Nathan enggan melepaskan pandangannya pada seorang gadis bergaun merah di salah satu sudut ruangan pesta pernikahan. Matanya terpaku memandangi kemolekan tubuh dan kecantikan yang dimiliki si gadis. Segaris senyum manis di bibir merah merekahnya membuat Nathan mabuk kepayang.
Nathan yang dikenal sebagai penakluk hati kaum hawa mencoba mendekati si gadis dengan penuh percaya diri. Dia yakin dengan wajah tampan dan penampilannya yang memikat mampu menaklukkan hati si gadis.
“Hai, boleh kenalan enggak?” sapa Nathan mengulurkan tangannya. “Boleh,” balas si gadis menjabat tangan Nathan. “Perkenalkan, namaku Nathan. Siapa namamu?” Gadis itu tiba-tiba melepaskan jabatan tangannya, “aku yakin kau pasti mengenalku. Senang bisa bertemu denganmu di sini.”
Nathan merasa heran dengan sikap tak biasa dari gadis itu. Baru kali ini dia menemukan seorang gadis yang membuatnya bertanya-tanya saat pertama kali berkenalan.
“Tapi, kalau kamu tidak mau memberitahu namamu, bagaimana aku bisa mengenalmu dengan baik? Haruskah aku memanggilmu dengan sebutan ‘Baby’?” tanya Nathan menggoda. “Hm, bagus juga. Tapi aku pikir, namaku lebih bagus daripada nama panggilan itu.” “Kalau begitu, kasih tahu aku nama kamu yang sebenarnya. Please,” desak Nathan. “Bagaimana ya? Mungkin aku bisa memberitahumu lain waktu. Aku pergi dulu, ya. Bye,” ujar si gadis tersenyum sembari melambaikan tangan meninggalkan Nathan.
Nathan merasa gusar. Seperti singa yang kelaparan, dia tak ingin kehilangan mangsa yang diincarnya. Tanpa menunggu lama, dia segera berjalan menghampiri si gadis dan menarik lengannya. Si gadis yang memakai sepatu high heels mulai kehilangan keseimbangan. Tubuhnya roboh hingga bersandar ke dalam dekapan Nathan.
Pipi si gadis seketika memerah menahan malu. Begitu juga dengan Nathan yang tampak terkejut saat mendekap tubuh semampainya. Dia tidak menduga akan terjebak dalam situasi yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Nathan menatap kedua mata si gadis dengan lembut. Tetapi, si gadis tampak sangat gugup berhadapan dengan lelaki sejuta pesona seperti Nathan.
Waktu seakan berhenti. Alunan detak jantung mengiringi kedekatan mereka. Desah napas keduanya memancing nafsu Nathan untuk mencumbu gadis yang didekapnya. Nathan mendekatkan wajahnya pada wajah manis itu agar bibirnya bisa menyentuh bibir merah merekah milik di gadis.
Si gadis tampak tidak berdaya melawan keadaan. Badannya terasa panas dingin menghadapi tindakan pria yang mendekapnya. Gadis itu memejamkan mata dan berusaha menahan diri untuk tidak hanyut dalam birahinya.
“Amanda! Di mana kau?” sahut seseorang memecah keheningan di antara keduanya. Si gadis terperanjat dan segera melepaskan diri dari dekapan Nathan.
“Amanda. Apa itu namamu?” tanya Nathan penasaran. Gadis manis itu tidak menghiraukan pertanyaan Nathan. Dia terus berlari menghampiri seorang wanita paruh baya yang berdiri di dekat pintu keluar. Nathan masih terpaku melihat Amanda yang perlahan menjauh darinya.
Nathan kembali tersenyum mengingat wajah manis gadis yang didekapnya beberapa saat lalu. Ketika dia hendak melangkah, dia merasakan ada sesuatu di bawah kakinya. Dia menunduk dan kemudian memungut sebuah kalung emas berliontin huruf A. Apakah mungkin kalung itu milik si gadis?
Nathan segera berlari ke luar ruangan pesta untuk mencari gadis itu. Dia pun bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan si gadis. Namun, tidak ada satu orang pun yang mengenali ciri-ciri orang yang dicarinya.
Di tengah kebingungannya, Nathan menemukan seorang gadis bergaun merah di depan halaman hotel. Tanpa banyak berpikir dia segera berlari menghampiri gadis itu.
“Amanda? Apa itu kau?”
Gadis itu berbalik dan menatap Nathan dengan heran. Ternyata bukan gadis manis yang dirayunya saat di ruang pesta. Nathan meminta maaf lalu masuk kembali ke dalam hotel. Dia memasukkan kalung itu ke dalam saku celananya dan bergumam. “Suatu hari nanti aku pasti menemukanmu, My Cinderella.”
—
“Ani! Ani!!” sahut Nathan dari dalam kamar.
Tak lama kemudian seorang pembantu berpakaian lusuh datang menghampiri Nathan. Air muka Nathan tampak sangat kesal. Dia pun menghampiri pembantu bernama Ani itu dengan bersungut-sungut.
“Apa kamu tuli? Aku panggil dari tadi enggak datang-datang. Sebenarnya kamu habis dari mana sih?” “Maaf, Tuan. Tadi aku sedang menyiapkan sarapan buat Tuan.” “Ya sudah. Sekarang katakan padaku, di mana kau simpan blazer hitam yang aku pakai semalam?” “Tadi subuh aku masukkan ke dalam cucian. Soalnya ada noda bekas minuman di tangannya.” Nathan menepuk jidat sembari menggelengkan kepala. “Ya ampun, Ani! Bisakah kau tidak menyulut emosiku sehari saja? Sudah kubilang kan kalau mau mencuci baju punyaku itu harus bilang-bilang dulu.” “Maaf, Tuan. Aku lupa.” “Sudah, sudah! Sebaiknya kamu kembali ke dapur dan siapkan teh untukku. Jangan lupa, gulanya satu sendok teh saja.” Ani mengangguk lalu bergegas pergi dari hadapan Nathan. Sementara itu Nathan mengelus dada, berusaha tetap tenang menghadapi pembantu ceroboh yang baru diperkerjakannya enam bulan lalu.
Sejenak, Nathan melirik kalung yang ditemukannya tadi malam. Ingatannya seakan dibawa kembali pada kejadian semalam. Wajah dan senyuman si gadis masih melekat di hati dan pikirannya. Tanpa dia sadari, hatinya yang sedang kasmaran telah membuatnya tersenyum tanpa sebab.
Saat pikirannya melayang tinggi, tiba-tiba dering ponsel memecah lamunannya. Nathan terperanjat dan segera meraih ponselnya yang letaknya tidak jauh dari kalung itu. Tanpa menunggu lama, dia mengangkat teleponnya.
“Halo.” “Sayang, nanti siang kita makan di restoran yuk. Aku kangen makan bareng sama kamu,” rajuk seorang gadis dari seberang telepon dengan manja. “Makan siang? A-ah iya, iya… Tapi ini sama siapa ya?” “Ih, masa kamu enggak tahu sih. Aku Karin, pacar kamu. Jangan-jangan kamu enggak simpan nomor Hape aku ya? Atau mungkin, kamu punya cewek lain?” “Kok kamu berpikiran begitu sih? Kamu itu my one and only queen in my heart. Bagaimana bisa aku berpaling darimu, Sayang?” goda Nathan. “Serius?” “Apa aku kedengarannya sedang bercanda? Ayolah, Sayang! Di hati aku cuma kamu satu-satunya cewek yang aku sayang selain ibuku. Percayalah.” “Um, gombal! Nanti kita ketemu di restoran dekat kantor kamu ya.” “Oke, Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu?” “Ya sudah, sampai ketemu nanti ya, Sayang. I love you. Muahh…,” tandas Karin manja. “Love you too, Honey. Muahh…,” Nathan memonyongkan bibirnya di depan layar ponsel.
Setelah menutup telepon, Nathan bergegas pergi ke meja makan. Perutnya sudah tidak sabar menyantap sarapan buatan Ani. Saat tiba di meja makan, Ani menyodorkan teh hangat yang dipesannya. Nathan langsung meminum teh buatan Ani. Namun, seketika Nathan menyemburkan teh yang diminumnya. Rasa kesal mulai mengendap di benaknya.
“Ani, apa yang kau masukkan ke dalam teh ini?” tanya Nathan geram. “Gula.” “Gula? Kalau yang kau masukkan itu gula, kenapa rasanya asin, huh?” Ani tercengang. “Asin?! A-anu, Tuan… S-saya…” “Jangan katakan lagi kalau kamu lupa. Pagi ini aku sudah bosan mendengar alasan itu. Ambilkan aku air putih!” “Baik, Tuan.”
Nathan mengambil nasi dan semur ayam ke piringnya. Saat Nathan melahap masakan buatan Ani, dia merasakan ada yang berbeda pada makanannya. Rasanya sangat lezat hingga membuat Nathan benar-benar merasakan kenikmatan sarapan pagi ini.
Saat Nathan hendak melahap suapan ke tiganya, Ani terpeleset di dekatnya. Air putih yang dibawa Ani pun tumpah ke piring Nathan. Benar-benar pagi yang menyebalkan. Nathan segera menelan makanan yang dikunyahnya. Darahnya seketika mendidih hingga membuatnya naik pitam. Kedua matanya langsung menusukkan tatapan tajam ke wajah Ani yang tampak tegang.
“Ani!!!” bentak Nathan geram.
Cerpen Karangan: Ira Solihah