Aiko mengusap matanya pelan sesekali menggeliatkan tubuhnya, sayup-sayup ia mendengar langkah kaki mendekat. “Lo udah bangun rupanya. Gue pikir lo tidur selamanya.” Itu suara Agnes, sarkas seperti biasa. Tanpa menggubris ucapan Agnes, Aiko melangkah gontai menuju kamar mandi di bagian belakang, terpisah dua ruangan dari tempatnya tidur tadi. Tapi, suara Agnes masih terdengar bahkan sangat jelas. Aiko menggeleng keras kepalanya, hendak mengusir suara sahabat tomboynya itu.
“Bazar besok malam nanti lo ikut kan?” Tanya Agnes ketika Aiko telah kembali dari kamar mandi. “Gue gak ikut. Gue sudah bilang ke lo kemarin.” Jawab Aiko yang tengah sibuk mengeringkan wajahnya menggunakan tisu. Agnes mendengus tak terima. “Malam mingguan sama Rangga ya Ko?” Gantian Aiko yang mendelik kesal. “Apasih, gak usah ko-ko-in gue. Gue bukan orang cina.” Padahal Aiko tidak perlu sekesal itu karena biasanya Agnes memang menyapanya ‘Ko’ berbeda dengan teman-temannya yang lain. Begitupun hanya Aiko yang menyebut Agnes ‘Gi’.
Aiko menghela nafas, menghembuskannya lelah. “Sorry Gi, bang Landy ngajak gue buat makan malam bareng keluarganya sekalian syukuran. Lo tahu kan istrinya baru lahiran.” Agnes mengangguk paham. “Oke. Tapi lo baik-baik aja kan?” Aiko mengangguk malas. “Lo tidur lebih dari tiga jam gak seperti biasanya dan lo langsung kesal ngegas ketika gue sebut nama Rangga. Kalo dia nyakitin lo, ngomong aja biar gue yang abisin.” Sembur Agnes berapi-api. Aiko yang sedang menonton serial anime favoritnya tidak tahan untuk memutar bola mata. “Dia bukan makanan Gi. Lo gak mungkin bisa abisin dia. Hiperbola syekaleh.” Ejek Aiko dengan kekehan. Namun, seketika itu juga ekspresinya berubah sendu. Bahkan Agnes tahu, jerit dewi batinnya. Seterlihat itukah kesedihannya. Tidak menutup kemungkinan bahwa orang lain akan tahu juga.
Bagi Aiko, tidak peduli berapa banyak orang yang tahu tentang perasaannya. Dia hanya mau Rangga peka, hanya Rangga. Agar mereka bisa menjalin hubungan dengan normal. Bertukar cerita dari hati ke hati, saling mengingatkan dan menjaga kepercayaan. “Jadi, udah pasti lo gak ikutan bazar. Gue bakal bilang ke anak-anak.” Ucap Agnes sambil lalu, tidak tahan melihat wajah sendu sahabat baiknya. “Trims.”
Aiko mengusap ujung matanya yang berair. Ah, Rangga. Pertamakali Aiko melihatnya sebagai seorang lelaki dewasa adalah ketika Rangga datang di acara yang diadakan oleh Aiko dan teman-temannya dari Komunitas Peduli Lingkungan. Rangga hadir sebagai pemateri. Cukup handal untuk seukuran seorang siswa SMA, Rangga seolah memiliki cukup pengalaman dalam hal tersebut. Kategori cowok badboy elegant yang menjadi pacar impian Aiko langsung musnah tergantikan oleh sosok Rangga. Dingin tapi profesional dalam bekerja.
“Kak Ai kok gak ikutan bazar bareng?” Suara cempreng milik Fani mengejutkan Aiko. “Males aja sih Fan.” Ucap Aiko. “Pasti mau malam mingguan bareng bang Rangga ya. Ciyee yang kencan.” Setelah mengucapkan hal itu, Fani berlari keluar takut dihajar oleh Aiko yang wajahnya sekarang mirip Bruce Lee sedang marah.
Kencan ya? Aiko meringis mendengar kata itu. Dia dan Rangga resmi pacaran sudah lebih dari sebulan tapi mereka tidak pernah benar-benar melakukan kencan. Kalau kencan yang kalian maksudkan dengan makan bareng teman-teman, atau kencan dalam artian belajar berdua, irit kata kecuali ada pertanyaan sulit yang perlu didiskusikan. Nah, itu masuk kategori kencan Aiko dan Rangga. Makan malam romantis atau jalan berdua serta tetek bengeknya tidak tercantum dalam kamus mereka. Kamus Rangga lebih tepatnya. Aiko menghela nafas, lagi. Entah keberapa kalinya. Aiko meraih benda tipis persegi, hadiah dari abangnya, Landy. Membuka salah satu aplikasinya. Kemudian mengetik satu kata disana.
Aiko : Ga?
Butuh waktu 20 menit hingga Rangga membalas pesannya. Rangga : Ya Aiko : Besok malam kamu sibuk gak?
Sepuluh menit kemudian… Rangga : Ada apa nih? Aiko : Anterin aku ke rumahnya bang Landy. Bisa?
Lima belas menit kemudian… Rangga : Gue gak bisa. Aiko : Oh, oke.
Dan tidak ada balasan setelah itu. Lihat kan? Panggilan mereka saja beda. Aiko menggunakan kata aku-kamu sedangkan Rangga menggunakan gue-lo. Aiko mendengus kasar. Memangnya apa yang kamu harapkan heh? Penyihir batinnya menyeru. Sabar Aiko, kamu lebih mengenal Rangga dari siapapun. Saran dewi batinnya.
Aiko membereskan beberapa barangnya yang berserakan di atas meja. Memasukkannya ke dalam tas. Setelah menyapa beberapa temannya yang masih nongkrong ala remaja kreatif. Kemudian dia bergegas meninggalkan bangunan persegi panjang mirip rumah kontrakan, dikelilingi taman bunga dan bibit-bibit tumbuhan yang diatur sedemikian rupa. Pada bagian luar tembok pagarnya terdapat angka 31 dan tulisan Komunitas Peduli Lingkungan.
Arloji hitam kecil yang melingkar di pergelangan kiri Aiko menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat menit ketika dia menghentikan laju motornya. Lampu merah. Dia menengok ke samping kanan. Tampak olehnya, Rangga bersama seorang perempuan… Itu Raya, mantannya.
Malam minggu telah tiba. Seorang gadis bersurai hitam agak ikal tengah mematut dirinya di depan cermin. “Memakai gaun bukan ide yang baik.” Omelnya sambil geleng-geleng kepala melihat bayangannya di cermin. Seorang perempuan tengah berdiri dengan gaun maroon selutut dan memandangnya. “Oh tidak! Sudah hampir jam tujuh.” Erangnya frustasi. Dia meraih gawai di atas nakas dan menempelkannya di telinga. “Ya bang, ini Aiko. Gak usah pake gaun ya bang. Aiko susah jalan ntar.” Keluhnya sambil mondar mandir di depan lemari. “Ya kak Nay. Iya nih, abang aneh ih. Masa Aiko disuruh make gaun segala. Lagian dedek bayinya kan cowok bukan cewek.” Rupanya kakak iparnya, Nayla telah mengambil alih gawai dari suaminya. “Haha.. Oh, iya juga ya. Gak ada hubungannya sih bayi cowok atau cewek. Hehe… Oke, makasih kakak iparku yang pwaling syantiik.” Aiko terkekeh bahagia karena bisa terbebas dari gaun itu.
Tidak sampai lima belas menit, dia sudah siap dengan celana jins longgar, kaus hijau tua. Warna faforitnya. Oh dan hoodie hitam. Sangat Aiko sekali. “Non, mau berangkat sekarang?” Bi Murni, wanita setengah abad itu telah bekerja sebagai pengasuh di rumah Aiko sejak kedua orangtuanya masih hidup. Bi Murni adalah seseorang yang diselamatkan hidupnya oleh Mama Aiko. Sebenarnya Landy ingin menyewa pembantu tambahan mengingat usia Bi Murni. Tapi Bi Murni menolak dengan tegas. “Iya Bi. Maaf ya, Ai malam ini makannya di rumah abang.” Ucap Ai lembut. “Oke Non. Salam buat nak Landy sekeluarga. Sampaikan juga permintaan maaf bibi karena tidak sempat hadir.” “Sip!” Aiko menunjukkan jempol kanannya. Setelah mengikat tali sepatu conversenya. Aiko bergegas menuju motor matic hijau dan berlalu menuju kediaman kakak semata wayangnya.
Arloji hitam kecil yang melingkar di pergelangan kiri Aiko menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat ketika ia memperlambat laju motornya. Lampu merah. Gadis bersurai hitam selegam iris matanya itu menengok ke kanan. Tampak seseorang yang sangat familiar bersama motor ninja putihnya pada barisan pertama dari kanan. Rangga. Dia bersama seorang perempuan yang juga Aiko kenal sebagai mantan pacar Rangga. Adalah Rayya, cinta pertama Rangga. Aiko mendengus kasar, ingin menangis dan menjerit saat itu juga. Miris, suaranya bahkan tercekat di tenggorokan. Mungkin pita suaranya sedang sakit maag.
Aiko terus menatap dua insan manusia itu. Segala macam asumsi buruk kian berkecamuk di kepala tepat saat Aiko menangkap tangan Rayya memeluk possesif pinggan Rangga. Bukankah mereka sudah tidak pernah jalan berdua lagi? Tidak kontek-kontekan lagi kecuali hal-hal yang berbau OSIS. Setidaknya itu yang Rangga ucapkan ketika Aiko tidak sengaja mengeja nama Rayya di group chat line OSIS empat minggu yang lalu. Suara klakson kendaraan membangunkan Aiko dari imaji sedihnya. Sadar masih di jalan, Aiko segera memacu maticnya. Tidak sabar menanti hari senin.
Bel berdering merdu. Aiko Primrose, siswi kelas XI Ipa 3 SMA Pelita hendak keluar kelas bersama Agnes, sahabatnya. Sebelum sebuah suara menginterupsi. “Lo gak lupa kan kalo kita punya jadwal belajar hari ini?” Dua orang siswi itu langsung menghentikan langkahnya. “Tapi aku lapar Ga.” Ucap Aiko acuh sambil lalu. Namun Rangga mencekal tangannya. “Ikut gue, sekarang.” Aiko menghela nafas lelah, menatap Agnes. “Udah. Ikut doi aja Ko. Kangen kali.”
Di sinilah mereka. Area sekolah paling tinggi, atap. Terdapat sebuah gudang kosong disana. Rangga menjadikannya sebagai markas. Mereka duduk berhadapan. Aiko langsung memungut sembarang buku, sialnya itu buku sejarah. Otaknya makin runyam. Belum selesai rasa kesalnya terhadap Rangga, kini dia harus membaca jejeran kalimat sehalus semut itu. Nilai tambahnya, perut Aiko mulai berdering minta diisi.
“Nih.” Rangga menyodorkan sebungkus roti isi keju ukuran double kepada Aiko. “Lo kenapa gak balas pesan gue kemarin?” Aiko yang sedang mengunyah hampir tersedak mendengar pertanyaan Rangga. Tumben. ‘Giliran aku gak bales pesannya saja langsung nanya. Coba dia, pesannya dibaca tapi gak bales’ gerutu dewi batin Aiko. “Gak ada pulsa.” Setelah itu mereka tenggelam dengan aktifitas masing-masing. Aiko yang terpaksa membaca buku sejarah dan Rangga yang keseringan membalas pesan di gawainya.
“Ga, jadi malam minggu kemarin kamu kemana?” Tanya Aiko yang sebenarnya sudah tidak sabar untuk bertanya sejak malam itu. Rangga menatapnya sekilas, membalas entah pesan dari siapa di gawainya. Butuh tiga menit. “di rumah. Gue gak kemana-mana.” Bersamaan dengan ucapan Rangga, bel masuk berbunyi. Aiko menganga hebat. Dia segera menutup mulutnya dan merapihkan buku-buku dengan cekatan. “Aku duluan.” Ucapnya sedatar Rangga bersama pancaran aura-aura dingin dan melengos pergi membawa sejumput hati yang terluka.
Giliran Rangga yang menegang di tempat. Perubahan aura Aiko sangat terasa. Sedetik kemudian dia kembali membalas pesan dengan tenang sebelum kembali ke kelas. Mungkin Aiko lagi datang bulan. Begitu pikir Rangga.
Emang iya? 😀 Next…
Cerpen Karangan: ALis W Facebook: Alise Welemuly