Hujan, entah kenapa begitu banyak orang yang menyukainya. Apa istimewanya? Bagiku hujan adalah sesuatu yang menyebalkan. Bagaimana tidak? Tidak jarang hujan hadir tanpa permisi. Begitu saja menumpahkan airnya pada apapun dan siapapun yang berada di bawahnya. Termasuk aku, yang hampir setiap hari menjadi korbannya. Untung saja sore ini sepertinya hujan lupa untuk menumpahkan airnya. Ya setidaknya aku tidak harus basah-basahan menunggu bus untuk pulang.
Seperti biasa, Sabtu sore adalah waktunya orang-orang untuk melepaskan semua kepenatan setelah 1 pekan beraktifitas. Begitupun dengan aku. Walaupun tidak ada seseorang special untuk menemaniku, tapi tak masalah. Aku masih bisa bersenang-senang dengan teman-temanku. Bercerita, bercanda, menyanyi, apapun yang bisa kami lakukan untuk melupakan rutinitas sejenak.
Sedang asyik-asyiknya kami menyanyi dengan diiringi petikan gitar oleh salah seorang temanku, tiba-tiba rintik hujan turun disaat senja. Dasar hujan! Sepertinya hobi sekali menggangguku. Setidaknya itu yang selalu aku pikir tentang hujan.
Semua orang berlarian untuk mencari tempat berteduh. Tidak! Semua orang, kecuali.. Seorang pria. Ia masih dengan tenangnya berada di tempat yang tetap. Dari jauh aku memperhatikannya. Lama ia duduk, kemudian ia berdiri, lalu merentangkan tangannya dan menengadahkan wajahnya ke atas. Sepertinya ia sangat menikmati hujan ini. Seolah-olah, hujan adalah sahabat baiknya. Dasar pria hujan!
Malam sudah larut, tapi aku masih belum juga bisa tidur. Padahal besok pagi ada meeting dengan bos, dan aku tidak boleh terlambat. Aneh, kenapa justru aku terus memikirkan pria hujan di taman tadi? Baru pernah aku melihat pria seperti dia.
Hahh!! Hujan lagi. Apa kau tidak bosan mengguyur kami setiap hari? Ya, memang ini puncak musim hujan, tapi apa kau tidak bisa libur saat Sabtu sore? Hahh! Tapi kau tak bisa menghalangi kami untuk menikmati Sabtu sore.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman, siapa tahu pria hujan itu berada di sini lagi. Emm mungkin lebih tepatnya aku berharap. Dan ternyata benar, aku menemukan sosoknya. Sedang duduk di sebuah bangku di tengah taman. Tak mempedulikan hujan yang tengah mengguyurnya. Aku terus memperhatikannya. Sampai tiba-tiba ada seorang perempuan menghampirinya. Apakah itu kekasihnya? Sepertinya iya. Tapi sepertinya mereka sedang bertengkar. Terlihat dari gestur sang perempuan yang sepertinya tengah memarahi si pria hujan. Dan apa? Perempuan itu menamparnya! Aku sempat tertegun melihatnya.
Hey kau pria hujan! Perempuan itu tak pantas untukmu. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang seharusnya bersikap lemah lembut justru menampar laki-laki? Walaupun aku tak tau masalah mereka, tapi apa tak bisa diselesaikan baik-baik? Setelah menamparnya, perempuan itu meninggalkannya begitu saja. Hey kau pria hujan! Kenapa kau diam saja? Tak bisakah kau membela diri? Hahh sepertinya aku sudah berlebihan. Mengapa jadi aku yang merasa tak terima dia diperlakukan seperti itu? Kembali ke pria hujan, dia kemudian berdiri, merentangkan tangannya, dan menengadahkan wajahnya ke atas. Persis seperti saat pertama aku melihatnya.
Hari Kamis, hari yang melelahkan. Apalagi jika harus menunggu lama di halte. Ahh sial! Sepertinya hujan benar-benar tak bersahabat denganku. Disaat seperti inipun hujan menambah kekesalanku. “Sial! Kenapa harus hujan si?” Ucapku. Dan tiba-tiba, “Biarkan hujan turun dengan kisah romantisnya sendiri.” Seseorang di sampingku sepertinya menjawab umpatanku untuk hujan. Aku menoleh ke arahnya. Dan ternyata, “Pria hujan” Ucapku dalam hati. Ya, aku yakin dia Pria hujan. Walaupun belum pernah bertemu, tapi aku sudah beberapa kali melihatnya.
“Kamu?” Ucapku yang masih tak percaya bisa bertemu langsung dengannya. “Iya aku. Kita sering berada di tempat yang sama, tapi tak pernah saling menyapa. Aku tahu kau sering memperhatikanku. Karena sebenarnya diam-diam aku juga memperhatikanmu.” Apa? Apa maksudnya? Dia memperhatikanku? Belum sempat aku menjawabnya, dia kembali melanjutkan perkataannya. “Ingat 3 bulan yang lalu di Oasis Resto? Kita sama-sama menemani bos kita meeting. Tapi saat itu kau sama sekali tak menatapku. Padahal sejak awal aku melihatmu, kau sudah mencuri perhatianku.”
Sejak pertemuan sore itu, aku dan dia semakin dekat. Hampir setiap sore dia mengantarku pulang. Dan sejak saat itu pula, aku menyukai hujan. Seperti yang dia bilang, hujan turun dengan kisah romantisnya sendiri.
Sabtu sore dia mengajakku ke taman. Tak banyak yang berubah, sama seperti dulu. Aku di taman bersama teman-temanku. Hanya saja sekarang ada dia yang juga menemaniku. Aku lebih banyak mengobrol dengannya. Ya, seperti biasa, ditemani hujan.
Hujan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tentang dimana dia sedang duduk di bawah hujan dan seorang perempuan menghampirinya. Ya, meskipun bisa dibilang hubunganku dan dia sudah lebih dari teman, tapi aku mencoba untuk tidak terlalu mencampuri urusan pribadinya yang tidak ada hubungannya denganku. Tapi untuk masalah itu, lama-lama aku jadi penasaran juga.
“Kenapa bengong?” Tanyanya menyadarkanku dari lamunan. “Emm enggak. Aku hanya teringat dengan kata-katamu saat pertama kita saling sapa dulu.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, dia tiba-tiba memotong. “Hari Kamis jam 17.20 di halte ditemani hujan.” Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. Ternyata dia masih ingat secara detail. Kemudian dia melanjutkan perkataanya. “Memangnya aku berkata apa saat itu?” Oh Tuhan! Tadi dia sudah membuatku terbang jauh, lalu tiba-tiba dengan pertanyaannya membuatku mendarat ke bumi saat belum siap. Tapi aku tetap mencintainya, mencintai pria hujan. “Hahh aku pikir kamu inget semuanya.” Ucapku sambil cemberut. Tapi sebenarnya aku tak benar-benar kesal padanya. Aku hanya suka melihat ekspresinya saat tahu aku cemberut. “Ya waktu itu kan kita ngobrol banyak, masa iya aku inget semuanya. Lagian emang aku bener-bener gak tau bagian mana dari kata-kataku yang kamu inget.”
Akhirnya aku mengalah untuk menjelaskan dan membuat dia ingat lagi. “Waktu itu kamu bilang diam-diam memperhatikanku.” “Iya, terus?” “Ya berarti kamu juga tahu dong kalau dulu aku liat kamu disamperin sama cewek terus dia marah-marah?” “Iya tahu, aku juga tahu kamu pasti liat pas dia nampar aku kan?” “He’em, dulu dia pacar kamu ya?” Akhirnya aku menanyakannya juga, walaupun dengan nada pelan, takut-takut dia tersinggung dengan pertanyaanku. “Iya, dulu dia pacar aku, tapi cuma sampai waktu itu. Setelah dia nampar aku terus dia mutusin aku.” Hahh sedikit lega juga dia tidak marah, malah mau menjelaskan. “Terus kenapa waktu itu kamu diem aja? Gak ngasih penjelasan gitu? Atau emang kamu yang salah yaa?” Ucapku sedikit meledeknya. “Buat apa aku jelasin? Kalo dulu aku jelasin, terus dia nggak jadi mutusin aku, aku nggak akan sama kamu sekarang. Dan satu lagi, mungkin emang dulu aku yang salah.”
Benar juga katanya. Jika saja dia dulu membela diri, mungkin saat ini dia tidak di sampingku. Ada rasa bahagia juga dihatiku mendengar kata-katanya. Tapi tunggu. Dia bilang memang dia yang salah? Salah apa memang? Sampai sampai pacarnya, ehh maksudku mantannya itu marah-marah bahkan sampai menamparnya. Aku jadi semakin penasaran. “Emm emangnya dulu kamu ngapain? Sampai dia nampar kamu?” “Bener kamu mau dengerin penjelasan aku? Entar aku udah jelasin panjang lebar taunya kamu gak percaya.” “Yaa tergantung penjelasannya. Kalau meyakinkan ya aku percaya.” Kemudian dia menatapku. “Oke aku jelasin, terserah kamu nanti percaya atau enggak.” “Oke” Jawabku singkat dan bersiap menunggu kata-katanya.
“Dulu aku sama dia udah pacaran hampir 1 tahun. Tapi lama-lama aku capek sama sifat dan sikap dia yang seenaknya. Sebenarnya aku udah pernah minta putus, tapi dia gak mau dengan alasan janji mau berubah. Tapi ternyata dia gak berubah. Sampai akhirnya aku ketemu sama kamu saat meeting. Di situ diam-diam aku selalu perhatiin kamu. Tapi sayangnya kamu enggak.” Aku hanya tersenyum dengar 2 kalimat terakhirnya. Kemudian dia melanjutkan. “Dari situ aku jadi semakin penasaran sama kamu. Aku cari tahu tentang kamu dari teman aku yang kerja di kantor kamu. Sampai akhirnya aku tahu, setiap Sabtu sore kamu selalu ke sini, ke taman. Setiap Sabtu sore aku selalu ke taman biar bisa liat kamu. Aku sempet kaget pas tahu kalau kamu ternyata suka perhatiin aku. Dan masalah mantan aku itu, aku bilang ke dia udah gak bisa sama dia lagi, karena aku udah jatuh cinta sama perempuan lain. Tiba-tiba dia nyamperin aku ke taman dan langsung marah-marah. Dan ya, seperti yang kamu liat, dia nampar aku dan langsung mutusin aku.” jelasnya panjang lebar. “Jadi sebelum sama aku, kamu sebenarnya jatuh cinta sama cewek lain?” Tanyaku sedikit ragu. “Harusnya bukan itu yang kamu tanyain, tapi ‘siapa yang udah buat aku jatuh cinta’.” Tuhan, kenapa dia hobi sekali membuat aku penasaran? “Oke, emang siapa yang udah buat kamu jatuh cinta?” Tanyaku mengikuti perkataannya. “Kamu” jawabnya singkat.
Apa? Aku? Jadi aku alasan perempuan itu menamparnya? Aku penyebab hubungan mereka berakhir? Aku.. perusak hubungan orang? Semua pertanyaan itu terus berputar di otakku. Aku sama sekali tak pernah berpikir sejauh itu. Ternyata dia lebih dulu jatuh cinta padaku jauh sebelum aku memperhatikan dia. Dan sekarang dia mengungkapkan kenyataan bahwa akulah yang menjadi sebab hancurnya hubungan dia dan mantannya. Sedih, kecewa, marah, atau mungkin lebih tepatnya merasa bersalah.
1 minggu setelah pengakuannya, 1 minggu juga aku selalu menghindar darinya. Entahlah, aku hanya merasa belum bisa menerima semua ini.
Sore ini dia mengajakku bertemu di taman. Sebenarnya aku masih belum ingin menemuinya, tapi dia bilang ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Lima menit aku menunggunya, akhirnya dia datang juga. Hahh manis sekali dia. Rasanya memang aku tak bisa jauh lama-lama darinya. “Hai! Sudah lama?” “Belum, aku juga baru sampai. Ada apa?” Tanyaku tanpa basa basi. Lama aku menunggu jawabannya. Dia masih tetap diam. Akupun tak tahu bagaimana cara memecah keheningan ini. 5 menit.. 10 menit.. ia masih diam. Senja yang sedari tadi indah menghias sore lama kelamaan berubah hitam. Sepertinya akan hujan. Apa dia mengajakku kesini hanya untuk diam menikmati hujan?
“Sepertinya akan hujan.” Ya, tanpa dia bilangpun aku tahu ini akan hujan. Bukan kata itu yang aku tunggu darinya. “Tidak apa-apa. Bukankah kau tahu sejak bersamamu aku jadi menyukai hujan?” Dan benar, hujan dengan derasnya mengguyur kami. “Mungkin setelah ini, kita tidak dapat menikmati hujan bersama lagi.” “Apa maksudmu?” “Aku dipindah tugaskan ke kantor cabang di luar Jawa. Dan aku tak tahu apakah aku akan kembali kesini lagi atau tidak.” Aku masih diam, mencoba mencerna kata-katanya. Aku rasa aku mulai menangis. Tapi aku yakin dia tak mengetahui aku menangis, karena air mataku bercampur dengan air hujan yang membasahi kami. “Kapan kau akan pergi?” Tanyaku berusaha dengan nada setenang mungkin. “Besok. Dan aku tak bisa memberimu kepastian tentang kita. Jadi jangan menungguku. Tapi kau harus tau, aku sangat menyayangimu. Dan satu lagi, tetaplah menyukai hujan, walaupun kau tak bersamaku.”
Sungguh aku tak percaya. Hanya seperti itukah kata-kata perpisahannya untukku? Tapi baiklah, akan kuingat permintaannya. Aku akan tetap menyukai hujan walaupun tak bersamanya lagi. Karena dengan hujan, aku dapat menyembunyikan tangisku. Karena dengan hujan, aku dapat mengenang dirinya. Hujan mulai reda, dan diapun pergi. Merah mega mulai menghiasi langit lagi walaupun masih ditemani rintik hujan. Ya, rintikan senja menemaniku menatap kepergiannya.
Jika yang lain menanti pelangi, tapi tidak denganku. Meski ku tahu awan tak hitam, ku menunggu hujan. Dan hujan, peluklah cintaku! *Sepenggal lirik lagu RAIN*
Cerpen Karangan: Lia Pangestika Blog / Facebook: Liia Pangestika Menyukai musik, menulis, dan dunia sepak bola