Aku benar-benar kesal ketika berada di posisi ini. Menunggu, adalah hal yang paling dibenci setiap orang. Tidak terkecuali Aku, karena Aku juga orang. Namun, entah kenapa berulang kali juga Aku berada di posisi menunggu.
Ratna sahabatku. Ia adalah satu-satunya manusia yang berani membuatku menunggu. Setengah jam Aku menunggu Ia disini. Di sebuah bendungan, namanya bendungan gerak. Bendungan ini yang membendung sungai bengawan Solo, sungai terpanjang di pulau jawa. Berdiri Menghadap langsung ke arah sungai yang airnya surut karena memang musim kemarau. Padahal, Aku sengaja datang agak telat. Agar tidak terlalu lama menunggu. Tapi tetap saja Ia terlambat.
Ketika Aku sibuk merutuki Ratna yang tak kunjung datang. Handphoneku bergetar. “Ratna..!” pekikku pelan. Ia malah membatalkan janjinya begitu saja. Lalu untuk apa Aku disini dari setengah jam yang lalu. Lebih baik Aku terbuai oleh komik-komik anime yang kumiliki.
Aku menebarkan pandangan ke segala arah, kesal. Mataku tertuju pada seorang Lelaki yang duduk membelakangiku sekitar sepuluh meter dariku. Dari tadi Ia berada disana, duduk sambil memainkan handphone. Ia sudah disini ketika Aku datang tadi. Ia tampak murung, seperti memikirkan sesuatu yang pahit. Tapi, sepertinya Aku mengenalnya. Aku seperti pernah melihatnya, tapi dimana?. Aku mendekatinya perlahan. Aku hanya ingin memastikan. Namun, ketika Aku berada tepat di belakangnya dan tanganku sudah terulur ingin menepuk pundaknya. Ia berdiri, tanganku malah mengenai kepalanya. Bukan main Aku kaget. Ia juga kaget, segera Ia berbalik. “Maaf-maaf Aku tidak sengaja.” Aku menunduk merasa bersalah. “Iya-iya gak papa.” ucapnya. Aku mengenal suara beratnya. Aku mengangkat wajah. “Loh, Mas Hanis ya? Mas Hanis Sagara kan?” “Kamu kenal Saya?, Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Ia balik bertanya kepadaku. Bodohnya Aku, mana mungkin Ia mengingatku. “Mas Hanis ingat pernah bermain bola di sekolah, terus bolanya kena bekal makan seorang cewek?” Ia mengernyit, lalu tersenyum “Oh, iya inget Kamu Novita kan?.” Ia mengangguk-angguk. Aku tersenyum, tidak kusangka Ia mengingatku secepat itu. “Maaf soal itu ya?, Aku benar-benar gak sengaja.” “Ya ampun Mas, itu kan sudah lama.”
“Kamu ngapain disini sendiri?” “Tadinya nunggu temen sih Mas, cuman yang ditunggu gak jadi datang. Mas sendiri ngapain?, sendiri juga?” Aku celingukan takut ada si pacar dari Mas Hanis. “Cuma pengen kesini saja. Aku sendiri disini.” “Kamu gak jadi pergi sama temen Kamu kan?, gimana kalau Kamu pergi denganku saja?” tawar Mas Hanis kepadaku. “Gak jadi sih Mas Cuma,” kalimatku menggantung. Kalau Aku menerima tawarannya bisa-bisa Aku diterkam macan kelaparan. Pacar Mas Hanis ini dulu kakak kelasku. Ia terkenal cerewet dan super galak. “Aku sudah putus dengan Lena, Kamu gak perlu takut ada yang cemburu. Bisakah Kamu menemaniku di sisa-sisa sore ini?”. Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Pukul empat sore. “Tapi, waktunya tinggal sedikit,” Ia menyahut lagi sebelum Aku menjawab tawarannya lagi. “Gimana kalau nanti malam, Kita pergi ke GoFun ya?, Aku jemput habis maghrib.” Apa-apaan ini Mas Hanis?, Ia mengajak atau memaksa?. Ia pamit setelah meminta Nomor kontakku. Aku belum pernah sekalipun pergi kesana. Ke Arena main GoFun theme park.
Seperti yang Ia katakan tadi sore, Ia menjemputku di depan rumah. “Gimana Mas, susah gak nyari rumahku?” Aku menggoda Mas Hanis. “Enggak lah, lagian rumah Kamu juga gak terlalu jauh dari rumahku.” Ia menyodorkan helm. Aku menerimanya. Di dalam perjalanan, Mas Hanis tidak berhenti bicara. Ia terus meledekku ketika Aku hampir menangis karena bekal makanan yang kubawa menjadi sasaran empuk bola yang Ia tendang. Saat itu Aku baru kelas X sedangkan Mas Hanis kelas XII. Saat itu Aku berjalan di pinggir lapangan sekolah dengan bekal di tangan. Namun, tiba-tiba saja sebuah bola menghantam kotak makanku sampai terjatuh ke tanah. Alhasil makanan bento yang kususun cantik, Jatuh ke tanah berantakan. Dan yang paling menyedihkan, itu makanan pertama kali yang bisa kubuat. Aku setengah menangis ketika Mas Hanis meminta maaf padaku, karena bola yang ditendangnya mengenai kotak makanku. Saat itu yang menendang masih seorang anak SMA tapi saat ini Ia sudah menjadi pemain inti sepakbola squad kabupaten Kami.
“Iya itu kan Aku masih kecil,” Aku berusaha mengelak. Ia terus mengoceh di sepanjang perjalanan. “Masuk kesini yuk?” Mas Hanis menarikku ke wahana attraction. “Gak mau!” Aku langsung melepaskan tanganku dari Mas Hanis. “Ye…” Ia menarik paksa tanganku untuk masuk kedalam rumah jagal. “Gak mau Mas!” Ia tidak menggubris perkataanku.
Seperti yang kuduga di dalam Aku terus berteriak ketakutan. Pengunjung yang lain juga begitu tapi kulihat para perempuan yang ketakutan langsung menggandeng tangan Lelaki yang ada di sampingnya. Mas Hanis malah tertawa-tawa melihatku ketakutan. Dasar, orang tidak berperikemanusiaan. Kami berusaha untuk mencari pintu keluar. Tepatnya Aku yang mencari, Aku yang berulang kali menarik Mas Hanis agar mengikutiku untuk keluar. Tapi berulang kali juga Aku menemukan pintu yang salah.
“Mas Hanis bantuin Aku dong.” ucapku disela-sela teriakanku. Ia tersenyum “Kenapa gak dari tadi minta bantuan?” Ia langsung menarik tanganku lembut. Ia bahkan langsung tahu mana pintu keluarnya. Aku menatapnya heran, hingga di luar wahana. “Mas Hanis kok langsung tau itu pintu keluarnya?” “Gimana gak tau, Aku sudah empat kali masuk kesini.” “Hah?” “Biasa saja,” Ia cengengesan “Sebel ya?” “Gak, Naik kesana yuk Mas?” Aku menunjuk bianglala. Permainan ini mungkin dikenal oleh orang karena keromantisannya. Tapi yang ada di pikiranku saat ini Aku hanya ingin menenangkan diriku sendiri setelah tadi teriak-teriak histeris. “Boleh,” Mas Hanis mengangguk.
Kami menaiki bianglala. “Mas, memangnya gak papa Kita jalan berdua kayak gini?” Ia duduk di sampingku. Bianglala bergerak perlahan. Lampu-lampu berkelap-kelip indah terlihat dari atas. “Memangnya kenapa?” Aku menggeleng. “Gak papa.” “Kamu masih ragu Aku sudah putus dengan Lena?” Ia pindah pada kursi didepanku. Aku tidak menyahut. Ia bicara lagi “Sebulan yang lalu Ia ketahuan selingkuh. Awalnya, Lena sering marah karena Kami jarang bertemu. Aku terlalu sibuk dengan sepakbolaku. Kamu tau sendiri kalau Klub Kita baru dibebaskan setelah dibekukan oleh PSSI. Aku harus berjuang untuk Klub Kita. Sikapnya berubah, sampai akhirnya Ia ketahuan selingkuh dan ternyata Dia selingkuh udah tiga bulan. Aku mutusin Dia saat itu juga.” Ia menghela napas “Padahal waktu itu Aku masih sangat mencintainya,” kemudian Ia tersenyum kalah “Apa seorang pesepakbola sepertiku tidak pantas mendapatkan orang yang dicintainya?” ucapnya mengakhiri perkataannya tentang mantan pacarnya. Tepat pada saat itu bianglala berhenti.
“Mas Hanis.” “Hem..” Mas Hanis menoleh. “Kita main panahan yuk?” ajakku agar Mas Hanis melupakan tentang Lena walau hanya sebentar. “Gak mau ah, nanti kalau dapet hadiah pasti buat Kamu.” “Gak lah, Aku bakal dapetin sendiri hadiahnya, kalau Mas Hanis dapet hadiah buat Mas Hanis saja.” tantangku. “Oke” Mas Hanis setuju.
Hari ini bukan hari keberuntunganku, sudah tiga kali Aku membeli tiket panahan tapi tidak juga Aku memenangkan hadiah apapun. Sedangkan Mas Hanis sudah mendapatkan hadiah. “Gimana Nov?, yakin masih berani?” Mas Hanis mencibirku. Aku menyerah. Aku kalah. Aku bergerak duduk di bangku taman, dengan ekspresi yang menyedihkan “Nih,” Mas Hanis memberiku segelas plastik minuman. Aku menyedotnya sedikit lalu kuletakkan di sampingku. Ekspresiku tidak berubah “Nih,” sebuah boneka kero-kero tanggung berada di pangkuanku. Aku menoleh “Buat Aku?” Mas Hanis mengangguk. Aku tersenyum “Makasih ya Mas.”
“Oh ya, ngomong-ngomong tadi Aku agak pangling loh pas Kamu negur di bendungan. Soalnya Kamu makin cantik saja.” Ia ikut duduk di sampingku. “Alah Mas Hanis ini. Sebenarnya Aku juga agak pangling sama Mas Hanis,” “Makin ganteng juga ya?,” Ia menggodaku. Ekspresinya dikeren-kerenkan. “Enggak tuh,” “Pasti menurut Kamu lebih ganteng di lapangan kan?” hah, Ia terlalu percaya diri. “Enggak tahu,” “Maksud Kamu di lapangan ataupun tidak, sama-sama ganteng kan?” Ya ampun Mas, kayaknya Mas Hanis perlu minum obat penurun percaya diri nih. “Maksudku Aku gak pernah tau Mas Hanis main bola di lapangan,” “Hah, Kamu yakin?” Mas Hanis tampak tidak percaya. Aku mengangguk. Ia mengernyit, “Minggu depan Aku ada pertandingan di stadion, Kamu harus nonton Aku main. Awas kalau gak datang!” Ia memaksaku untuk datang.
Seperti permintaan Mas Hanis minggu lalu, Aku benar-benar nonton di stadion. Pengalaman pertama nribun. Aku mengajak Ratna, tapi ternyata Nasir pacarnya Ratna juga mengajaknya nribun. Jadilah Aku seperti obat nyamuk di samping mereka berdua. Dua puluh menit sebelum pertandingan Aku sudah berada di kursi tribun kelas ekonomi. Saat itu pula, Mas Hanis mengirimiku pesan. Ia menanyakan dimana Aku sekarang. Aku membalasnya. ‘Kenapa di kelas ekonomi?, gak di VIP saja?’ Ia membalas lagi. ‘Gak papa biar kepanasan bareng Mas Hanis’ gurauku. ‘Cie udah berani gombal..’ Aku tersenyum sendiri membaca pesannya. ‘Gak ya, mana ada gombal,’ Ia sudah tidak membalas lagi. Mungkin Ia dan timnya sedang bersiap-siap menghadapi tim lawan.
Cerpen Karangan: Novita Ratna Blog / Facebook: NovitaRa Dewi