Langkahku semakin pelan, jarak jalanku pun semakin pendek. Aku benar-benar ragu. Hatiku memaksaku untuk terus berjalan, sementara otakku menyuruhku memutar badan. Ketidakkorelasian ini membuatku semakin bimbang. Aku benar-benar merasa tidak percaya diri.
“Jangan temui dia,” otakku berujar. “Tetap jalan, everything is gonna be okay,” jawab hatiku menentang otakku. Mereka berdebat selagi aku masih berjalan ragu. Beberapa meter lagi, aku akan bertemu dengan dia. Aku bahkan tak tahu harus berkata seperti apa.
“Katakan saja, halo aku Serena, gadis yang mengirimu chat setiap hari. Kita pernah bertemu beberapa kali tapi kau tak menyadari. Senang bertemu denganmu.” hati menjawab tanpa kenal ragu dan malu. Si otak tak terima. “Jangan bodoh, jangan mempermalukan dirimu sendiri. Cepat balik ke rumah dan baca buku barumu, itu jauh lebih baik.”
Aku berhenti sejenak, aku sudah hampir sampai. Aku melihatnya, jarak kita tak begitu jauh. Tubuh tingginya sedikit menarik perhatianku, he’s so tall and .. Handsome as hell. Dia menoleh padaku and i get lost in his beautiful eyes.
Semesta seakan berhenti berputar dan perutku bergejolak, dia tersenyum ramah menyambutku. Aku berjalan menghampirinya dengan sisa-sisa keraguanku. Senyum tipisku menyambut senyum ramahnya. Aku mendeham, “Sudah lama?”. “Tidak juga,” jawabnya. Sungguh, segala hal tentangnya sangat sempurna. Dia seperti dewa-dewa mitologi yunani yang sering kubaca.
Suasana alun-alun kota sore ini seolah sedang mendukungku bertemu dengannya. Tidak begitu ramai tapi tidak juga sepi. “Senang bertemu denganmu secara nyata,” katanya. Aku tersenyum, “Senang juga melihatmu lagi secara terencana.” Ia terkekeh. Aku sedikit malu. Tidak tidak, aku sangat malu. Mungkin aku terlihat berlebihan, hanya saja jika kau berada di posisiku kau akan merasakan hal yang sama.
Aku teringat sesuatu, tanganku merogoh sebuah buku yang sengaja kubawa dari rumah. “Ini buku A tale of two cities yang kamu cari.” Tangannya terulur mengambil buku yang sengaja kupinjamkan padanya. “Terima kasih ya.” Aku mengangguk.
Setelah perbincangan singkat tadi. Dia mengajakku untuk sekadar berjalan di area alun-alun kota. Tubuhnya yang tinggi menyebabkanku mendongak setiap aku berbicara padanya. Sesekali aku tertawa mendengar ceritanya tentang apa yang ia lalui hari ini. Dia seakan mempercayakan segalanya padaku. Dan entah mengapa aku merasa sangat bahagia ketika mengetahui hal itu.
“Aku mau cotton candy,” kataku tak terkendali saat melihat penjual cotton candy secara tidak sengaja. Pipiku memanas. Merasa sangat malu. Kadang aku membenci diriku yang terlihat kekanak-kanak di depan orang lain. Sungguh, jika aku bisa, aku ingin menghapus satu sifatku ini. Dia tersenyum, tidak memandangku seperti aku ini gadis yang bodoh dan manja. Aku merasa tersanjung pada sifatnya. Di dekatnya, aku merasa aku dapat menjadi diriku sendiri. Aku dan dia menghampiri penjual cotton candy, membeli dua bungkus cotton candy. Setelah itu, aku dan dia duduk di bangku panjang taman. Senja datang disaat yang tepat.
Dia nampak menikmati cotton candynya, seperti yang kulakukan. Dia tidak keberatan, ketika beberapa pasang mata memandanginya dengan tatapan aneh.
“Terima kasih,” kataku. Dia menolehku, “Untuk apa?”
Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Meski, kebahagianku tak meletup-letup dengan cara membuatku bertingkah berlebihan. Tetapi percayalah, aku sangat bahagia. Dia, cowok pertama yang dapat membuatku percaya bahwa aku pantas untuk diperlakukan dengan baik. Dan membuatku sedikit percaya bahwa aku juga pantas untuk dicintai.
“Menghabiskan waktumu bersamaku.” jawabku ragu.
Dia menatapku lekat, diantara warna jingga yang muncul di langit alun-alun kota sore ini. “I love spending my time with you. Sejak pertama kali kamu mengirimiku sebuah pesan singkat, aku sering memikirkanmu. Sejak kamu berkata kita pernah bertemu lebih dari tiga kali and you called it serendipity. Aku merasa .. Aku jatuh cinta padamu.”
Tidak tidak tidak, ini jauh dari imajinasiku. Meski aku merasa bahwa aku juga menyukainya. Namun tetap saja, aku merasa tak pantas dicintai olehnya. He’s too perfect to me.
“Do you wanna be my girlfriend?” tambahnya. Aku terdiam, aku tak tahu harus berkata seperti apa. Aku benar-benar tak menyangka dia akan berkata seperti itu. “I can’t,” tenggorokanku tercekat setelah memaksakan untuk berkata. Dia sedikit terkejut, beberapa detik kemudian dia berkata, “Kenapa?” Lagi-lagi aku terdiam dan lagi-lagi aku memaksakan diriku sendiri. “You’re too perfect to me.” “Are you kidding me? No, i’m not perfect. You’re so naive, jangan pernah lagi menganggap bahwa kamu enggak pantas untuk dicintai.” “I don’t want to get any heart break. I’m too tired to love someone,” jawabku lirih dengan kepala menunduk. “Look at me, dan beri aku kesempatan. Aku berjanji, i’ll treat you better than anyone else did to you.”
Aku mendongakkan kepala, menatap matanya. Mencari kesungguhan atas ucapannya. “Terima saja, beri dia kesempatan.” hatiku mengangkat suara. “Terserah kau saja, jika terluka jangan pernah membuatku terasa mati dan tak berguna,” timpal otak.
Akhirnya, aku mengangguk karena aku percaya bahwa aku telah menemukan orang kurasa tepat. Namun, jika bukan, aku tidak akan peduli lagi.
Dia memelukku dan berkata, “Aku berjanji.”
Cerpen Karangan: Dewi Sinta Blog / Facebook: Dewi Sinta Andani