Sabtu, 25 November, aku menggumamkan kata-kata itu dan menyimpannya dengan baik di memori otakku. Lima hari lagi adalah hari ulang tahun salah satu anjingku. Aku tak sabar merayakannya nanti, aku tersenyum memikirkan betapa aku begitu sayang pada anjingku. Siang hari ini terasa begitu kelam. Para awan serempak menyatukan dirinya menjadi gumpalan-seperti tumpukan permen kapas, berwarna abu gelap, pekat, dan menutupi Sang matahari yang sedari pagi sudah tersenyum lebar. Hembusan angin terasa semakin kencang, memainkan ujung baju, helai-helai rambut dan sepertinya pohon-pohon menikmati angin itu, buktinya, mereka menari serempak, ke kiri dan ke kanan.
Aku mempererat balutan syal pada leherku. Angin siang ini terasa lebih kencang daripada kamarin, aku sudah memasukkan tanganku ke saku jaketku, tetapi masih terasa dingin. Karena langit yang pekat itu sudah terlihat ingin menumpahkan apa yang sedari tadi dipendamnya, aku mempercepat langkah kakiku, sebelum barang-barang yang baru saja aku beli tidak terkena tumpahannya. Orang-orang di sepanjang jalan ini pun melakukan hal yang sama.
Terdengar bunyi gemerincing bel saat pintu depan aku buka. Salah satu bunyi favoritku setelah bunyi hujan dan dentingan oven. Bel yang bergemerincing itu seakan menandakan kafe ini masih hidup dan merasa senang ketika tempat ini dijadikan pilihan orang-orang untuk sekadar menghabiskan eaktu makan siangnya.
“Hei! Dari mana saja kau Aster? Aku tak melihatmu pergi tadi.” Ucapan Gracia saat setelah aku membuka pintu dapur cukup membuatku terkejut. “Aku dari supermarket di seberang salon anjing itu, membeli beberapa makanan ringan dan bahan untuk makan malam,” jawabku sembari meletakkan barang-barang itu pada tempatnya. “Oke baiklah… ah ya! Aku ingin menanyakan ini padamu, sepertinya kau sedang membuat resep baru untuk minuman, benarkah itu?” Gracia melangkah mendekati meja di dekatnya, mengambil toples berisi kismis, dan memakan isinya. “Iya, itu benar. Tapi, bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku penasaran. Sepertinya aku belum mengatakan apapun padanya mengenai resep ini. “Ami yang beri tahu, dia tak sengaja melihatnya saat membersihkan mejamu,” jelas Gracia, aku manggut-manggut mendengarnya. “Iya, memang benar, aku-“
“Selamat siang bos! Aku izin makan siang dengan teman-teman. Leo mendapat shift siang, dan dia sudah datang, jadi dia menggantikan posisiku sebentar. Apa aku diizinkan?” Perkataan cepat dari Naya membuatku terkekeh pelan, gadis itu selalu bicara dengan tempo yang cepat. “Iya, diizinkan. Nikmati makan siangmu dan jangan terlalu banyak bicara ketika makan, ya, Nay!” Naya tersenyum lebar yang memperlihatkan gigi berkawatnya, ia melambaikan tangan dan bergegas keluar dari dapur.
Aroma roti yang baru keluar dari panggangan, suara remahan roti kering, mesin pembuat kopi, suara desisan ketika roti diolesi mentega, dentingan garpu dan piring yang beradu dan tentunya obrolan berbalut tawa dari para pelanggan, koki, dan para pegawai. Semua hal itu membuatku merasa nyaman berada di kafe ini, Salvadoor, itu nama yang aku berikan. Tak pernah merasa jenuh, bosan dan sedih. Walaupun terkadang aku merasa panik dan gugup setiap terjadi masalah dan memimpin rapat, tetapi sebagian besar yang kurasakan adalah kedamaian. Aku akan merajut syal untuk mereka, hitung-hitung, sebagai hadiah tahun baru dan hasil kerja keras mereka untuk satu tahun ini.
Aku duduk di bangku pelanggan, bangku paling pojok, dekat jendela dan sendirian-ralat- aku ditemani suara hujan. Hujan semakin deras, dan itu membuatku merasa semakin semangat untuk melihatnya. Rintik-rintik hujan yang berjatuhan membentuk irama beraturan dan membuatnya seperti lagu penenang dikala sibuknya hari. Aku tak memerlukan earphone dan ponselku untuk mendengar lagu karena irama hujan lebih menarik perhatianku dari pada lagu-lagu itu. Bahkan aroamnya mampu membuat saraf-sarafku merenggang dan menjadi rileks.
Suara gemerincing bel pintu mengalihkan perhatianku. Aku merasa tenggorokanku tercekat, jantungku terasa berhenti berdetak. Aku memalingkan wajahku. Tanganku bergetar dan mataku terasa panas. Aku merasa panik dan sesak saat ini, seseorang, tolong aku!. Ya Tuhan, tolong katakan bahwa apa yang aku lihat adalah ilusiku saja. Tidak mungkin dia kan… ini tak mungkin. Cinta pertamaku… ada di hadapanku, lagi.
Tiga belas tahun, aku memendam perasaanku padanya. Sekeras apapun aku melupakannya aku tetap tak bisa. Aku ingin mengelak dari perasaan ini, tetapi, cinta adalah sebuah perasaan spesial yang tak bisa begitu saja kau tepis. Aku harus menerima kenyataan, bahwa, cinta pertama yang hadir dalam hidupku, belum tentu menjadi cinta terakhirku. Aku bangkit dari dudukku dengan wajah tertunduk, pikiranku kacau dan jantungku berdebar tak beraturan. Aku ingin menangis. Tak ada yang pernah membuatku serapuh ini. Memalukan, betapa bodohnya aku.
“Gracia!” Aku berlari dan memeluknya, berusaha meredakan isakan tangisku, sebelum menjadi-jadi. “Hei! Hei! Ada apa, As?” Gracia berusaha melepas pelukanku. “Bos! Bos kenapa?!” rupanya Naya ada di sini juga. Ya Tuhan, ini memalukan. “A-aku melihatnya lagi,” aku terlalu gugp untuk bicara, “Yuko, cinta pertamaku, dia datang lagi, mau apa dia di sini?” Gracia sepertinya menyadari apa yang kumaksud, ia tampak berpikir, dan berjalan menuju kaca jendela, diikuti Naya di belakangnya.
“Bosmu mencium pipi lelaki itu saat umurnya limabelas tahun, sebagai tanda perpisahan, tetapi tak menyatakan perasaannya, dia memang bodoh, sekarang dia terlihat seperti cacing kepanasan” jelas Gracia, ia menghembuskan nafas pelan dan berkata, “Sekarang waktunya Aster, pergilah duduk bersamanya, dan selesaikan urusanmu.” “Kau gila?! Aku tidak siap dan tidak akan pernah siap!” teriakku jengkel. Gracia menggeleng dan menepuk pundaku, seolah ia menenangkanku dan memberi dukungan. “Kau yang bertugas melayaninya. Naya jangan izinkan para pegawai untuk melayani lelaki dengan jaket hijau tua itu. Ini perintah.” Perkataan Gracia membuatku menganga. Dia gila! “Siap kak Cia!” Naya melengang pergi. “Aku tidak mau Gras! Aku tak akan melakukannya se-” perkataanku terpotong saat Gracia memberiku nampan dan sebuah note kecil. “L.a.k.u.k.a.n” katanya dengan pandangan tajam, aku menciut, tidak biasanya dia begini. “Aku sudah muak melihatmu tersiksa rindu akan Yuko-mu itu!” Aku menghela nafas pasrah, siap untuk mati.
Aku berjalan dengan gugup dan dapat melihat naya dan pegawai lainnya memandangku memberi semangat. Aku ingin masuk ke kubangan lumpur saja, Tuhan.
“Per-permisi pak, eh kak,” aku merutuki diriku yang terlalu gugup untuk bicara, “Selamat siang, anda mau pesan apa?” Yuko Sagara adalah lelaki yang hangat dan sederhana, aku jatuh cinta saat ia mengajariku naik sepeda, dulu. Aku rindu akan omelannya saat mengajariku dulu. Yuko menoleh ke arahku dan kakiku terasa seperti tidak berisi tulang, ingin jatuh tetapi itu pasti memalukan. Matanya menatapku lekat. Aku terpaku pada tatapannya, netra coklatnya menatapku dalam, aku merasa tenggelam dan tak berkutik. Kemudian, ia beralih menatap buku menu yang ada di depannya.
“Jadi, anda ingin pesan apa?” tanyaku berusaha fokus. “Ehm, dua croissant dan dua teh hangat,” pintanya dan kemudian fokus pada ponselnya. Mendengar suara beratnya, aku merasa seperti jantungku terjun bebas ke perutku. Aku menulis dengan cepat dan berbalik. Hatiku terasa seperti dihantap batu besar. Dadaku terasa sesak. Dia bahkan tak kaget melihatku. Apa begitu mudahnya melupakan aku? Tetapi aku mengerti, Yuko punya kehidupannya dan cintanya sendiri. Aku tersenyum getir, menyedihkan sekali. Tetapi, hidup itu bukan hanya tentang Yuko. Aku menguatkan hatiku.
Aku kembali membawa pesanan, ingin cepat-cepat pergi dari hadapannya agar wajahnya tidak menghantuiku terus-terusan. Aku menaruhnya dengan cepat namun hati-hati dan bergegas pergi. Namun, sesuatu menggenggam lenganku. Aku menoleh. Yuko tersenyum padaku. Aku meleleh. Senyuman itu bahkan semakin hangat. Kupu-kupu di perutku terbang semakin liar.
“Aster, duduklah sebentar dan temani aku makan siang,” ucapnya masih dengan senyuman. Dia ingat aku!? Apa ini nyata? “E-eh? A-apa?” aku menjadi linglung. Yuko terkekeh dan menununku untuk duduk. Sial, dari sekian banyaknya lampu di sini, kenapa dia yang paling terang, sih?! “Sudah lama aku tidak melihatmu, mungkin…” “Tujuh tahun,” jawabku, Ia tampak terkejut kemudian tersenyum hangat, lagi. Ia meminum tehnya sedikit. Bagaimana bisa aku tidak lupa, saat Yuko akan pergi keluar negeri, aku mencium pipinya sebagai tanda perpisahan dan kabur begitu saja. Betapa malunya aku sekarang.
“Kau tak rindu padaku, As?” tanyanya. Sangat Yuko! Sangat! “Bisa jadi?” kekehku pelan, “Sedang menunggu seseorang?” tanyaku mencoba basa-basi. “Tadinya, tetapi tidak jadi. Aku memiliki urusan yang lebih penting dari itu.” Jelasnya. “Oh.” Hening dan suasana menjadi canggung. Aku tak tahan berada di sini. Jantungku berdetak begitu kencang sampai aku takut jika sampai Yuko mendengarnya.
“Kau pemilik kafe ini?” aku meresponnya dengan anggukan. Ia tersenyum. “Kau tidak ada bosannya ya dengan roti dan impianmu tercapai.” Yuko memotong croissantnya dan memakannya. Aku terkejut mendengarnya. Dia ingat? Dan mengapa aku terpana hanya dengan melihatnya makan saja. Magnet dalam dirinya masih saja kuat, belum sepenuhnya hilang. “Ah, ya, begitulah. Jadi mengapa kau di sini?” aku meminum tehku, menghilangkan rasa gugupku. Dan, semoga saja ia tak melihat tanganku yang gemetaran. “Kau tak suka aku di sini, Aster?” tanyanya dengan kedua alis terangkat. “Aku rasa kekasihmu bisa marah ya jika ia melihat aku di sini?” lanjut Yuko dengan tertawa renyah. “Ya, benar, aku punya, dua,” kataku asal. Ia terkejut dan menatapku lama. Nice. Jantungku jatuh lebih dalam lagi. “Butter dan Bubble”, sambungku. “Nice try, As! Nice try!” Yuko tertawa, “Aku kaget mendengar jika si Butter masih hidup.” “Kau ingat?!” tanyaku heran. Pasalnya itu sudah lama sekali. “Iya, tentu saja!”, jawabnya dengan pasti, aku mengalihkan pandanganku pada roti di depanku. “Tak ada satupun hal yang aku lupakan tentang dirimu, Aster.” Aku menoleh ke arahnya dengan cepat. Yuko menggumamkan kata-kata itu, tetapi aku masih bisa mendengarnya. Apa dia bercanda?!
“Ah, sayang sekali, makananya sudah habis.” Tukas Yuko pelan dam menghembuskan nafas. “Permisi! Karena bos baru saja membuat resep baru, anda adalah orang pertama yang dapat mencicipinya, Silakan!” Naya datang dengan dua cangkir minuman. “Oh, wow, terima kasih banyak.” Aku menganga untuk kesekian kalinya. Ini pasti ulah Gracia! Obrolan menegangkan ini baru saja hampir berakhir dan dia… ah sudahlah! “Resepmu?” tanyanya. Aku mengangguk kaku.
Yuko menyesap Choconila Latte itu. Aku memandangnya takut-takut. Resep itu bahkan belum aku sempurnakan. Aku harap rasanya pas. Yuko terkekeh pelan. Aku tersenyum kecil melihat kebiasaannya yang tidak berubah. Selalu terkekeh dan menggumamkan kata ‘enak’ ketika mencoba sesuatu yang enak.
“Sempurna. Kau semanis coklat ini,” ujarnya sambil tersenyum. Nafasku tercekat, pipiku memanas. Aku membeku untuk beberapa saat. Aku tak menyangka ia akan mengucakan itu. Aku tak bisa lagi menahan senyumku. Aku membelas perkatanya dengan tersenyum lebar.
“Cangkirnya cantik, aku suka,” kataku dan Yuko serempak. Aku menoleh dengan cepat dan menatapnya. Yuko juga demikian. Sepersekian detiknya, kita tertawa bersamaan. Suara derasnya hujan menjadi lagu pengiring obrolanku dengan Yuko. Aku merasa seperti semesta mendengar obrolan kami, dan juga, matahari di balik awan pun turut bahagia melihat aku dan Yuko tertawa dan saling melontarkan candaan. Aku merasa bahagia dan cukup. Walaupun Yuko bukan takdirku, tetapi begini saja, aku sudah merasa cukup.
Hari sudah beranjak sore. Hujan di luar sudah tidak terdengar lagi. Yuko memintaku untuk menemainya berjalan-jalan sebentar. Dan tentunya, aku tidak bisa menolak. Kami jalan bersisian tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menatap langit sore. Terlihat lukisan amat luas dengan polesan gradasi warna kuning dan jingga. Saatnya matahari dan umat manusia untuk berpisah. Sepertinya, ini juga merupakan waktunya aku dan Yuko untuk berpisah. Aku meggemgam erat syal yang sudah tujuh tahun kurajut dan beraroma roti dan kismis, aku meletakkannya di laci dekat dapur kafe.
“Yuko,” panggilku. Yuko menoleh dan menghentikan langkahnya seperti yang kulakukan, “Terimalah ini,” kataku lagi dengan dihiasi senyuman terbaikku. Aku sedikit berjinjit, membalut lehernya dengan syal berwarna merah tua yang kurajut sepenuh hatiku dan dengan sisipan rasa rindu dan rasa sayangku dalam setiap rajutannya. Yuko menatapku dengan ekspresi tak terbaca. “Pakailah, hari ini dingin,” kataku setelah selesai.
Yuko melangkah mendekat ke arahku. “Aster,” panggilnya lembut. Kedua telapak tangan hangatnya mengankup pipiku. Aku mengerjap kaget. Aku harap ia tak mendengar suara jantungku yang menggila. Yuko mendekatkan wajahnya dan aku merasa bibirnya menyentuh bibirku, dalam dan hangat. Kakiku mulai melemah, aku mencengkram kedua pergelangan tangannya dan ikut menutup mataku. Ia menjauhkan wajahnya, tersenyum dan berkata, “Ini balasan atas ciuman pipi yang kau berikan dulu.” Ia mengecup keningku singkat dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Tolong katakan ini bukan imajinasiku saja. Aku membalas pelukannya, melepaskan rasa rindu yang menjeratku sejak lama.
Yuko semakin erat memelukku dan berkata dengan lembut, “Aku… lagi-lagi jatuh cinta padamu, Aster Salvana.” Dadaku membuncah bahagia, bagaikan ada air mancur taman yang mengeluarkan pancuran air berwarna-warni, warna kebahagian. Aku bersyukur, kami dipertemukan kembali. Sejauh apapun orang yang sudah ditakdirkan bersamamu pergi, dengan kesabaran dan penantianmu, Tuhan akan mempersatukan kau kembali, dengan cara yang tak pernah kau bayangkan. Aku yakin, aku tidak akan bisa tidur hingga dini hari nanti.
Tamat. Walaupun, sejatinya, kisah mereka akan terus bersambung.
Cerpen Karangan: Dinda Nata Pramesti Blog / Facebook: dindanata