Penerimaan rapor semester 1 telah usai. Seluruh siswa pun sudah pulang bersama orangtua masing masing. Namun, tidak untuk seluruh siswa kelas XI IPA 2. Kami masih ribut dengan rencana liburan bersama satu kelas. Satu satu dari kami memunculkan ide tempat dan membuat suasana menjadi semakin ribut. Hingga satu ide yang sangat menarik muncul dari salah satu murid laki laki.
“Gimana kita camping di suatu tempat deket desa yang lagi booming sekarang. Desa itu letaknya agak jauh dari kota kita. Desa yang ada tempat camping itu sangat menarik karena siapapun yang kesana bakal bingung. Jalan menuju tempat camping itu membingungkan karena banyak perempatan dan jika salah pilih jalan bakalan nyasar dan gak bakal sampai tempat camping,” ucap seorang siswa laki laki yang tak lain adalah Ridho. “Lo serius Dho?” tanyaku tak yakin. “Serius Salsa, dan cara paling asik buat kesana adalah bersepeda,” jawab Ridho.
Akhirnya, sebagian setuju dengan usul Ridho. Yaps, hanya sebagian anak yang berarti hanya 20 orang. Kami akan bersepeda secara berpasangan perempuan laki laki dengan cara mengambil lintingan. Bagi perempuan dan laki laki yang mendapat nomor sama, berarti mereka akan berboncengan. Aku berharap bisa bersama Afrian, orang yang selama ini aku cintai diam diam. Tetapi, ternyata takdir tak berpihak padaku kali ini karena Afrian berpasangan dengan Afika, orang yang membuat aku cemburu karena selalu mendekati Afrian. Semua pun sudah berpasangan dan pasangan yang dihasilkan adalah Afrian-Afika, Sendi-Tania, Farel-Sofi, Ridho-Salsa, Gilang-Danita, Mario-Adela, Latif-Desy, Satria-Amira, Andi-Imel, Fella-Fandi. Itulah pasangan yang dihasilkan dari lintingan. Sebenarnya aku dan Afika seperti tukeran pasangan karena Ridho itu suka Afika dan Aku suka Afrian. “Gini, besok kita cuma butuh baju ganti aja. Semua keperluan camping udah disiapkan sama pihak sana,” ucap Ridho. “Oke,” ucap semua serentak.
Hari berganti dengan cepat dan hari ini aku berangkat sangat pagi untuk camping. Saat keluar rumah, semua sudah menunggu di depan rumahku. Semua memakai sepeda gunung yang telah diberi boncengan pada bagian belakang. Aku pun berjalan ke arah Ridho setelah berpamitan dengan mamaku. “Cepet naik Sal,” suruh Ridho. Aku pun langsung naik dan melingkarkan tanganku di pinggang Ridho. “Aduh, kok jantung gue jadi dag dig dug gini sih. Perasaan waktu gue deket Afika yang gue suka gak se dag dig dug gini deh,” batin Ridho.
“Woy, cepet jalan Idho. Yang lain udah jalan tuh,” suruhku. Ridho langsung mengayuh sepedanya menyusul pasangan lain yang sudah jalan duluan. Sepanjang jalan, aku hanya melihat Afrian dan Afika yang sepertinya bahagia sekali bisa berpasangan. Sungguh, sakit banget yang aku rasakan melihat Afrian bahagia bersama Afika.
“Sal, lo diem aja dari tadi. Biasanya aja di kelas lo paling berisik. Lo sakit?” tanya Ridho. “Gak kok Dho, cuma males ngomong aja,” jawabku. “Hmm, pasti lo males ngomong karena lihat Afrian sama Afika,” ucapnya. “Gak lah Dho,” ucapku. “Gue juga sebel tuh lihat dia sama Afrian. Lo tau sendiri gue suka sama Afika dan udah berkali kali deketin bahkan nembak tapi tetep ditolak,” ucapnya. “Yang sabar aja mas bro, mungkin dia bukan jodoh lo,” ucapku. “Haha… iya Sal,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Sungguh, setelah aku setengah jalan bersama Ridho aku merasa ada hal yang beda. Ridho yang kukenal brutal dan kasar ternyata sosok yang sangat enak diajak mengobrol. Aku justru lebih merasa nyaman di dekat Ridho daripada di dekat Afrian. Aku semakin mempererat lingkaran tanganku di pinggang Ridho dan itu membuat Ridho jadi gugup mengendarai sepeda. Saat sudah dekat dengan tempat camping, aku merasakan sakit di perutku dan membuat Ridho khawatir.
“Lo kesakitan kenapa Sal?” tanya Ridho. “Perut gue sakit Dho, kayaknya maag gue kambuh deh,” jawabku. Tiba tiba Ridho menghentikan sepedanya dan menyuruhku turun. Aku pun turun dari sepeda dan Ridho menuntunku ke sebuah kursi di dekat daerah situ.
“Kamu makan dulu deh, baru kita lanjut jalan,” ucapnya lalu mengelus elus pucuk kepalaku. Deg… Jantungku serasa mau copot saat dia mengelus elus pucuk kepalaku. Aku tak pernah merasakan seperti ini bahkan saat di dekat Afrian, orang yang aku suka. Hatiku lantas bertanya, apa artinya ini? Apakah aku justru mencintai Ridho? Sosok yang aku anggap paling brutal di kelas. Dia sungguh berbeda dari biasanya. Sosok yang kasar dan brutal sekarang menjadi perhatian dan lembut di depanku.
“Udah Dho, aku udah gak sakit,” ucapku. “Ya udah, kita lanjut jalan sekarang,” ucapnya. Akhirnya kami berdua lanjut berjalan untuk menyusul yang lain.
Hingga malam tiba, kami berdua tak kunjung sampai. Kami kebingungan harus kemana lagi karena jalan semuanya sudah sepi dan hanya lampu jalan yang menyapa. Yang lebih membuat kami bingung adalah kami dihadang perempatan yang sana sini gelap. Saat mengayuh sepeda dengan mengambil jalan lurus, ada kira kira 10 preman yang menghadang kami. Preman itu tiba tiba menghajar Ridho hingga Ridho tak berdaya. Preman itu mencoba mendekatiku dan berusaha berbuat macam macam. Preman itu menamparku berkali kali untuk membuat tenagaku habis agar mereka leluasa bermacam macam denganku. Ridho yang sudah terkulai lemas berusaha bangkit untuk menyelamatkanku. Aku hanya bisa menangis ketakutan melihat wajah preman itu. Ridho memukul preman itu dengan balok kayu dan berhasil membuat preman itu pergi.
“Dho, gue takut,” aku memeluk erat tubuhnya dan menangis sejadinya. Aku merasakan detak jantung Ridho sangat kencang. Aku mengabsikan detakan jantung itu dan tetap memeluk erat tubuh bidangnya. “Udah udah, jangan nangis lagi. Mereka udah pergi, lagian gue gak bakal biarin kamu diapa apain sama preman itu,” ucapnya yang membalas pelukanku. Aku melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. “Ya udah, kita pergi dari sini. Takutnya ada preman lagi,” ucapnya lalu merangkulku.
Kami pergi bersama meninggalkan tempat itu dan mencari tempat yang aman. Kami juga mengabaikan sepeda yang kami bawa. Setelah menemukan tempat yang aman, kami beristirahat disitu.
“Kamu udah gak papa kan Sal?” tanyanya khawatir melihat keadaanku yang lemas. Kamu? Dia bertanya dengan mengucapkan kamu. Kemana kata lo? Apakah dia juga mulai merasakan rasa yang sama sepertiku? Banyak pertanyaan yang membayang di pikiranku dan membuat aku mengabaikan pertanyaan Ridho.
“Sal, ko kamu diem aja sih. Aku khawatir sama kamu, kamu gak papa kan?” tanyanya lagi. “Gak kok, cuma sudut bibirku yang berdarah,” jawabku dengan lirih. “Aku obatin,” ucapnya lalu mengambil kotak P3K di tasnya.
Dia mulai mengobatiku dengan hati hati dan penuh perasaan. Mata kami bertemu dan kami saling menatap. Tatapan bola matanya yang hitam membuat hatiku tak karuan. Aku mulai merasa lupa akan perasaanku pada Afrian dan mulai merasa cinta pada Ridho. Sosok yang sungguh perhatian dan lembut membuat aku nyaman di dekat Ridho.
“Udah selesai Sal, mending lo istirahat,” ucapnya. “Dho,” panggilku memecah keheningan. “Ada apa Sal?” tanyanya. “Aku gak nyangka, cowok brutal dan kasar kayak kamu bisa seperhatian dan selembut ini,” jawabku. Ia terkekeh kecil mendengar ucapanku tadi. “Aku juga gak nyangka tuh, cewek cerewet kayak kamu bisa banyak diem sepanjang perjalanan dan yang lebih aku heran lagi, cewek pemberani kayak kamu bisa nangis gara gara preman,” ucapnya. “Ih, apaan sih Dho,” ucapku lalu memukul pelan lengannya. “Aku bisa lembut dan perhatian juga karena kamu kok,” ucapnya yang membuatku kaget. “Maksud-,” ucapanku terpotong ketika jari telunjuknya mendarat halus di bibirku. “Udah, kamu tidur aja. Aku juga mau tidur, udah capek,” ucapnya. Aku menyenderkan kepalaku di bahu Ridho. Kami akhirnya terlelap tidur di depan rumah tua kosong dengan saling bersender satu sama lain.
Mentari kembali menyapa dankami berdua pun bangun. Kami langsung menggendong tas untuk mencari tempat camping. “Woyyy, Ridho Salsa,” teriakan seseorang yang tak asing bagi kami, yaps itu suara Sendi. “Sendi..,” teriaku senang karena menemukan titik terang. Sendi mengayuh sepeda mendekati kami berdua. “Akhirnya, lo berdua ketemu juga. Kita pergi ke tempat camping sekarang yuk, yang lain udah pada nunggu tuh,” ucap Sendi. “Iya, kita nyasar bro. Maafin udah bikin nunggu,” ucap Ridho. “Kalian kenapa, kok babak belur gitu?” tanya Afrian yang bersama Sendi. “Ceritanya panjang, nanti aja gue ceritain,” jawab Ridho. Aku hanya diam menatap Ridho dan tak memandang Afrian sedikitpun.
Kami pun pergi ke tempat camping tersebut. Sampai di tempat camping aku langsung bersih bersih diri dan duduk di dekat danau.
“Ehem,” deheman seseorang mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang dan ternyata orang itu adalah Ridho. “Salsa, aku boleh jujur gak?” tanyanya sambil menatapku. “Boleh lah, masa mau jujur gak boleh,” jawabku.
“Aku baru sadar, kalau aku lebih cinta kamu daripada Afika. Setiap aku dekat kamu, ada rasa yang beda. Aku deg degan kala kamu melingkarkan tanganmu di pinggangku dan saat kamu peluk erat tubuhku. Aku juga takut banget waktu kamu mau diapa apain sama preman. Aku sadar, cintaku yang sesungguhnya adalah kamu,” jelasnya. Aku tersenyum ke arahnya dengan penuh rasa bahagia. Ternyata dia merasakan apa yang aku rasakan.
“Aku juga mau jujur, aku merasa lebih nyaman di dekat kamu daripada di dekat Afrian. Perasaan yang selama ini gak dapet dari Afrian, aku dapet dari kamu Dho. Aku merasa jantungku serasa ingin copot sewaktu kamu selalu kasih perhatian yang intens. Aku baru sadar kalau kamu cintaku yang sesungguhnya Dho,” ucapku.
“Mmm, kamu mau gak jadi pacar aku?” tanyanya. Tak aku sangka, dia menyatakan perasaannya dan ingin menjadikan aku pacar. “Gak bisa Dho,” jawabku dengan wajah datar. “Gak bisa nolak maksudku,” sambungku. “Yes… makasih Sal,” ucapnya. Aku hanya tersenyum dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku sekarang bahagia bisa merasakan cinta yang sesungguhnya, yang orangnya adalah Ridho. Andai tak ada rencana liburan, aku pasti tak bisa menemukan cintaku yang sesungguhnya. So, Ridho is the best and he is my really love.
Cerpen Karangan: Selda Arifani Blog / Facebook: Selda Arifani Hallo Readers…. Aku lahir di Purbalingga (Jawa Tengah), 30 Maret 2003. Aku hobi membaca. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Add dan Follow akun media sosialku. Fb: Selda Arifani (First Account) Selda Ran (Second Account) Ig: @seldaarifani30 Twetter: @Selda_Ariffani Maaf Kalau Ceritanya Gak Jelas Dan Gak Bagus. Saya Masih Penulis Pemula, Harap Di Maklumi.