Bahasa, banyak orang menganggap remeh, “Ah, cuma bahasa biasa.”
Tidak ada yang istimewa. Tapi, tidak menurutku.
Bahasa, terutama bahasa ibuku—bahasa Indonesia—adalah bahasa yang banyak membawa perubahan besar dalam hidupku. Mungkin terdengar hiperbolis, namun itulah adanya. Bahasa yang kini mulai terkikis, tergerus arus globalisasi sehingga banyak orang tak lagi bangga menggunakannya ini merupakan awal dari satu kepingan bersejarah dalam hidupku. Persetan dengan perkataan orang-orang yang menyebutku kaku, tidak gaul, dan lain sebagainya. Aku disini, melipat dahi dan berpusing-pusing kembali mempelajarinya. Rasanya perasaan bangga dan senang memenuhi dadaku hingga sesak karena lewat bahasa ini aku ingin lebih memahaminya, berkomunikasi dengannya, dan menjadi lebih dekat dengannya.
Iya, dia gadis keturunan jawa berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus panjang yang setiap kata dari ucapannya mampu membuat hatiku bergetar. Dia, gadis yang setiap kalimat ia tuliskan di secarik kertas kusut itu cukup kuat untuk membuat jantungku berdebar seharian.
Dia, cinta dalam bahasaku.
Bermula dari satu tahun yang lalu, ketika aku baru pindah ke Indonesia setelah menyelesaikan S1 dan S2 ekonomi di London. Ayah menyuruhku untuk melanjutkan S3 ilmu manajemen kelas internasional di Indonesia tepatnya di salah satu universitas ternama di daerah ibukota negara.
“Kau akan mengelola perusahaan keluarga kita yang ada di Indonesia, jadi lanjutkan saja sekolah di sana” tutur beliau tepat setahun yang lalu dengan aksen british yang kental.
Waktu itu, aku semalaman mengutuk ayahku yang seenaknya saja menyuruh pindah ketika aku sudah nyaman dengan segala bahasa dan budaya di ibukota negara Inggris itu. Tapi, mau tak mau aku menuruti ucapannya dan mengikuti penerbangan pagi menuju negara asal ibuku itu seminggu kemudian.
Masih segar di ingatan ketika kala itu teman-teman sekelas memandangku dengan heran. Maklum saja, iris berwarna coklat terang dan warna kulit yang terlihat lebih pucat membuatku menjadi lebih mencolok dari yang lainnya. Aku tak ambil pusing, toh hanya dua tahun ini dan aku akan segera berkecimpung penuh di dunia kerja. Namun yang menjadi kendala ialah aku tak lagi fasih berbicara menggunakan bahasa ibuku ini, bahasa Indonesia. Dengan kalimat yang berantakan—bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tercampur aduk—aku tertatih-tatih mecoba bersosialisasi dengan lingkunganku dan beruntung teman-temanku memahami keterbatasanku berbicara bahasa Indonesia. Waktu itu kukira masalah yang kuhadapi hanya sekedar sulit bercakap-cakap dengan lancar bersama teman sekelas, namun ternyata masalah lain muncul lagi ketika aku melihat cetakan jadwal mata kuliah.
Mata kuliah wajib: Bahasa Indonesia.
Ah, matilah aku.
Minggu selanjutnya, aku mengikuti kelas perdana mata kuliah bahasa Indonesia. Apa yang kudapat? Nol besar. Tidak mungkin aku sibuk menanyai teman-temanku saat dosen sedang menjelaskan bukan? Maka jadilah aku keluar ruangan dengan gontai, terlebih lagi dengan setumpuk tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Tepat saat keluar ruangan, hujan turun dengan deras.
“Dan, nggak pulang?” seorang teman menepuk pundakku, Dimas namanya. “Ah, I don’t bring my umbrella” ucapku sambil menggaruk tengkuk. Dimas mengangguk mengerti. “Yaudah gue cabut duluan. See ya” ujarnya sesaat sebelum berlarian menembus hujan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Aku menghela nafas, banyak buku-buku penting di dalam tas sehingga aku tak mau ambil resiko hujan-hujanan dan membasahi semuanya. Sudut mataku menangkap gedung perpustakaan ketika asyik mengamati sekitar. Tanpa pikir panjang, aku pun melangkahkan kaki dengan lesu menuju gedung itu.
Sepi, tak banyak orang yang ada di dalam perpustakaan bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Aku melangkahkan kaki ke rak buku literatur, mencari buku bahasa Indonesia—mumpung ada di perpustakaan, sekalian saja belajar bahasa Indonesia pikirku saat itu. Mataku sibuk menelusuri punggung-punggung buku yang tersusun rapi di rak, sesekali aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena bingung. Hei, semua bukunya terlihat sama.
Tepat ketika aku mulai lelah melihat setiap daftar isi buku, sebuah tangan menjulurkan buku di depanku. Aku yang terkejut refleks melihat siapa yang memberiku buku. Seorang gadis dengan senyum manisnya segera memenuhi pandanganku. Aku mengerjapkan mata, melihat gadis dan buku itu secara bergantian.
“Kamu mau belajar bahasa Indonesia? Aku sarankan belajar dengan buku ini. Mudah dimengerti” ujarnya. Sungguh, jika ada kardiogram menempel di dadaku mungkin sekarang akan terlihat bagaimana jantungku berdebar begitu kencang saat itu. Aku tak mengerti mengapa, namun cara gadis di hadapanku bicara berbeda dengan orang lainnya. Lamunanku buyar ketika gadis itu menjulurkan sekali lagi bukunya, aku menerimanya dengan kikuk, “Thanks,” ujarku sambil menatap ke dalam iris matanya yang berwarna coklat gelap itu. Ia tersenyum simpul dan berbalik keluar dari lorong rak itu. Entah dimana pikiranku saat itu, aku menahan lengannya sehingga langkahnya terhenti.
“Ah, um…,” ucapanku terhenti ketika penjaga perpustakaan menatapku dengan galak. Aku menggaruk tengkuk dan mengeluarkan buku catatan serta bolpoin dari tas, sedangkan gadis itu menatapku bingung. Aku menuliskan sebuah kalimat di sana, kalimat bahasa Indonesia pertama yang aku tulis seadanya. Kalimat berantakan yang mengawali semuanya.
‘Bisa gak u teach me bahasa?’ Gadis itu menerima sobekan catatanku, membacanya, lantas tertawa pelan—takut penjaga perpustakaan memelototi kami lagi. Hampir saja waktu itu aku mengubur diri sendiri karena malu hingga gadis itu merebut penaku dan menulis kalimat balasan. Aku membacanya dan mataku langsung berbinar senang.
‘Ya. Tentu saja.’
Dia menuntunku ke sebuah bangku membaca dan dengan sigap mengeluarkan sebuah buku catatan serta alat tulisnya. Aku dengan kaku turut duduk di sampingnya dan mengeluarkan buku cetak bahasa Indonesiaku. Gadis itu tersenyum sebentar lalu mulai menjelaskan dari awal dengan volume suara hampir seperti orang berbisik. Aku sesekali mengangguk mengerti, sesekali menyela dengan pertanyaan tentang yang tidak kumengerti—tentu saja dengan bahasa yang masih kacau. Gadis itu dengan sabar menjawab semua pertanyaanku, bahasa Indonesianya sangat mengagumkan. Aku sering mendengar orang bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia, namun hampir semuanya terdengar berbeda. Mereka menyebutnya bahasa ‘gaul’ namun itu justru membuatku makin bingung untuk memahami percakapan mereka. Hingga akhirnya, karena aku sudah terbiasa mendengar bahasa-bahasa nyeleneh itu, aku pun tak berkutik di mata kuliah bahasa yang sesungguhnya. Namun, lihatlah gadis ini. Bahasanya sopan dan teratur, terlebih lagi suaranya yang merdu benar-benar mengingatkanku pada suasana kampung halaman ibu saat masih kecil dulu.
Ketika kami berhenti sebentar dan aku larut dalam masa-masa kecilku dulu, gadis itu menjulurkan sobekan kertas.
‘Siapa namamu?’
Aku tersenyum dan segera menulis jawabannya
‘Aidan Alexander Abbiyya. Panggil saja Aidan. You?’
Gadis itu membaca dengan takjub. Lalu menuliskan balasan cukup lama.
‘Wah, namamu bagus sekali. Artinya berani. Bolehkah aku memanggilmu dengan nama Abbi saja? Namaku Alysha Alfathunnisa, artinya wanita yang penuh kelembutan. Kamu asalnya dari negara mana?’
Aku membaca tulisan demi tulisan itu dengan jantung yang entah mengapa berdebar tak menentu. Dan dengan pertanyaan dari Alysha—aku suka sekali namanya—, kamipun akhirnya berakhir dengan saling membalas pertanyaan dan jawaban di atas kertas buku catatan itu. Aku akhirnya tahu kalau Alysha adalah mahasiswi S2 jurusan sastra Indonesia. Ayahnya adalah seorang penyair yang menjadi inspirasinya dalam terus menggali kekayaan bahasa negerinya. Ia dengan bangga menunjukkan puisi-puisi yang ia buat di sebuah binder kecil usang, antusias menjelaskan makna di tiap barisnya. Aku menatap ekspresi Alysha yang sumringah itu dengan takjub. Sejak menginjakkan kaki di Indonesia dari beberapa minggu yang lalu, belum pernah aku menemukan seseorang yang begitu cinta pada bahasa Indonesia. Kebanyakan orang sudah mencampur adukkan bahasa mereka, tak lagi sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang kubaca di buku cetak.
Ah, dengan begini aku pun mulai mencintai bahasa. Berbanding lurus dengan perasaanku terhadap Alysha.
Hari itu, aku menyudahi sesi belajarku dengan Alysha ketika hujan sudah reda. Kosakata bahasaku hari itu bertambah banyak. Dengan menyelipkan sebuah kertas di tangannya, kami pun berpisah di depan gedung perpustakaan. Sebuah kertas kecil dengan tulisan ceker ayamku ‘Aku minta tolong ajari aku lagi ya?’ yang dibalas dengan anggukan dan senyum malu-malu Alysha. Mulai dari hari berhujan itu, aku terus bertemu dengan Alysha untuk belajar bahasa Indonesia. Aku menjadi semakin pandai berbahasa dan semakin senang untuk mempelajarinya.
Kupelajari bahasa Indonesia sebagaimana aku ingin mempelajari arti dari tiap bait puisi yang ia buat untukku di mading kampus setiap minggunya, kubiasakan berbahasa sebagaimana aku biasa bertemu Alysha di bangku tua perpustakaan di antara aroma menyengat buku-buku, dan kucintai bahasa sebagaimana aku perlahan mulai mencintai Alysha.
Dua tahun berikutnya, ketika aku berhasil meraih gelar doktorku, aku sudah kembali fasih berbahasa Indonesia. Alysha datang padaku membawa sebuah buku puisi cetakan pertamanya dan sebuah bunga sebagai hadiah. Tak butuh waktu lama, aku mengeluarkan sobekan kertas dan menuliskan sesuatu untuknya.
‘Maukah kamu terus berpuisi bersamaku hingga rambut kita memutih?’
Tak lama bagi Alysha untuk mengerti maksudnya dan menuliskan sebuah balasan sambil berlinangan air mata. Aku membacanya dan langsung melempar kertas itu kesembarang arah untuk memeluk gadis di hadapanku.
Alysha Alfathunnisa, gadis jawa dengan rambut hitam panjangnya, cinta dalam bahasaku, memutuskan untuk terus berpuisi bersamaku hingga menua.
‘Ya. Tentu saja.’ Begitu balasannya.
Cerpen Karangan: Sylvia Rijha Putri wattpad: sylvxx / Ig: sylviarijha.p Haii, aku Sylvia. Maaf bila ada salah ketik atau penulisan lainnya. Baca ceritaku yang lainnya di wattpad ya! kamu bisa search cerita ‘Breath on Winter’ by sylvxx. Terimakasih!:)