku cuma terharu aja, enggak nyangka kamu sudah mau me..menikah” jelasku sedikit gelagapan karena menahan air mata yang hampir lepas. Aku juga harus terpaksa berbohong demi menjaga sebuah ikatan persahabatan. “Cuma itu aja alasannya. Dasar cengeng! Makanya Zahra, cari calon” serunya sambil menyentil hidungku. Aku merintih sakit sedangkan dia hanya tertawa memamerkan giginya itu. Aku menatap jengkel.
“Nis! kapan-kapan aja kita bicara lagi, sekarang aku banyak tugas kuliah”. Ucapanku membuatnya mengerucut bibir seperti bebek. “Jangan marah Nis! Jeleknya nambah” ujarku sambil menirukan bibirnya dan itu membuat tawanya kembali pecah.
Perbincangan singkat namun menyakitkan, tak bisa lupa untuk diingat. Pintar sekali aku membohongi perasaanku sendiri. Munafikkah aku walaupun demi kebaikan?.
Aku menenggelamkan wajah pada bantal lalu menangis tanpa suara, mungkin karena sudah terlampau sakit sehingga mulutku saja membungkam suaranya sendiri. Ya Tuhan, cukup sampai disini saja rasa ini pada orang itu!.
“Bagaimana caranya aku bisa hadir ke pernikahan Anisa tanpa air mata dan rasa cemburu, kalaupun tadi saja, aku menangis di hadapannya apalagi ketemu langsung dengan orang itu” pikirku sambil memukul kepala pada bantal. Aku kembali teringat kenangan yang kurindui namun, sekarang kubenci.
—
Rafa adalah seorang lelaki yang pernah menyatakan cinta pada seorang wanita bernama Zahra secara terang-terangan dihadapan teman sekolahnya. Tetapi, bukannya menjawab pernyataan cinta, Zahra memilih diam lalu pergi meninggalkan Rafa dan kerumunan yang menyorakinya. Wajah ceria Rafa langsung pudar ketika wanita yang dicintainya pergi tanpa meninggalkan ucapan sedikit pun. Walaupun begitu, Rafa tidak pantang menyerah untuk mendapatkan cintanya Zahra Pada saat itu, mereka berdua sekolah SMA di tempat yang sama. Masa itu merupakan masa yang begitu indah dan tak mungkin bisa terlupakan. Banyak kenangan yang tersimpan rapi.
Ketika Zahra sudah bisa membuka hatinya untuk Rafa ternyata, takdir belum memihaknya. Zahra harus pindah sekolah keluar kota, ikut kedua orangtuanya karena masalah ekonomi. Sakit yang begitu berlipat ganda menimpa dirinya.
Sebelum keberangakatan ia menitip surat untuk Rafa lewat temannya. Zahra menulis isi hatinya yang memilih menunggu daripada berhubungan yang haram dan akhir surat itu, Zahra menulis bahwa ia akan pindah ke kota yang sangat jauh. Entah seperti apa perasaan Rafa saat itu.
—
Aku menghela nafas berat ketika memasuki sebuah gedung pernikahan. Melihat dekorasi dalam gedung yang dihiasi bunga beraneka ragam yang sangat indah, membuat sakit ini kembali muncul ke permukaan. Aku tidak boleh menangis disini, aku pasti bisa.
“Zahra!” seru Anisa melambaikan tangan padaku. Aku menoleh padanya yang terlihat cantik dengan balutan kebaya putih dan riasan make-up yang tidak mencolok. Dengan langkah terpaksa aku melangkah menuju Anisa yang sedang bersama denga orang itu. Ah, sekarang aku ingin punya kekuatan sihir menghilang.
“Kok, lambat sih datangnya? Ini sudah selesai akad loh!” seru Anisa jengkel. Aku membalas ucapannya dengan tertawa terkekeh seperti orang yang lupa. Walaupun di hatiku memang berniat sengaja untuk lambat karena, aku tak akan bisa kuat untuk mendengarkan ijab qobul itu.
“Dasar!” celetuk Anisa. “Maaf ya” ucapku. Dia hanya mengangguk kepala.
“Suamiku ganteng bukan?” tanya Anisa melirik orang yang di sampingnya itu. “Beruntung kamu Nis”. Rafa yang dari tadi sibuk berbicara dengan temannya, sontak menoleh pandangannya karena mendengar ucapanku. Dia menatap mataku tanpa kedip sepertinya, berusaha memastikan bahwa aku ini benar-benar Zahra. “Kamu?” tanya Rafa. “Ini sahabatku Mas! Namanya Zahra” ujar Anisa yang dibalas anggukan olehku. Rafa langsung memasang muka datar padaku. Entah apa arti dari tatapan itu namun wajahnya terlihat begitu sedih. Mungkinkah dia menyesal atau dia tak menyukai keberadaanku. Sepertinya bukan hanya aku yang merasakan sakit yang begitu dalam ini.
Beginilah derita mencintai dalam diam yang paling sulit. Mau tidak mau harus mengikhlaskannya dengan yang lain.
Cerpen Karangan: Ummu Aminatuz Zahroh