Kick off babak pertama dimulai. Mas Hanis diturunkan. Untuk pertama kalinya Aku mau berdesak-desakkan masuk ke dalam tribun dan mau bersorak-sorak seperti ini. Hingga babak pertama selesai skor masih 0-0. ‘Nanti habis pertandingan ke ruang ganti sebentar ya?’ Mas Hanis mengirimiku pesan. Kukira saat berakhirnya babak pertama tadi. Sambil terus berdoa Aku bersorak menyemangati klub yang membela kabupaten Kami. Hingga pertengahan babak kedua Tim Kami kebobolan. Hingga sampai peluit panjang dibunyikan wasit, skor masih 1-0 untuk tim lawan. Terlihat Para pemain tim Kami merasakan kekecewaan tidak terkecuali Mas Hanis.
Aku langsung berlari ke arah ruang ganti. Disana Mas Hanis duduk di lantai. Disana juga ada beberapa pemain lainnya kusempatkan untuk tersenyum kepada mereka, mereka membalasnya dengan senyum bersahabat. Terlihat jelas kekecewaan di wajah Mas Hanis. Bagaimana tidak, ini laga pembuka grup A Liga 3.
Aku duduk diam-diam di sampingnya. “Kurasa Mas Hanis lebih tau dariku, kalau setiap pertandingan itu pasti ada yang menang ada yang kalah.” ucapku pelan. “Dan sekarang Aku yang kalah.” “Siapa yang mengatakan?, belum ada yang menang dan kalah disini. Ini baru laga pertama Mas, masih banyak pertandingan selanjutnya.” Aku menatap Mas Hanis lekat-lekat. Ia menoleh kepadaku “Tapi ini pertandingan perdana Kami dan Kami tidak berhasil meraih poin.” “Justru itu Mas, masih ada pertandingan selanjutnya kan?,” Aku mengusap pundaknya. “Aku yakin Mas Hanis pasti bisa membawa Klub kita kembali ke liga 1” “Kamu benar, makasih ya. Kuharap Kamu selalu ada untukku.” matanya kembali bercahaya. Aku mengangguk pasti.
Seperti yang kuharapkan dengan Mas Hanis juga seluruh pendukung klub Kami. Klub Kami mampu meraih juara kedua liga 3. Meskipun tidak mendapat juara pertama. Tapi Kami bangga karena berarti klub Kami dapat mengikuti Liga 2 musim depan. Dan kini Mas Hanis ingin lebih mengembangkan sayapnya di dunia sepakbola. Ia mengikuti seleksi timnas U 19. Aku mendukungnya, sekarang Ia berjuang di Surabaya.
Di rumah, Aku selalu mendoakannya. Semoga Ia dapat meraih mimpinya. Setiap Ia bersiap untuk tidur waktu di karantina, selalu Ia sempatkan untuk video call denganku. Tidak lama hanya setengah jam. Aku yang memaksanya untuk segera tidur agar esoknya tidak terlambat bangun. Dan selama itu Aku hanya berkomunikasi selama setengah jam perhari. Kusempatkan untuk mengingatkan makannya, dan lain-lain.
Begitu panjang perjuangan Mas Hanis agar bisa masuk timnas U-19 bukan main senangnya Aku ketika menerima kabar bahwa Ia lulus seleksi. Ia masuk tim inti. Sekarang Ia tengah berjuang pada Aff U-19. Mataku berkaca-kaca ketika melihat Mas Hanis berada di antara deretan pemain timnas lainnya. Ia begitu tampan mengenakan jaket timnas. Tubuhnya yang jangkung sangat serasi mengenakan jersey timnas kebanggan Kami. Setiap pertandingan Aku selalu menontonnya, memberi dukungan padanya. Walau hanya lewat layar kaca televisi. Karena kualifikasinya di Myanmar. Akhirnya setiap ada pertandingan, Aku dan teman-temanku selalu siap sedia di depan televisi.
Hatiku bergetar setiap Ia menggiring bola, juga ketika komentator menyebut-nyebut Kabupaten Kami. Ia begitu lincah menerima dan mengoper bola. Kami sering nobar di depan kantor kepala desa Kami. Aku dan para warga bersorak-sorak ketika Mas Hanis mencetak gol. Juga Kami bersorak kesal ketika Timnas Kami banyak dilanggar oleh Tim lawan.
Air mataku tidak bisa terbendung lagi begitupun dengan beberapa orang di sampingku yang nonton bareng ketika para pemain timnas menaiki podium kemenangan. Karena berhasil mengalahkan tim lawan di putaran final. Aku ikut bahagia, Mas Hanis bahagia.
Sekarang Mas Hanis menjelma menjadi idola seluruh negara ini. Aku juga hanya penggemar yang mengidolakannya. Sudah dua bulan Kami tidak bertemu. Kudengar kabar Ia pulang. Aku putuskan untuk mengunjunginya. Melepas rindu yang sudah dua bulan tertahan di dada. Tapi yang kudapati di depan rumah Mas Hanis adalah kerumunan orang sedang mengerubungi Mas Hanis. Gerombolan orang yang didominasi oleh para remaja putri ini sangat antusias bertanya ini itu, meminta tanda tangan atau berselfi ria. Aku kembali pulang. Tidak mungkin juga Mas Hanis akan menganggapku dan Kami bisa bicara banyak sedangkan ada banyak perempuan cantik di sekitarnya. Bagaimanapun juga mereka adalah penggemarnya, bukan sifat Mas Hanis mengacuhkan penggemarnya. Ia selalu ramah kepada para penggemarnya. Tapi yang tidak kusangka, ketika ada Lena di antara mereka. Anehnya, Aku merasa cemburu. Padahal, jelas bahwa diantara Aku dan Mas Hanis tidak ada hubungan apa-apa selain sahabat.
Setelah kejadian itu, entah kenapa Aku malas bertemu Mas Hanis. Aku takut saja kalau Aku semakin jatuh cinta padanya. Bahkan untuk membalas Wa nya saja Aku malas. Hanya kubaca. Seperti hari ini Ia mengirimiku pesan lagi. ‘Lagi demam. Gak ada orang di rumah sepi.’ Ia sakit?, batinku dalam hati.
Karena rasa khawatirku yang besar. Aku datang ke rumahnya. Kusempatkan membelikan makanan. Aku menenteng tas kresek yang berisi makanan. Sampai di depan rumah Mas Hanis Aku melihatnya berdiri membelakangiku. Katanya Ia sakit?, tapi malah berdiri di luar rumah. Tas kresek yang kutenteng jatuh seketika ketika Aku melihat, di depan Mas Hanis berdiri seorang perempuan cantik, Lena. Mas Hanis sedang memegang kedua bahu Lena. Entah mengatakan apa. Sedang Lena menunduk lesu.
Air mataku meleleh tanpa kusadari. Segera Aku pergi diam-diam dari sana. Mas Hanis apa yang ada di pikiranmu saat ini?. Setelah memberiku harapan besar. Engkau menghancurkannya. Mengambil paksa kebahagiaan yang telah Engkau berikan. Aku berlari dengan air mata yang bercucuran di pipiku.
Di persimpangan gang Aku berpapasan dengan Mas Witan, sahabat Mas Hanis. Ia menyapaku, Aku menjawabnya dengan senyum yang kupaksakan. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir di bendungan. Aku ingin menangis, sendiri. Tanpa ada orang lain yang tahu. Bendungan sedang sepi pengunjung hari ini. Aku bisa sedikit puas menangis disini. Aku masih saja menangis, tapi sudah tidak separah tadi. Duduk menekuk lutut menghadap ke sungai. Dasar bodoh. Dia ini selalu ada di sampingmu, bukan karena mencintaimu. Tapi karena saat kesepian dan membutuhkan seseorang, kebetulan ada Kamu. Ini bukan salahnya ini sepenuhnya kesalahan Kamu sendiri yang berharap terlalu besar padanya. Mungkin kalau Ia bisa memilih, Ia akan memilih Lena sebagai orang yang selalu ada di sampingnya. Bukannya dari awal Mas Hanis masih cinta dengan Lena, bahkan ketika Ia putus. Aku memejamkan mata, memaki diriku sendiri.
Aku merasakan ada orang lain ikut duduk. Aku tidak segera membuka mata. Aku tahu itu Mas Hanis Aku mengenali parfumnya. Aku yakin setelah melihatku menangis, Mas Witan langsung memberi tahu Mas Hanis. “Dasar pembohong,” ucapku lirih. “Pembohong?” nadanya seolah tidak mengerti. “Gak usah pura-pura, Kamu gak sakit kan?” Tiba-tiba Ia meraih tanganku kedahinya. Aku membuka mata. Panas. Ternyata Ia tidak berbohong. Aku menarik tanganku.
“Ngapain kesini?, di rumah kan ada Lena” ucapku ketus. “Kamu cemburu?” tanyanya setengah menyelidik. “Enggak buat apa Aku cemburu?, Aku kan gak punya hak sama sekali.” “Kamu gak cemburu… Karena Kamu gak punya hak. Berarti Kamu, kalau punya hak. Bakal cemburu?, iya?” Ia menggodaku lagi. Mataku melebar. Aku memalingkan wajah.
“Kamu suka Aku?” “Enggak” Kilahku. “Kamu cinta kan sama Aku?” Ia berusaha melihat wajahku. Aku semakin dalam memalingkan wajah. Kini Aku merasa kalau pipiku sudah sangat merah.
Tiba-tiba saja Ia membalik tubuhku. Untuk menghadapnya. Ia memegang bahuku kuat-kuat. “Iya, Kamu cinta sama Aku.” ucapnya pasti seperti bisa membaca pikiranku. Aku pasrah. Tidak mengelak lagi. Ia menghela napas “Mau kuberi hak untuk cemburu?,” “Gak usah bercanda deh Mas,” Suaraku bergetar. Aku berusaha melepaskan tangannya dari bahuku. Tapi Ia tidak membiarkan Aku melepaskannya.
“Asal Kamu tau, selama ini Aku cinta sama Kamu. Tapi Aku takut, kalau Kamu sama dengan Lena.” Aku mengernyit, benarkah yang Ia katakan?. “Aku sadar, Kamu gak seperti Lena. Kamu lebih baik dari Lena.” ucapnya serius. Tidak ada tampang bercanda di raut wajahnya.
“Tapi Kenapa? Kalau Mas Hanis memang cinta sama Aku. Kenapa Mas Hanis buat Aku menunggu?, kenapa Mas Hanis buat..” “Karena Aku menunggu saat yang tepat,” Ia memotong perkataanku sebelum Aku benar-benar menyelesaikan perkataanku. “Sekarang, apa Kamu mau jadi kekasihku?” ucapnya penuh harap. “Aku takut, Mas Hanis berubah. Mas Hanis seorang idola sekarang. Tidak hanya Aku yang suka padamu. Orang di seluruh negeri ini mengagumi Mas Hanis.” “Walaupun seluruh dunia ini mengagumiku. Aku hanya akan pernah mencintaimu, sampai kapanpun. Jadi Aku harap Kamu mau jadi kekasihku.” Ia meyakinkanku. Aku mengangguk. “Jangan pernah berubah ya?, itu janjimu.” ucapku memberi syarat. Ia mengangguk “Makasih karena sudah mau di sampingku. Meski Aku dalam keadaan terpuruk sekalipun.” Aku tersenyum.
“Jangan nangis lagi dong, kapan Kamu gedenya kalau nangisan terus. Masih sama seperti setahun yang lalu.” Ia mengusap air mataku. Aku mencubit pinggangnya “Ini udah gede. Udah berani pacaran.” Mas Hanis tertawa. Aku juga tertawa. Aku tidak tahu apakah Mas Hanis nantinya akan berubah. Tapi, satu yang Aku yakini. Mas Hanis benar-benar mencintaiku dan Ia tidak akan berubah sesuai dengan janjinya. Ia membela dan mempertahankan kemenangan negerinya. Begitupun dengan Aku. Mas Hanis juga akan mempertahankanku di hatinya. Janjinya akan selalu dihatiku.
End
Cerpen Karangan: Novita Ratna Blog / Facebook: NovitaRa Dewi