“Dengarkanlah suara hati ini Suara hati yang ingin kudendangkan Tak mampu untuk kusampaikan Kan kuungkapkan lewat laguku”
Lagu itu perlahan mengalun di music player-ku. Aku menghentikan aktivitas minum kopiku sejenak, hanya untuk sekedar mengenang masa laluku dengan menikmati lagu itu. Kudengar jelas suaraku yang walaupun tidak bagus, menyanyikan lagu itu dengan begitu tulusnya.
Sejenak, otakku berseluncur menembus masa lalu. Aku menelaah dan menelusuri memori tentang perkemahan 8 tahun silam, ketika diriku yang sama sekali tidak peduli dengan hal-hal berbau asmara mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Secuil kenangan mulai menemaniku. Aku tersenyum mengingat betapa dulu diriku sangat membenci pramuka. Ku tersenyum semakin lebar mengingat kenangan betapa aku begitu gigih untuk berusaha kabur setiap hari Sabtu, ketika diadakannya latihan pramuka di sekolahku. Dan aku tersenyum sambil memejamkan mataku, merasakan cinta yang saat ini masih terpendam dalam hatiku, ketika mengingat bagaimana pramuka yang sangat kuhindari memperkenalkanku pada cinta.
Juni 2008 “Namaku Cocos Nucifera, kakak-kakak sekalian bisa memanggilku apa saja.” ujarku dengan enggan. Aku memang selalu merasa minder ketika memperkenalkan diri. Sebagai seorang pramuka penegak yang masih mencari jati diri, kadang aku berpikir kenapa orangtuaku sebegitu bodohnya ketika memberiku nama yang sama persis dengan nama ilmiah kelapa.
Semua penegak di kelompokku menatapku dan tertegun, merasa aneh dengan namaku. Yah, untungnya aku sudah bisa dengan reaksi seperti itu. Kemudian mereka sepakat memanggilku “Coco”.
Kala itu aku sedang mengikuti ajang Raimuna nasional ke-9 di Cibubur, suatu kegiatan yang benar-benar ‘wow’ menurut teman-teman di organisasi kepramukaan yang aku ikuti. Aku sendiri heran bagaimana aku bisa lolos seleksi kegiatan bergengsi ini, mengingat dulunya aku sangat membenci pramuka dan tidak tau apa pun mengenainya. Pembina pramuka di gugus depanku memasukkan namaku dalam daftar peserta seleksi tanpa meminta konfirmasiku terlebih dahulu. Dan ketika sudah satu minggu sebelum seleksi tahap pertama, beliau baru memberitahuku. Beliau meminta kesungguhanku dalam mengikuti seleksi ini, dan entah keberuntungan apa yang menyertaiku, aku bisa lolos hingga berangkat ke Jakarta.
Aku melalui 10 hari yang berharga dalam hidupku. Bagaimana aku mulai mencintai apa yang dulunya kubenci, bagaimana aku mempelajari caranya mencintai alam dan seisinya, bagaimana aku dibina untuk tidak mengeluh dalam segala keadaan. Aku mengenal solidaritas yang tanpa batas, aku mendapat banyak teman yang sudah menjadi saudara dari berbagai pulau, dan aku mendapat… cinta pertamaku.
“Kau butuh bantuan?” Itulah pertama kali aku mendengar suaranya. Ketika aku tidak bisa melintasi sungai karena kakiku kram, sementara aku harus mengejar ketertinggalanku. Sepatuku sudah penuh dengan lumpur dan aku tidak bisa melangkah, aku pun berjalan dengan terseok-seok sambil menahan sakit di kakiku.
Ia datang kepadaku ketika aku tersandung batu dan terjatuh, mengakibatkan luka baru di lututku. Aku menoleh ke arahnya, dan terpana. “Mm, kurasa aku tidak apa-apa,” ujarku bohong. Entah kenapa aku ingin terlihat kuat di hadapannya.
Ia duduk di depanku dan memeriksa kakiku. “Kakimu kram, ya? Dan lututmu terluka.” Aku meringis ketika ia menempelkan es batu yang entah didapat darimana ke kakiku yang membengkak. Sementara ia yang tidak kukenal ini mengobatiku, aku mengamati wajahnya lamat-lamat.
Rambut yang basah karena terkena hujan, terlihat membingkai wajahnya yang persegi. Kulitnya putih sekali, bersih tanpa jerawat. Matanya berwarna cokelat hazel, membuatku menyangka ia mempunyai buyut seorang Eropa.
“Masih sakit dibuat jalan?” tanyanya ketika ia selesai mengobati kakiku. Aku memaksakan diri untuk berdiri, dan ternyata rasa sakitnya memang berkurang. “Kau tertinggal gara-gara aku,” ujarku merasa bersalah. Dia tersenyum. “Ingat dasadharma nomor 5? Rela menolong dan tabah.” katanya. “Selama aku bisa menolong, akan kulakukan.” Aku terpesona dengan kemampuannya berkata-kata. “Terima kasih,” ujarku tulus. “Sama-sama,” katanya. Lalu ia menjulurkan tangannya ke arahku, “I Putu Renald,” ujarnya memperkenalkan diri. Aku menjabat tangannya. “Cocos Nucifera.” Ia mengangkat alisnya, untuk pertama kalinya aku mengharapkan reaksi positif dari seseorang mengenai namaku. “Kelapa, ya?” ia malah bertanya. Aku mengangguk. “Bagus sekali.” Aku menghembuskan napasku yang tanpa sadar telah kutahan. Aku senang mendengar pujian klasik itu. “Terima kasih. Kau bisa memanggilku apa saja.” “Nucy,” panggilnya. Aku menoleh. Untuk pertama kalinya pula, aku menyukai nama panggilan yang diberikan seseorang. Terdengar sangat lucu, menurutku. Ternyata namaku tidak terlalu buruk. “Aku suka nama panggilan itu, I.” kataku, sembari memberikan nama panggilanku untuknya. “I?” tanyanya, lalu tertawa. Aku tersenyum, lalu tertawa kecil juga. “Kuharap kau tidak keberatan.” “Sama sekali tidak, tentu saja.” ujar I. “Aku menyukainya.”
Malam itu aku tidak bisa terlelap. Di luar dingin, dingin itu menembus ke dalam tendaku. Sudah 3 hari aku berada di Bumi Perkemahan Cibubur ini, berbagai kegiatan menyenangkan telah kulalui. Kadang, moment satu tim dengan I membuatku semangat dalam menjalani kegiatan itu. Entah kenapa, aku suka ketika I berada di dekatku.
Aku berjalan-jalan di bawah kilau bintang-bintang, menginjak rumput-rumput basah khas bumi perkemahan, dan menelusuri satu per satu tenda yang terbangun di sana. Kulihat nyala api menari-nari di kejauhan, membuatku melangkah ke arahnya untuk mencari kehangatan. Ketika aku semakin mendekat, aku mendapati sosok yang kukenal sedang duduk sendirian di sana.
“I?” Sosok yang kupanggil menoleh. “Sedang apa kau malam-malam begini, Nucy?” tanyanya ketika menyadari sosok yang memanggilnya adalah aku. Aku menghampirinya, memandang ke arah nyala api unggun itu. “Aku mencari kehangatan,” jawabku dramatis. I menggeser duduknya, mempersilahkanku untuk duduk di batang pohon besar yang telah tumbang itu, di sisinya. Aku mencondongkan badanku ke arah sumber kehangatan itu, menggosokkan kedua tanganku lalu menempelkannya di pipi.
“Kau suka api, ya?” tanyanya, membuyarkan konsentrasiku pada api itu. Satu hal yang dulunya tidak kusadari, kini terungkap. “Iya, ya.. ternyata aku suka api.” jawabku. “Api itu, ketika kecil membawa kedamaian.. Jika terlalu besar, ia membawa celaka,” ujar I berfilosofi. “Sama seperti cinta. Jika terlalu cinta, malah membawa rasa sakit.. Rindu yang berkepanjangan. Depresi akut, dan rasa hampa yang kekal.” Aku tidak tau telah mendapatkan kekuatan dari mana, hingga bisa berkata-kata se’mahal’ itu. I menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu bertanya menggoda. “Ciee.. Lagi jatuh cinta ya?” Wajahku memerah, entah karena hangat yang menerpaku atau gara-gara ucapan I barusan. “Aku tidak tau apa itu cinta.” “Mungkin aku bisa mengajarkannya padamu,” ujar I, membuat wajahku semakin memerah.
Berawal dari perkemahan ini Rasa itu pun hadir di hatiku Menghiasi relung sukmaku Cinta bersemi di bumi perkemahan
2 Juli 2008, usiaku genap tujuh belas tahun. Katanya, usia tujuh belas adalah ketika kau menjalani masa-masa termanis dalam hidupmu. Masa ketika kau mengenal segala yang belum kau kenal, masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Katanya, usia tujuh belas adalah yang paling sakral, karenanya tak sedikit remaja berkecukupan di luar sana yang merayakannya secara besar-besaran.
Tujuh belas tahunku kurayakan di bumi Cibubur ini, bersama sahabat-sahabat baruku. Mereka memberiku perayaan ulang tahun yang benar-benar berkesan, bagaimana dalam satu hari itu aku merasa sangat apes, semua yang kulakukan selalu salah, bagaimana para panitia beserta pemateri ikut-ikutan mengerjaiku, sampai aku terheran-heran apa yang telah kulakukan sampai mereka memperlakukanku seperti itu.
Aku menangis di jalan raya ketika mengetahui I juga mencelaku hari itu, ia tidak membelaku sama sekali, seperti yang kuharapkan. Aku meraung-raung, mogok makan dan berdiam diri di dalam tenda, memohon-mohon pada panitia untuk diperbolehkan pulang lebih awal karena lelah diperlakukan dengan kejam—menurutku hal itu kejam, mengingat aku bukanlah gadis yang suka dikasari, dibentak, atau dimarahi—tetapi, bukannya mengizinkanku kembali, mereka malah tambah mengerjaiku.
Aku menyadari bahwa mereka tidak benar-benar sekejam itu ketika malam harinya, pada pesta api unggun, aku mendengar namaku disebut oleh panitia, mereka memintaku meninggalkan barisan dan maju ke tengah lapangan. Aku berjalan ke depan dengan pasrah. Ketika aku sudah berada di depan ribuan peserta dari berbagai daerah itu, aku melihat seorang pemateri tua berjalan ke arahku membawa sebuah kotak, dan ketika kulihat isinya, tersaji sebuah kue tart menggiurkan dengan lilin berangka satu dan tujuh yang menyala. Seketika semua orang di Bumi Perkemahan Cibubur itu menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untukku, dan aku pun sadar hari itu adalah hari ulang tahunku yang ketujuhbelas. Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya di hari kelima pelaksanaan Raimuna Nasional kesembilan itu, tetapi kali ini tangis yang berbeda. Aku terlalu bahagia, terlalu terharu, sampai tidak kuat membendung air mataku.
Setelah acara api unggun massal itu, pada tengah malamnya, I memberikan sesuatu untukku. Sebuah gantungan kunci dari kayu, berbentuk tunas kelapa.
“Kenapa kau diberi nama seperti nama kelapa? Karena orangtuamu ingin kau menjadi seperti kelapa. Bermanfaat dari ujung akar sampai ujung daunnya. Mereka ingin kau bisa tumbuh dan berkembang di mana saja, sama seperti kelapa. Mereka ingin kau bisa menebar kebaikan untuk semua makhluk, makanya kau harus tumbuh dengan baik. Jangan pernah menyesal dengan nama itu, Cocos Nucifera.”
Aku tertegun. I Putu Renald, yang bahkan belum lama kukenal, mampu menjelaskan alasan dibalik pemberian nama yang selama ini kuanggap aneh itu. Sekali lagi aku menangis, menyesali kebodohanku karena selalu menghujat kedua orangtuaku yang telah memberiku nama yang sebenarnya sarat makna itu. I merengkuhku, kehangatan tubuhnya menjalar, bahkan ia lebih hangat daripada api unggun kecil di depanku itu, api yang selalu menemani kami setiap malam.
Oh mungkinkah rasa cinta ini akan abadi untuk selamanya Rasa ini semakin membelenggu Cinta lokasi di bumi perkemahan
Empat hari setelah hari ulang tahunku, aku masih menikmati malam terakhirku di Bumi Perkemahan Cibubur. Masih bersama api unggun kecil yang menemani kami di malam-malam sebelumnya. Masih bersama batang pohon tua tempat kami beristirahat melepas lelah. Masih bersama I Putu Renald, yang kini kusadari, setelah 8 tahun berlalu, telah menjadi cinta pertamaku.
Sejak malam ketiga itu, kala aku berjalan-jalan seorang diri dan bertemu I, aku dan I selalu menghabiskan malam berdua bersama api unggun itu. Kami bercengkerama di bawah gugus bintang, bercerita apa pun yang telah kami lalui hari-hari itu. Aku suka cara I mendengarkan ceritaku. Aku suka cara I menatap mataku. Aku suka mata I. Aku juga suka kala I tertawa lepas mendengar leluconku. Tanpa kusadari, aku suka I.
“Tempo hari kau berkata akan mengajariku tentang cinta,” semakin malam, topik bahasan kami semakin mendalam. Tanpa ragu-ragu, aku berani menanyakan itu kepada I. I menghentikan kegiatannya membakar marsmellow itu, kemudian menatapku lekat-lekat. “Kupikir setelah malam-malam yang telah kita lalui bersama, kau sudah mengenal apa itu cinta,” Hatiku berdebar-debar mendengar pernyataan I barusan. “Cinta itu…” “Ketika kau merasa nyaman bersama sosok tersebut.” sambung I. “Ketika kau merasa ada yang kurang ketika ia tidak bersamamu. Ketika ia hilang darimu, kau merasa hampa.” I termenung. “Bagiku, itu definisi cinta.” Aku menunduk, meresapi kata-katanya. Kini kusadari aku telah mencintai I.
“Aku juga merasakannya, Nucy.” Seakan bisa mendengar isi hatiku, I mengutarakan perasaannya. “Kau tidak bertepuk sebelah tangan.” Kemudian I mengeluarkan radio mininya. Ia memasukkan memory card-nya ke dalam slot di radio itu, dan terdengarlah lagu yang mewakili perasaan kami. Kami berdua menyanyikan lagu itu. Sebatas Patok Tenda. Di bawah naungan Bumi Perkemahan Cibubur, di atas tanah yang becek, disaksikan oleh api unggun yang seakan ikut menari-nari, kami menyatakan perasaan kami lewat lagu itu.
Akankah cintaku sebatas patok tenda Tenda terbongkar sayonara cinta?
—
Tanpa sadar, aku ikut menyanyikan bagian terakhir lagu itu. Sekarang aku sudah berusia 24 tahun, namun cintaku kepada I Putu Renald masih utuh. Aku masih mencintainya. Sepuluh hari yang berharga itu, masih melekat di benakku. Gantungan kunci berbentuk tunas kelapa, masih terpajang menghiasi tas Gucci-ku. Kopi di depanku mulai dingin, tetapi aku tidak peduli. Aku masih ingin mengenang kisah tujuh belas tahunku.
“Akankah cintaku sebatas patok tenda?” aku mendengar suara seseorang di belakangku ikut menyanyikan lagu yang kudengarkan. Aku menoleh dan mengenali mata cokelat hazel yang menatapku lurus-lurus itu. I Putu Renald sedang di sana, memandangku dengan syahdu, membuatku ingin berlari dan memeluknya. Namun, yang kami lakukan hanya menyanyikan bait terakhir dari lagu yang kami nyanyikan bersama 8 tahun lalu,
“Tenda terbongkar, sayonara cinta.”
Cerpen Karangan: Ajeng Prameswari Blog / Facebook: Ajeng Prameswari Dreamer. Penulis pemula kelahiran 11 Juni 2000 yang masih membutuhkan asupan kritik dan saran.