“Lo liat nggak, gimana cara cewek itu waktu liat lo? Kayak sadis gitu,” seru Gio pada temannya yang tengah mendrible bola. Alvian meliriknya sekilas, lalu kembali memantulkan bola. Tanpa Gio bilang sama dia, Alvian juga tau kalau cewek itu selalu memandangnya sinis, seolah dia punya kesalahan segede gunung ama dia dan tak ada ruang maaf untuknya. Iya, cowok itu sadar kalau tingkahnya bikin orang gregetan, selalu pengen ngamuk. Kecuali kaum cewek tentunya.
“Lo udah gila?” Fredi meneriakinya setengah mati. Barulah dia sadar jika bolanya melambung jauh, menembus kebeningan kaca hingga retak. Naas. Keempat temannya melongo, lalu menatap ke arahnya. “Kenapa lo ceroboh banget sih?” Gio berteriak panik. Gimana gak, kemarin aja mereka divonis DO dari sekolah. “Biarin aja gue di DO. Gue udah bilang kalau gue males sekolah.” Sahutnya enteng. Cowok itu meninggalkan lapangan dan kegaduhan karena ulahnya. Sekali bandel, ya tetep bandel. Nggak ada sejarahnya cowok bandel jadi alim. Karena semuanya butuh proses.
—
Lexa hampir saja tersedak siomay yang baru dia makan. Untung saja cewek itu meraih gelas di depannya dengan cekatan. “Pelan–pelan aja napa. Ntar kalau lo keselek trus mati, gue mau bilang apa ama emak, lo?” sembur Rista, teman sekelasnya. Nggak ada alesan lain yang bikin Lexa keselek. Topik gosipnya Alvian sih. Masalahnya dia benci setengah mati ama tu cowok. “Gue salut banget ama Kak Alvian. Dia berani banget bolos selama seminggu, udah gitu dia mecahin kaca kelas lagi.” Pergosipan ala cewek dimulai. Tentunya Nita lah yang pertama kali memimpin. “Gue juga nggak habis fikir. Dulu emaknya ngidam apaan kok anaknya sampe bandel begitu?” sahut Irvhin. “Ngidam burung hantu kali…” Kata Rena ngawur. Seketika tawa keempat cewek itu pecah. Kecuali Lexa, yang bencinya udah ngelebihin gunung. Baginya kakak kelasnya itu adalah kutukan. Ia harus dilenyapkan dari SMA Verlas agar tak memberi contoh buruk bagi juniornya. Termasuk teman-temannya. “Berhenti bahas dia deh. Gue males banget dengerinnya.” Lexa mendorong tempat duduknya, berdiri lalu meninggalkan keempat temannya yang sibuk mencerna apa yang terjadi. “Lex berhenti!!” “Lo mau kemana, Lex? Jangan aneh-aneh deh.” Cewek itu tak memedulikan teriakan temannya. Ia hanya melangkah tanpa sadar, jika langkah selanjutnya akan membuat hidupnya berubah drastis.
Lexa menyipitkan matanya ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Ia agak bingung karena langkahnya membawa ia ke tempat yang dilarang kepala sekolah. Lahan luas itu kering, bahkan hampir mati. Katanya sih tempat itu angker, alias tempat bersemayamnya makhluk gaib. “Biasa aja, nggak ada yang aneh.” Lexa mengendikkan bahu, setelah memandangi pemandangan di lapangan itu. Mungkin gossip itu hanya mitos, bukan berdasarkan fakta. Tanpa khawatir ia melangkah kembali, lebih jauh.
‘Krek’ Saat melankah Lexa merasa jika sepatunya menginjak sesuatu. Perlahan ia menunduk untuk melihat apa yang ia injak. Seketika itu juga Lexa membulatkan matanya. Alvian, cowok paling ia benci berjongkok di bawahnya. Ia juga menatapnya balik, dengan keterkejutan yang sama. “Kenapa lo nginjek mainan gue?” Cowok itu mengibaskan kedua tangannya di udara, lalu berdiri garang tepat di hadapannya. Lexa merasa gugup. Tingginya yang hanya sebahu cowok itu, ditambah tatapan intimidasi ala Alvian membuat detak jantungnya berpacu cepat. “Gu… gue nggak tau,” sahutnya lirih. “Lo nggak tau atau pura-pura nggak tau?” Alvian mencengkram pundaknya erat, seolah ingin meremukkan tubuh kurusnya. “Gue beneran nggak tau.” Lexa kembali menunduk. Kebenciannya pada seniornya itu seketika menguap. Nyatanya berhadapan dengan Alvian, alias face to face bikin nyalinya ciut. Peduli setan jika ada orang yang mengatakannya pengecut. Jika kalian berada di posisi Lexa, kalian pasti juga akan merasakan hal yang sama. Bahkan lebih pengecut.
“Kalau lo beneran nggak tau, sekarang gue kasih tau.” Reaksi cewek itu masih sama. Diam membisu. Tapi saat ia merasakan sesuatu yang menggelitik lengannya, ia menjerit keras. “Hiii…” Cewek itu mencak-mencak, tak peduli lagi dengan kemenangan kakak kelasnya. Lexa bergelayut di lengan cowok itu, tatapannya menyiratkan permintaan tolong. “Please, Kak. Sekali ini aja. Gu… gue minta to..,” Belum sempat sesi permohonan itu berlanjut, hewan gempal berwarna coklat itu melompat kea rahnya. Tepat di kerah seragam putihnya. Kewarasan cewek itu seolah terenggut begitu saja, mendadak. Sementara Alvian, cowok itu seolah tak acuh dengan keparanoid-an yang dialami Lexa. Cowok itu juga bingung sebenarnya. Emang apaan sih yang ditakutin dari cicak? “Gu…gue takut.” Alvian tersentak. Segera saja ia menyingkirkan mainannya dari kerah cewek itu, dilemparnya jauh-jauh hingga menghantam dinding rapuhnya gudang.
Belum sempat cowok itu sadar dari ‘tornado’ nya, tornado lain datang lagi begitu cepat. Seolah ingin membawanya dalam pusaran angin raksasa itu. Cewek itu, entah siapa namanya, tiba-tiba saja menghambur ke pelukannya. Mendekap erat seragam kotornya, sambil nangis lagi. “Cup-cup. Gue minta maaf deh,” Alvian menepuk puncak kepala cewek itu, sambil menenangkannya. Dia pikir cewek itu sama kayak bayi, kalau dielus rambutnya sambil bilang ‘cup-cup’ langsung berhenti. Dan teori aneh itu manjur juga. Lexa yang tadinya nangis sesenggukan langsung kicep. Seolah ibunya datang trus jejelin dot susu ke mulutnya.
“Gue heran ama cewek. Kok bisa-bisanya mereka takutin cicak atau nggak kecoak,” katanya basa-basi. “Cicak itu pembawa sial,” sahut Lexa kesal. “Siapa yang bilang kayak gitu?” “Kata orangtua kalau kejatuhan cicak ntar dapet kesialan.” “Lo percaya ama mitos ecek-ecek gitu?” Tanya Alvian gak mau kalah. Karena kesal, Lexa mendengus. Ia mendorong dada cowok itu hingga Alvian sedikit terhuyung ke belakang. “Dasar cowok nyebelin!!” Samar-samar cowok itu mendengar gumaman Lexa yang kini telah menjauh. Ia Cuma tersenyum. “Gue bakal buktiin kalau cicak bukan pembawa sial.”
Semenjak insiden di belakang sekolah itu, Alvian selalu membayangi hidup Lexa. Kemana cewek itu pergi, nggak peduli waktu dan tempat bakal dia recokin. Berkali-kali ia mendapat makian sekaligus teriakan karena dia bawa cicak. Tapi cowok itu tetap pada pendirian pertama: misi pembuktian tentang cicak.
“Berhenti ngikutin gue!” Langkah Alvian terhenti saat cewek itu menunjuknya dengan kemarahan. “Ada syaratnya, cantik?” Alvian bersiul senang “Apa?” “Lo harus jadi cewek gue.” Alvian berujar mantap. Lexa mendengus sebal. “Gue nggak sudi!” Setelah mengucapkan itu Lexa balik badan, mengabaikan Alvian yang menatapnya penuh harap. Karena cowok itu punya segudang otak licik, kontan saja ia merubah tatapannya. Ia mengambil senjata sekaligus mainannya, lalu ia lemparkan ke arah Lexa hingga mengenai rambur keriting gantungnya. Dan untuk kesekian kalinya cewek itu kembali menjerit. “Alvian!!!” Cowok itu membiarkan targetnya mencak-mencak. Nggak peduli tatapan murid-murid yang berlalu lalang disana. Salah siapa nolak cowok ganteng kayak gue?
“Alvian tolongon gue!!!” Lexa kembali berteriak. Mungkin karena nyerah atau saking takutnya cewek itu meneriakkan kalimat yang paling ditunggu Alvian sejak lama. Tepat jam 12 di lapangan sekolah, dengan murid-murid menjadi saksi. “GUE MAU JADI PACARR LO…” Alvian bersiul penuh kemenangan. Dihampirinya cewek itu sambil menyunggingkan senyum. “Udah gue buktiin kan? Apa lo percaya sekarang? Cicak itu bukan pembawa sial, bahkan bikin gue menang.” Ucapan Alvian membuat cewek itu tambah kesal. Setelah menyingkirkan cicak dari rambut hitam Lexa, cowok itu menarik pacarnya dalam pelukannya. “Jadi lo nggak perlu takut ama cicak, ya?”
Cerpen Karangan: Rere Senja Blog / Facebook: Rere Senja Kelas 10 SMK Jurusan TKJ