Wajahnya yang dulu sendu ditinggalkan kekasih hati yang menemukan wanita barunya yaitu sahabatnya sendiri. Remuk redam tak berbentuk, hancur benar-benar hancur puing-puing hatinya seperti puzzle yang terberai. Dua tahun setelah semua berlalu aku bertemu kawan lamaku di sebuah kedai kopi tempat dia bekerja, lelaki itu menyiapkan kopi berlukis hati. Latte ya itu menu favoritku dia sudah hapal tanpa ku harus bicara. Dia menemaniku ngobrol lama. Hidup dia di malam hari, sedang siang dia tidur. Kita ngobrol tentang masa lalu ketika dia masih dengan dunia anak punknya dan aku hanya ikut-ikutan nongkrong-nongkrong saja ya dari sana kami kenal sampai sampai pernah pacaran tapi tak berlangsung lama karena aku mendua. Kemudian, di media sosial kita bertemu lalu kita memutuskan untuk kopi darat.
“Cie, sekarang uda jadi barista andal ni, selamat ya” ucapku dengan menyeruput kopi buatannya. “makasih, ah biasa aja. Cuman kebetulan menang aja” “Ah merendah aja, bisa gak buatin gambar aku” tantangku pada Radit “Gampang, beruang kan?” jaeabnya polos “Ih apaan sih” jawabku manyun “Becanda” Kita pun terkekeh sendiri, asik sekali ngobrol dengan dia sampai lupa waktu untungnya ada yang menghendel dia walau sekali-kali dia ninggalin aku untuk menunaikan pekerjaannya.
“Aku pulang ya udah malam banget ternyata” ucapku dengan melihat jam tangan yang menunjukan pukul sebelas malam. “Yu aku anter” “Gak usah aku naik angkot aja” “Ih, bahaya cewek cantik pulang sendiri malam-malem” “Paan sih”
Udara terasa dingin, di malam temaram di jalan Banteng di tengah malam ini. “Heh, Zakiyya Talita Shaki diem mulu ngantuk ya” “Enggak, lagi liatin jalanan” “Jangan liatin jalan, mendingan pandang aku aja” “Ya karena kamu belakangi aku, males liat punggungmu takut bolong” “yey emangnya aku sundel apa” “Haa, Kiya nanti kita ketemu lagi ya” “Nanti kapan?” “Besok pagi” “Ih jangan” “Kenapa jangan, aku takut rindu kalau gak ketemu” “Ih si abang, godai. Eneng mulu” “Hee, nanti aku anterin kamu kerja ya” “Maksa nih?” “Iya maksa” “Jangan mending hibernasi aja” “Ih kamu, emang aku beruang” “Hee”
Pagar hitam di daerah Ciroyom itu semakin jelas terlihat. Kos kosan dua tingkat dengan delapan kamar itu sudah tampak jelas di depan mata. “Makasih ya, ayo jalan uda malam takutnya kenapa-napa di jalan” “Cie perhatian, kamu masuk dulu nanti aku pulang” “Ya uda, aku masuk ya”
Langit tak lagi gelap, berganti dengan langit putih. Pagi ini aku bersiap untuk bekerja di salah satu swalayan terkenal, sebagai SPG.
Tok tok tok… Kubuka dan kulihat Radit berdiri di depan pintu kosan dengan menjinjing kantong keresek hitam. “Radit” “Ah kamu, lebay amat” “Ih, aku kaget kamu ke sini pagi-pagi gini” “Aku udah bilang takut rindu, mending ketemu” “Yu masuk, gak sendiri ya? Bawa apa tuh?” “Sarapan bareng yu”
Nasi kuning itu kini sudah bersarang di perut kami. Dan kami pergi dengan matik putih berjargon semakin di depan itu. Bertengger di halaman swalayan tempatku bekerja.
Semakin lama aku sering maen ke tempat kedai tempat Radit bekerja dengan mencicipi kopi dengan berbagai gambar yang dilukis Radit untukku. Mulai dengan gambar beruang, angsa, hati, dan banyak lainnya. Begitu pun dengan Radit yang sering main ke kosanku main bareng mengelilingi tempat -tempat indah di kota Bandung.
Kali ini Radit membawaku ke Punclut katanya biar bisa liat indahnya kota Bandung dengan pandangan, sepet kalo liat asep kendaraan mulu.
“Kiya, Bandung indah banget ya” “Banget” “Kaya kamu” Aku tersenyum mendengar gombalan Radit, apa bener ya Radit udah maafin aku. Apa bener Radit bukan cuman untuk balas perlakuan aku dulu. Kutepis semuanya, toh nyatanya Radit tak mengungkapkan hatinya atau malah aku yang ngarep dia bilang suka padaku. Tapi aku pun juga takut kalau kita lagi-lagi terpisah. Mungkin sudah selayaknya aku dan dia berteman saja.
“Ya, aku bingung” “Bingung kenapa?” “Aku dapet kesempatan buat ngembangin potensi aku jadi barista profesional, tapi aku gak lagi di Bandung” “Wah kesempatan emas tuh Dit, inget kesempatan ga datang dua kali loh, kemana Dit? “Bali Ya” “Wah asik tuh sekalian bisa liat bule-bule” “Mending liat kamu Ya, takut rindu”
Bibirku merekah tersenyum mendengar Adit bilang itu. Radit melihat ke arahku menatapku menggenggam tanganku “makan yu laper” ajak Radit “Adit” ucapku dalam hati.
Kami menelusuri jalan di kota Bandung dan berhenti di bahu jalan untuk menikmati bakso kaki lima yang dijajakan mas bakso dengan gerobak bertuliskan Bakso solo asli. Setelah bakso dan jus jeruk menari di lidah kami dan Radit menghisap rok*k Sampurna mild katanya “wis mangan ora udu enek” sedang ku bermain ponsel melihat BBM yang masuk kulihat Artan mengirimiku pesan yang isinya ngajak jalan. Artan adalah manager tempatku bekerja yang belakangan ini sibuk mendekatiku. Kurasa sah-dah saja karena ku belum berkomitmen dengan siapapun. Kulihat dari ujung mataku Radit melihat ke arah ponselku aku tak membalasnya kucuekan saja.
“Kamu libur kan?, ke kedai yu” “Libur, ayo”
Radit langsung bekerja kulihat kedai tampak ramai dipenuhi muda mudi yang sedang menikmati malam minggu. Aku berada di pojok kedai sengaja kupilih tempat ini agar kunikmati suasana malam yang semakin larut diiringi lagu Adelle dengan judul Some one Like You. Radit akhirnya menemuiku dengan secangkir kopi berlukiskan I