“Arghh!” Erick mengacak-acak rambutnya frustasi. “Mengapa dia benar-benar tega kepadaku? Pertemuan yang tak disangka-sangka kukira akan berjalan dengan mulus, tapi mengapa sebaliknya?”, ucapnya kesal dan akhirnya mengeluarkan teriakan kekesalannya yang berada dikamarnya saat ini.
Erick masih cukup waras untuk tidak mengacak-acak seluruh benda yang ada di kamarnya.
“Ya kau benar Clarysta, sepertinya aku sudah sangat membencimu saat ini”, ucap Erick kembali dengan menonjokkan tangannya ke dinding tembok kamarnya.
Erick menjalankan hari-harinya seperti biasa, namun sebenarnya ia sangat kehilangan rasa semangatnya. Erick tetap berinteraksi dengan yang lain, tetap mengikuti mata kuliahnya, tetap selalu menebarkan senyuman hingga candaan yang dilontarkan. Tetapi bayang-bayang Clarysta benar-benar tidak bisa lenyap dari pikirannya. Itu yang menyebabkan Erick merasa frustasi dengan dirinya sendiri.
Saat ini Erick sedang berada di balkon kampus, menghirup udara segar di sore hari. Ia ingin mengistirahatkan sejenak otaknya tanpa ingin diganggu oleh siapapun. Setelah seminggu yang lalu bertemu Clarysta sampai saat ini pun ia belum bertemu dengannya lagi. Tak bisa dipungkiri jika memang Erick merindukannya, bahkan kalimat yang ia ucapkan jika ia membencinya itu hanya angan-angan ketika waktu itu sangat merasa marah terhadap Clarysta.
“Aku bahkan tidak bisa membencimu clarysta, yang ada perasaan ini semakin besar kepadamu. Aku tidak peduli kau sudah mempunyai tunangan, semoga saja kau tidak ditakdirkan dengannya tapi malah denganku. Aku tidak menentang takdir, tapi aku hanya berharap jika takdir akan memihak kepadaku”, ucap batin Erick dengan menatap sekitaran dengan pandangan iba.
Sepertinya lamunan Erick menjadi buyar ketika seseorang memanggilnya, yaitu Arini yang saat ini berada di belakang erick. “Kau kenapa akhir-akhir ini? Apa ada yang mengacaukan pikiranmu?” Arini mendekatkan langkahnya untuk mensejajarkan dengan Erick. “Jika kau butuh teman untuk curhatanmu, ceritalah kepadaku. Tapi tenang saja aku tak memaksakan kau untuk cerita kepadaku, dan aku tak bermaksud mencampuri urusanmu. Aku hanya ingin membuatmu merasa bebas dari beban yang saat ini kau rasakan”, ucap Arini kembali penuh dengan kelembutan, namun erick tetap menatap kedepan tanpa menatapnya.
Entah sesuatu apa yang merasuki pikirannya, ia membalas ucapan Arini tanpa nada tinggi yang selalu ia ucapkan biasanya dan kali ini bisa dibilang ucapannya sangat bersahabat.
“Terkadang aku merasa lelah dengan semuanya, aku merasa hidupku bisa hancur karena sebuah cinta. Aku terlalu memfokuskan diriku padanya saja, bahkan bisa dibilang hidupku tidak lengkap tanpanya”, Erick pun menundukkan kepalanya ketika setelah berucap. “Tak kusangka ternyata kau mempunyai sifat melow juga tentang cinta, kukira di balik wajahmu yang ceria menandakan bahwa hidupmu sangat baik-baik saja. Menurutku kau kejar saja wanita yang kau maksud, perlahan tapi pasti. Jangan gampang menyerah, lakukan apa yang bisa kau lakukan demi mendapatkan cintamu itu. Jangan seperti diriku yang mudah menyerah untuk mendapatkan cintamu Erick”, balas Arini menyarankan dan mengelus pundak Erick. “Terimakasih Arini, tapi aku minta maaf jika aku selalu bersikap dingin padamu. Bahkan aku tidak bisa membuka hatiku untukmu ataupun untuk yang lainnya. Karena aku ingin selalu menjaga hatiku untuk wanita yang kucintai”, jawab Erick. “Baguslah, sebaiknya memang begitu. Kau harus tetap semangat, kalau begitu aku duluan Erick. Senang bisa berbicara panjang denganmu”, sahut Arini yang juga melangkahkan kakinya namun seketika berhenti ketika Erick memanggilnya dan Arini pun menoleh.
“Aku butuh bantuanmu arini, apa kau mau menjadi kekasih bohonganku ketika aku bertemu dengannya? Aku hanya ingin tahu apakah dia akan merasa cemburu atau tidak”, ucap Erick yang kini sedang menunggu jawaban yang dikeluarkan dari mulut Arini. “Baiklah”, jawab Arini dengan senyumannya dan melangkah kan kaki nya kembali untuk meninggalkan Erick sendiri. “Walau hanya sekadar kekasih bohongan”, gumam Arini.
—
Clarysta dianjurkan oleh dokter harus check up seminggu sekali untuk memeriksa keadaanya. Sebetulnya ia bosan ketika harus melakukan check up setiap minggunya, tapi ia juga tidak boleh gegabah karena telat check up akan sedikit merubah keadaanya. Karena tidak hanya check up saja, Clarysta pun juga harus melakukan kemoterapi untuk dirinya.
“Oh tuhan, semoga aku tetap dalam lindunganmu. Dan kuatkanlah aku dalam menjalani hidup ini”, ucap batin Clarysta ketika akan melakukan kemotrapi untuk penyembuhan kanker otaknya yang saat ini sudah tahap stadium akhir.
Setiap hari rambut indahnya yang perlahan-lahan mulai rontok namun ia tutupi dengan menggunakan rambut palsunya, darah yang kadang-kadang selalu mengalir melewati hidung, dan sakit kepala yang teramat sakit membuat Clarysta harus merasakan penderitaan itu semua. Namun ia harus tetap kuat dan tegar, karena setiap penyakit harus terus dilawan jangan malah dibiarkan.
Setelah Clarysta sudah selesai melakukan kemotrapinya, ia segera bergegas untuk pulang dan segera istirahat. Tapi ketika Clarysta berjalan menuju pintu keluar, tak sengaja Brian bertemu dengan Clarysta walau hanya berpapasan dan clarysta pun tidak akan mengetahui siapa itu Brian. Yang hanya ia pikirkan hanya satu orang saja yaitu erick. Brian yang melihatnya langsung menebak-nebak dimana ia bertemu dengan clarysta sebelumnya. Akhrinya pun brian mengingat ketika bertemu clarysta berada di cafe yang saat itu dihampiri oleh Erick.
—
Erick dan Doni saat ini berada di kantin, mereka sedang menunggu satu orang lagi. Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga yaitu Brian, ia pun melangkahkan kakinya menuju Erick dan juga Doni.
“Maaf Rick, Don tadi ada sedikit matkul tambahan dari dosen”, ucap Brian yang langsung duduk. “Tak apa Brian, kau mau pesan apa? Aku yang akan membayarkanmu”, ucap Erick kemudian. “Sama kan saja pesanannya denganmu”, sahut Brian. Erick pun memanggil pedagang tersebut dengan memesan pesanan mereka.
“Rick kau tau, kemarin aku bertemu dengan wanita yang kau hampiri saat di cafe”, ucap Brian antusias. “Benarkah? Dimana kau melihatnya?”, jawab Erick merasa penasaran. “Aku bertemu di rumah sakit, tak sengaja aku berpapasan dengannya. Saat itu aku ingin menyapanya, tapi langkahnya begitu cepat. Dan aku pun langsung segera menjenguk sepupuku yang lagi sakit”, balasnya dengan menceritakan kronologinya. “Apa dia sakit? Lalu dengan siapa wanita itu?”, ucap Erick. “Mana kutau dia sakit atau tidak, tapi aku hanya melihatnya sendiri saja”, balas Brian.
Doni hanya menjadi pendengar setia, dan doni hanya memilih diam ketika Erick dan Brian sedang berbicara.
“Ah sebentar, aku lupa tentang ini”, ucap Brian dengan mengambil buku yang berada di dalam tasnya, untuk memberikan buku tebal seperti binder yang bersampul pink dan dipadukan oleh biru. “Ini sepertinya buku milik wanita itu, waktu itu dia sangat terburu-buru sehingga menjatuhkan buku ini tanpa dia sadari. Aku tidak berpikiran untuk membaca isi buku ini, yang jelas sepertinya sangat pribadi”, ucap Brian dengan memberikan bukunya kepada Erick, membuat Erick merasa bingung. Erick pernah melihat buku itu sebelumnya yaitu buku yang Clarysta baca ketika berada di cafe.
Erick pun menerima buku yang diberikan oleh Brian dan tidak lupa untuk mengucapkan tanda terimakasihnya, Erick merasa masih sangat sakit hati oleh perlakuan yang Clarysta berikan padanya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ia juga penasaran oleh isi yang ada pada buku milik Clarysta. “Tidak sekarang, nanti saja ketika aku sudah niat untuk membacanya”, gumam Erick.
—
“Aku merasa hampa tanpa dirimu, hari-hariku semakin memburuk saja. Apa kau sudah sangat membenciku hingga kau tak mencariku. Aku masih mengingat ketika mata tajammu menatapku penuh amarah, itu sangat membuatku takut. Aku benar-benar merindukanmu Erick, sangat”, pekik Clarysta dengan air mata yang sudah jatuh bebas mengenai pipinya.
Saat ini Clarysta menghabiskan waktunya di sebuah taman yang indah dan dipenuhi oleh bunga-bunga yang cantik. Clarysta hanya ingin menggunakan waktu berharganya, setelah ia divonis oleh dokter bahwa waktu yang ia miliki tidak cukup banyak, bahkan hanya dalam waktu dua minggu saja. Membuat Clarysta sudah menyiapkan diri sebelumnya, mungkin dengan Clarysta pergi dari kehidupan ini akan membuat Erick merasa senang.
“Clarysta? sedang apa dia disana?”, pekik Erick yang menghentikan laju mobilnya ketika melihat Clarysta di taman. “Pasti saat ini dia sedang bersama tunangannya, tapi dimana tunangannya? Aku tidak melihatnya”, gumam Erick yang masih melihat kearah Clarysta. “Aku harus menghubungi Arini untuk membantuku”, terlintas ide di pikiran Erick untuk melaksanakan rencananya pada saat itu.
Erick pun mencari kontak arini pada ponsel pintar miliknya, dan segera menghubunginya saat ini juga. “Hallo Arini, dimana kau sekarang?” “…” “Aku membutuhkan bantuanmu saat ini, apa kau bisa ketaman sekarang?” “…” “Baiklah Arini, aku menunggumu” Sambungan pun akhirnya terputus beberapa saat, Erick tetap tidak memalingkan pandangannya dari Clarysta yang dari tadi hanya berdiam diri.
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Arini pun tiba, mereka pun kemudian berjalan untuk mendekat kearah clarysta. Spontan clarysta merasa kaget dan menoleh kesumber suara karena terdengar suara bariton milik Erick yang memanggilnya saat ini.
“Hai Erick, kebetulan sekali kita bertemu disini. Aku senang melihatmu”, sapa Clarysta dan menyunggingkan senyumannya, namun pandangan Clarysta jatuh pada sosok wanita yang berada di samping Erick. “Aku juga tidak menyangka akan bertemu kau kembali, saat ini aku sedang berjalan-jalan bersama kekasihku saat ini”, ucap Erick seraya menunjuk kearah Arini. “Perkenalkan namaku Arini”, ucapnya dengan santai. “Namaku Clarysta”, sahut Clarysta dengan senyuman palsunya. “Dimana tunanganmu? Kenapa kau sendirian disini?”, ucap Erick mengenyritkan dahinya. “Aku tidak memiliki tunangan Erick, aku hanya membohongimu saja. Bahkan sekarang kau sangat bahagia dengan kekasih barumu, aku merasa iri dengannya”, batin Clarysta yang menangis namun ia tetap menunjukkan senyumannya agar tetap kelihatan baik-baik saja, walaupun bibirnya yang kini sedikit pucat. “Tu..nanganku? hm dia sedang sibuk”, balas Clarysta terbata-bata “Kalau begitu aku pergi duluan, bersenang-senanglah dengan kekasihmu”, ucap Clarysta kembali dengan rasa sakit yang ia rasakan ketika mengatakan kepada Erick.
“Apa clarysta merasa cemburu?”, ucap Erick yang melihat Clarysta sudah melenggang pergi dari hadapannya “Sepertinya dia cemburu”, balas Arini dengan rasa percayanya. “Akupun berharap begitu”, jawab Erick sekenanya.
Cerpen Karangan: Jihan Habibah Blog / Facebook: Jihan Habibah