Tik tok waktu bergulir menuju tengah hari. Jam makan siang tiba, Nathan dan Karin bertemu di tempat yang telah dijanjikan. Karin tampak semringah bertemu kekasihnya. Begitu juga dengan Nathan. Dia begitu senang dapat makan bersama kembali dengan pacarnya setelah seminggu tidak bertemu.
Mereka berdua duduk di meja dekat jendela. Karin langsung memilih makanan yang tertera dalam daftar menu yang tersimpan di atas meja. Sedangkan Nathan menebarkan pandangannya ke sekeliling restoran. Sesekali tatapan matanya membidik para wanita yang diam-diam memperhatikannya dari jauh. Tak lupa dia pun memberikan kedipan mata dan senyuman genit yang membuat hati mereka meleleh.
“Sayang, kamu tahu enggak? Restoran ini berkesan banget buat aku,” kata Karin memecah fokus Nathan yang sedang asyik menggoda para wanita. “Hm, b-benarkah?” “Iya. Kamu masih ingat kan waktu pertama kali kita bertemu di sini? Aku benar-benar tidak menyangka kalau restoran ini menjadi saksi awal hubungan asmara kita.” “Benar, restoran ini begitu bersejarah buat kita.”
Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiri keduanya. “Silakan Mas, Mbak. Mau pesan apa?” tanya pelayan itu ramah. “Kami pesan Steak dua dan jus jeruknya dua,” jawab Karin.
Setelah selesai menulis pesanan, pelayan itu tidak sengaja melihat Nathan. Matanya terbelalak, jantungnya berdebar amat kencang. Di luar kesadarannya, dia menjatuhkan catatan kecil dan pulpennya. Mendengar suara pulpen terjatuh, Nathan melirik pelayan itu. Seketika dia tercengang melihat pelayan yang terpaku menatapnya. Keduanya pun saling tatap tanpa berkedip.
“Amanda,” desau Nathan lirih.
Pelayan itu mulai salah tingkah. Dia segera memungut buku catatan dan pulpennya, lalu bergegas pergi meninggalkan Nathan dan Karin. Kali ini Nathan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Secepat mungkin dia memegang tangan dan menatap kedua mata pelayan itu tanpa memedulikan keberadaan pacarnya.
Melihat sikap Nathan yang berbeda pada pelayan itu, seketika hati Karin terbakar cemburu. Dia menggebrak meja sambil memelototi Nathan.
“Nathan! Kamu itu apa-apaan sih?” Nathan terperanjat melepaskan genggamannya pada tangan pelayan. Wajah si pelayan tampak panik dan segera berjalan menjauhi Nathan dan Karin.
“Kenapa sampai sebegitunya sih? Apa kamu punya hubungan gelap sama dia di belakang aku?” “E-enggak, Sayang. Aku bersumpah, aku enggak ada apa-apa sama dia. Hanya saja wajah dia mirip teman sekolahku dulu. Jadi, aku refleks pegang tangan dia.” “Teman, mantan, atau selingkuhan, huh?” “Cuma teman, Sayang.” “Ah, alasan! Sebaiknya aku makan siang di tempat lain saja. Aku sudah muak dibodohi seperti ini,” ujar Karin bergegas pergi. Nathan segera mengejarnya dan menahan langkah Karin. “Aku mohon, Karin. Percayalah sama aku. Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia.”
Karin hanya menatap sinis lalu pergi keluar restoran. Nathan tidak tinggal diam. Dia terus mengejar Karin dan berusaha meluluhkan hatinya.
Satu bulan berlalu, hubungan Karin dan Nathan di ujung tanduk. Nathan yang sulit melepaskan diri dari bayang-bayang gadis bernama Amanda membuat Karin semakin tidak nyaman. Karin pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan asmaranya dengan Nathan meski hatinya merasa berat untuk melepaskannya.
Nathan menerima keputusan Karin dengan lapang dada. Dia menyadari bahwa hubungannya tidak bisa dipaksakan untuk terus berlanjut. Rasa cinta di hati Nathan telah beralih sepenuhnya pada seorang gadis yang telah mencuri hatinya di pesta pernikahan itu. Dia telah memutuskan hubungan asmara dengan semua wanita yang sempat menjadi teman kencan dan selingkuhannya. Kini dia hanya fokus untuk menemukan Amanda dan menaklukkan hatinya.
Setiap jam makan siang, dia menghabiskan waktunya di restoran tempat gadis itu bekerja. Dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis pujaan hatinya di sana. Namun, usahanya selalu berakhir sia-sia. Hingga akhirnya dia tahu bahwa Amanda sudah mengundurkan diri tiga minggu yang lalu dari salah satu kasir di sana.
Mengetahui hal itu, ambisi Nathan untuk menemukan gadis itu semakin membara. Dia tetap berusaha mencarinya di setiap tempat. Bahkan dia pun mencari sosok gadis itu di kantornya. Tapi tidak ada satu gadis pun yang memiliki ciri-ciri fisik seperti gadis yang dimaksud.
Hari semakin gelap. Nathan pulang lebih awal dari biasanya. Setibanya di rumah dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Melepaskan seluruh kepenatannya dan membebaskan pikirannya dari kesibukan kantor. Di sela-sela keletihannya, Nathan merasa haus.
“Ani!” sahut Nathan.
Tidak ada jawaban sama sekali. Nathan terus memanggilnya berulang kali sampai rasa lelahnya berubah menjadi kekesalan. Pembantu yang satu ini benar-benar membuat Nathan tidak luput dari amarah setiap harinya. Akhirnya dia beranjak dari tempat tidurnya.
Ketika Nathan membuka pintu, tampak seorang gadis berkemeja putih lengan panjang dengan rok span hitam pendek berdiri di depan kamarnya. Wajah manis dan bibir merahnya mengingatkan kembali Nathan pada kejadian di pesta pernikahan.
Nathan terpaku melihat sosok gadis di hadapannya. Matanya memperhatikan kemolekan tubuh gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rasa senang dan heran bercampur di benaknya. Dirinya tidak menduga gadis manis yang dicarinya selama ini datang ke rumahnya.
“Amanda? Bagaimana kau bisa tahu rumahku?” “Bukankah sudah kubilang kalau kau juga pasti mengenalku.” “Jika aku mengenalmu, lantas kenapa aku tidak bisa menemukanmu dengan mudah? Aku sudah mencarimu ke setiap tempat, tapi aku selalu gagal menemukanmu. Katakan padaku, siapa kau sebenarnya? Apa kamu salah satu dari mantanku yang ingin balikan lagi?” “Hm, kasih tahu enggak ya? Ah, sebaiknya kita lanjutkan saja pembicaraannya di halaman belakang.”
Ketika gadis itu hendak melangkah, Nathan segera menariknya ke dalam kamar. Dia melingkarkan kedua tangannya ke pinggang si gadis dari belakang dan mendekatkan wajahnya tepat di belakang lehernya. Hidungnya mencium aroma parfum di leher si gadis dengan penuh gairah.
“Kenapa harus di halaman belakang rumah? Di sini juga bisa kan?” bisik Nathan.
Raut wajah si gadis tampak pucat dan tegang. Desah napas yang berembus di belakang lehernya membuat perasaannya hanyut dalam birahi. Keringat membasahi dahinya, napasnya semakin tidak beraturan. Meski begitu, dirinya tetap berusaha melawan nafsu yang bergejolak di dalam aliran darahnya.
“T-tidak, tidak. Sebaiknya kita ke halaman belakang rumah saja. Aku merasa tidak nyaman kalau bicara di sini.”
Nathan membalikkan tubuh gadis itu sehingga wajah keduanya saling berhadapan satu sama lain. Dia semakin mendekatkan tubuh semampai si gadis ke dadanya. Raut wajah gadis itu begitu syok menghadapi tindakan Nathan yang mengejutkan.
Kedua mata Nathan menatap mata gadis itu lekat. Tangan kananya membelai wajah manis si gadis dan mengangkat dagunya hingga berada tepat di bawah wajahnya.
“Ayolah, My Cinderella! Jangan buat pria malang ini menderita,” pinta Nathan dengan raut wajah memelas. “Tapi aku hanya ingin bicara di halaman belakang saja. Kumohon.” “Hm, tidak!” Si gadis melepas tangan Nathan dari dagunya. “Kenapa begitu? Kau ini egois.” “Biar saja. Mulai hari ini aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi.” “Benarkah? Apa kau yakin tidak akan menyesali keputusanmu setelah aku mengatakan siapa diriku sebenarnya?” Nathan tersenyum. “Tentu saja. Siapa pun dirimu, aku akan menerimamu apa adanya.” “Meski sebenarnya aku ini pembantumu?” tanya si gadis ragu. “Pembantu?! Haha… Apa kau bercanda? Gadis secantik kamu mana mungkin seorang pembantu.” Nathan tertawa geli. “Aku serius, Tuan. Sebenarnya aku ini adalah Ani, pembantumu,” tegas si gadis meyakinkan.
Seketika Nathan melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh si gadis hingga terjatuh. Dia tampak sangat syok mendengar pernyataan yang keluar dari mulut gadis itu.
“Tidak mungkin! Kau pasti bukan Ani. Namamu kan Amanda.” “Amanda memang nama asliku. Tapi setelah aku pikir-pikir, nama itu terlalu bagus untuk gadis desa sepertiku. Maka dari itu, aku memperkenalkan diriku pada Tuan dengan nama Ani.” “Apa?! Yang benar saja? Lalu, kenapa kau bisa bekerja di restoran dan menghadiri pesta khusus kalangan elite itu? Tidak, tidak! Kau pasti bukan si Ani, pembantuku yang ceroboh itu kan. Jawab aku dengan jujur!” “Tapi inilah kebenarannya, Tuan. Dulu aku memang bekerja paruh waktu di restoran itu. Tapi sejak aku tahu Tuan sering ke sana, aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Aku takut Tuan marah jika aku bekerja di tempat lain. Dan, di pesta pernikahan itu. Aku dipaksa oleh pemilik restoran untuk menemaninya ke sana. Maafkan aku, Tuan. Aku bersumpah, aku tidak punya niat sedikit pun untuk mempermainkan Tuan.”
Tubuh Nathan melemas. Dia duduk di tepi kasur sambil melempar kalung berliontin huruf A ke wajah Ani. Rasa kecewa bercampur kesal berkecamuk di dadanya. Tapi, tak lama kemudian ekspresi wajah Nathan berubah. Dia melepaskan semua perasaan yang bergelut di hatinya dengan tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha… Ternyata aku ini memang bodoh ya. Aku rela memutuskan hubungan dengan wanita-wanita berkelas hanya demi mendapatkan hati seorang pembantu. Ini benar-benar lucu.”
Cerpen Karangan: Ira Solihah