Senyummu kala itu seikhlas awan yang melepas hujan, suaramu bagai anggur yang memabukkan. Aku tak pernah sekali pun lupa akan caramu berbicara, teringat setiap kata yang pernah terucap dari sosok yang amat tercinta. Aku tak pernah lupa barang sekali pun perihal apa yang pernah kamu beri, dan aku tak pernah sekali pun ingin melepaskanmu meski sesulit apapun itu kedaannya. Tapi, sekarang aku mengerti bahwa aku harus melakukannya.
“lagi menulis apa?” aku menoleh, sedikit terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. Laki-laki itu menatap buku yang sedang aku goreskan pena di atasnya. Sadar ia akan membacanya sontak aku menutup buku itu.
“bukan urusanmu.” Kali ini laki-laki itu yang terkejut akan perkataanku. Berdirilah aku dari tempat duduk yang sebenarnya sudah sangat nyaman dan meninggalkan ruang kelas itu. Langkah kaki mengajakku menuju suatu tempat yang tepat untuk melanjutkan menulis, Perpustakaan.
“sejak kapan kamu suka menulis?” seperti suara yang tidak asing. Suaranya terdengar cukup dekat, tapi sepertinya bukan untukku. Aku mengeluarkan headset dari saku guna mendengarkan lagu dan menyamarkan keheningan yang berada di ruangan ini. Baru saja aku hendak menikmati lagu yang kupilih, seseorang dengan sengaja menarik headset dari telingaku dan menatapku dengan tatapan marah.
“kamu kenapa sih?” aku bangun dari dudukku. “kamu tuh yang kenapa, aku tanya baik-baik bukannya dijawab malah pura-pura nggak dengar.” Lelaki itu marah padaku hanya karena itu, tidak penting sekaligus menyebalkan. Lihatlah, hari ini dia sudah membuatku terbangun dari duduk yang nyaman sebanyak dua kali. Lebih baik aku pulang saja, lagipula pelajaran terakhir hari ini sang guru tidak masuk. “hei kamu mau kemana? Kenapa berlari dariku terus sih?” lelaki itu menghentangkan tangannya menghalangi langkahku keluar dari perpustakaan. “tanya pada dirimu sendiri.” Aku mendorongnya hingga ia terjatuh dan aku pergi meninggalkan perpustakaan.
Sampai aku di rumah, lebih tepatnya di kamarku yang berada di lantai dua. Aku segera berganti pakaian dan bergegas mengambil buku serta pena untuk menulis di balkon yang berada tepat di depan kamarku.
Semilir angin menyambutku begitu aku duduk di kursi yang berada di balkon rumahku. Sore yang cukup menyenangkan, begitu tenang. Suasana ini sangat cocok untuk mencurahkan ide-ide yang muncul begitu saja di kepala. Buku bersampul hitam yang sering aku gunakan ini sangat sederhana karena hanya terdapat satu bintang besar berwarna kuning di tengahnya dan jika berada di tempat gelap bintangnya akan bersinar terang. Ya, aku suka menulis walau bukan penulis terkenal bak Andrea Hirata, tapi hanya menulis saat merasa ingin alias sekedar hobi yang tanggung.
Cukup lama aku menulis hingga malam mulai pekat dan angin berhembus kencang. Aku berdiri memandangi langit lalu memejamkan mata. Langit malam ini sama sepertiku sunyi, sepi, dan tenang. Beralih aku menatap ke bawah balkon, memandangi lingkungan rumah yang tak kalah sepi dengan langit malam itu. Tapi mataku terhenti saat melihat sosok lelaki itu, dia memandangiku dengan raut wajah yang sulit kutebak.
Aku turun dan langsung menghampirinya. “Bara, kamu ngapain sih di sini?” aku berdecak sebal, heran dengan kelakuannya. “aku ingin ketemu kamu.” Aku dirinya yang tak kumengerti. “apa? Untuk apa?” lelaki itu bungkam. “Bara, ini sudah malam. Berhenti menggangguku, lebih baik kamu pulang saja.” Aku mendorong dirinya tanpa dia berpindah sedikitpun.
“bagaimana aku pulang? Sedang rumahku itu adalah dirimu?” lelaki itu bicara ngelantur bukan. “aku gak ngerti.” Aku diriku. “Hana, aku sayang sama kamu.” Aku terkesiap mendengar pernyataannya. “aku gak bermaksud ingin mengganggumu apalagi membuatmu merasa takut akan kehadiranku.” Bara menatap dalam mataku, aku hanya diam mematung. “Hana, maafin aku terlalu ingin tahu apa yang sedang kamu lakukan. Aku ingin menatapmu seperti dulu lagi, aku ingin tertawa bersamamu lagi, ingin memelukmu kala kedinginan, menjagamu agar tak ada lagi air mata yang jatuh.”
“Bara.” Kali ini aku membuka suara. “kenapa waktu itu kamu tinggalin aku sendiri?” Bara menunduk dalam. “aku minta maaf.”
“kamu mau tahu Bara, sudah berapa banyak air mata yang hendak memaksa keluar tiap kali mengingat dirimu? Sudah seberapa besar usahaku agar bisa melupakanmu? Tapi tiba-tiba saja kamu muncul menghancurkan semua itu di kelasku tadi.” “Kamu mau tahu Bara, tiap kali aku berjalan dan tanpa sengaja melintas di tempat yang sempat menjadi saksi pertemuan, kepalaku bak kaset yang memutar ulang tiap-tiap kejadian bersamamu kala itu.” “Hana, aku memohon maaf darimu.” Bara menunduk dalam, aku mendongak menatapnya sebab dirinya lebih tinggi dariku. Entah ia menunduk karena merasa bersalah atau berpura-pura agar aku percaya.
“kamu harus dengar semua ini, Bara.” “Kamu mau tahu Bara, siang itu rasanya matahari kalah dengan cahaya yang terpancar dari mata kita. Angin rasanya berhenti sejenak karena iri desir dalam hati kita lebih dahsyat dari hembusannya. Bahkan tukang gulali yang kamu sering belikan untukku kala itu, ingin cepat pergi saja sebab cemburu melihat tawa canda kita lebih manis dari dagangannya.” Aku menatap wajahnya yang tetap menawan walau hanya cahaya remang dari lampu taman yang menyinari. “kamu mau tahu Bara, aku merindukanmu setiap saat, membayangimu selagi bisa, membahagiakanmu selagi mampu, semua itu aku lakukan sendiri, Bara. Kamu kemana?” Aku tak kuasa menahan air mata yang sejak tadi kutahan.
“waktu itu kamu bilang padaku, kalau saja aku rindu kamu maka lihat saja bintang di malam hari nanti wajahmu akan muncul di sana.” Aku memukul dadanya dengan rasa pedih yang melanda selama ini. Tapi Bara justru menggenggam dan mengecup punggung tanganku. “Hana, aku memang selalu di sana jika memang kamu merindu.” Bara berbicara di sela isakanku. “omong kosong, tiap kali aku mendongak ke langit tak pernah satu bintangpun terlihat. Lalu aku bertanya pada bintang, kenapa tidak muncul padahal malam sudah pekat.” Aku melepas dengan kasar tanganku dan melanjutkan berbicara.
“Bintang bilang dirinya terlalu malu jika disamakan dengan dirimu, karena nyatanya kilaumu lebih terang dari seribu bintang di langit.” Sambil terus terisak aku mengusap air mata yang semakin deras dan memanas. “kamu yang bikin aku lebih berkilau, Hana.” Bara menatapku pasrah, wajahnya menyiratkan pasrah sebab tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. “enggak, Bar. Bukan aku. Jujur aku rindu mengagumi bintang bersamamu, aku rindu berkhayal saat semua benda seakan hidup dan bicara pada kita. Sederhana saja, sebenarnya aku rindu kamu. Sayangnya, aku bukanlah yang membuatmu memiliki kilau itu karena hingga kini bintangpun enggan menampakkan dirinya sebab kilaumu semakin saja terang, saat kamu bersama perempuan itu, bukan bersamaku.” “aku nggak mau melepasmu lagi, Hana. Aku janji enggak akan lagi membiarkanmu berjuang sendiri. Aku janji nggak akan memilih perempuan itu lagi. Aku janji.” Bara langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya, aku tak menolak sebab aku pun menginginkannya. Bintangpun kini mulai muncul dan bersinar terang saat Bara sedang tak berdaya, aku tahu bintang pasti sudah tak lagi merasa tersaingi. Di tengah heningnya malam, ia datang membawa segala kenangan dan hendak mengulang kembali semua dari awal.
Tapi maaf, Bara. Bukannya aku tak ingin, hanya saja kini aku sudah terlalu sakit akan luka yang kamu beri. Dulu dirimu bagai bintang kejora yang paling terang di hatiku tapi sekali lagi aku minta maaf karena kini hanya ada sinarmu yang redup di hatiku. Semudah apapun kini jalannya, aku hanya ingin melupakanmu.
Cerpen Karangan: Happy Rahmawanty Blog / Facebook: Happy Rahmawanty 15 November 2001. Tangerang.