“Kak, kamu udah mantap ya sama rencana kuliah S2 kamu di Jerman?” Aku terus mencecarnya dengan pertanyaan yang sama berulang kali, berharap pria yang kini tertidur di pangkuanku dapat membatalkan rencananya. “Iya Ra, lagian ini ‘kan demi masa depan hubungan kita juga? Aku udah janji di depan keluarga besar kamu, setelah aku berhasil sekolah di sana dan dapat pekerjaan yang bagus, aku bakal balik dan langsung lamar kamu …” pria itu kini bangkit dari pangkuanku. Tatapan penuh cinta tak dapat kuelakkan dari netranya.
“Kalau kamu pergi, terus siapa yang bakalan nanyain aku udah makan atau belum? Ingatin aku untuk sholat? Ingatin aku belajar atau be–” Ucapanku terpotong begitu saja, kurasakan rengkuhan hangat pada tubuh ringkihku. “Hei, Ara-ku ‘kan sekarang udah gede, udah jadi mahasiswa, umurnya udah masuk kategori dewasa, jadi aku yakin kamu pasti bisa urus diri kamu sayang,” jelasnya. Aku cemberut mendengarnya, jika boleh kuakui aku mungkin gadis yang paling manja dengan pacarku sendiri. Aku tergantung sepenuhnya terhadapnya.
Boleh kukenalkan, cowokku kepada kalian? Baiklah, namanya Aji Prawira Anugrah, biasa dipanggil Aji. Siapa sangka, senior most wanted pada masa putih abu-abuku ini bakal bertahan 4 tahun lamanya berhubungan denganku? Kak Aji adalah sosok kekasih penyabar, buktinya ia mampu bertahan menghadapi sikap childish-ku ini. Seperti yang kujelaskan, aku terlalu bergantung pada sosoknya, terlalu posesif dengan dirinya. Jika bisa kudeskripsikan aku kelewat pencemburu dan pengekang terhadap kekasihku ini.
“Atau kamu udah ada yang lain di sana ya makanya kamu mantap banget tinggalin aku di sini!!” Ujarku mengelak. Bisa kulihat, kini rahangnya mengeras, kulitnya yang seputih susu berubah warna jadi merah, dia marah. Aku tahu itu, tapi aku memilih untuk mengenyahkan rasa takutku ketika Kak Aji marah.
Ia mencengkeram erat pipiku, kurasakan perih menjalari pipiku tatkala kuku-kuku runcingnya menembus daging pipiku. “Shh …” desahku kesakitan, tanpa bisa kutahan air mataku meleleh seketika, ikut membasahi jemarinya yang kini merembes darah segar di sana.
“Bisa kamu ulang Sayang perkataan yang tadi?” Suaranya begitu datar dan terkesan dingin, see? Sekarang kalian bisa menilai bagaimana sosok malaikat itu mendadak luntur menjadi iblis jahat di depanku.
“Tiara, kamu boleh bergantung, bersikap seolah aku ini segalanya bagi hidupmu, tapi ingat apa pun hubungan kita nanti akulah yang mendominasinya!” Seringaian kejamnya menggema di rongga telingaku.
Lalu dengan sekejap, cengraman tadi berupa elusan di pipiku yang kini terluka. Matanya yang tadi menggelap berubah menjadi cerah kembali, bahkan nyaris sendu(?) “Sayang, maaf … aku nggak sengaja,” ujarnya polos, seakan tidak terjadi apa-apa akan sosoknya yang penuh kekejaman seperti tadi.
Dengan lembut, ia mengambil tissue di tas kecilku, menekannya ke arah luka tadi. Kucegah tangannya untuk mengobati lukaku, “Buat apa kamu obati luka yang diakibatkan oleh perbuatanmu sendiri?” Ujarku dengan berani.
Tatapan itu datar, tak ada senyum di wajahnya.
“Kita pulang sekarang!” Ujarnya menarikku dari taman indah itu.
—
Pagi ini, aku mengantarkan Kak Aji menuju bandara Juanda. Kali ini aku tidak mencegahnya seperti kemarin, aku sadar mungkin kemarin diriku cukup keterlaluan dan cenderung egois.
Setelah kami sampai di perbatasan gerbang, ia menoleh ke arahku. Pandangannya melembut, ia menghampiriku, menenggelamkan wajahnya di antara ceruk leherku. “Aku bakal kangen bau bunga lavender ini!” Ujarnya tertawa kecil, aku tersenyum simpul, kuelus lembut punggungnya. “Kakak jaga diri di sana, jangan pernah lupain makan dan sholat, dan jangan lupain aku di sini,” candaku yang sebenarnya sangatlah garing. Tanpa kuduga ia tertawa renyah, sama sekali tak menunjukkan sosok kejam yang selama ini bernaung dalam rohaninya.
“Aku nggak bakalan lupa sama pacar mungilku yang satu ini! Aku juga pesan sama kamu, selalu jaga kesetiaan …” Ia memelukku erat, “Kalau nggak ingin aku teror keluarga kamu,” lanjutnya dingin. Aku membeku di tempat, gurat ketegangan dan kecemasan mewarnai wajahku kembali. Kini, iblis itu kembali merenggut jiwa Kak Aji.
Dengan masih posisi berpelukan ini, kurasakan ia sengaja mengeratkan pelukannya membuat kedua bahuku terasa mau patah.
“Ingat Ara, meskipun aku ada di luar negeri, aku tetap pantau kamu! Lagian, harusnya kamu tahu diri, hampir kehidupan keluarga kamu tuh bergantung sama aku! Tanpa aku mungkin kamu udah jadi gembel di jalanan sana!” Ujarnya kejam. Tubuhku bergetar, suara isakan akhirnya lolos dari bibirku, aku tertekan, sangat tertekan! Di balik kemanjaanku terhadapnya, perasaan tertekan ini juga sering muncul di hatiku.
“Oh ya, apa aku perlu ingatin kamu lagi kalau kamu itu bukan gadis lagi! Aku udah ambil harta berharga kamu! Kalau kamu macam-macam nggak akan segan-segan kubuat malu kamu di hadapan teman-temanmu!!” Ancamnya tegas seraya melepaskan pelukan erat ini.
Mungkin, bagi yang melihat posisi kami tadi, bakal tak mengira jika hal yang ia bisikan adalah berupa ancaman dan penghinaan bukan kalimat sejenis penenang layaknya wanita yang akan ditinggal pergi lelakinya.
Dengan perlahan ia mengecup keningku lembut, cukup menyadarkanku dari lamunan. “Aku pergi dulu sayang. Aufwiedersehen,” ia berucap kata selamat tinggal dalam bahasa Jerman. “Aufwiedersehen …” ucapku balik.
Dua bulan sudah setelah kepergian kak Aji, aku merasa kerinduan ini makin tak terbendung saja. Tapi, di sisi lain sejujurnya aku merasa terbebas dari kekangannya.
Oke, mungkin kalian merasa aneh dengan sikap Kak Aji. Biar kujelaskan.
Sebenarnya, Kak Aji mempunyai kepribadian ganda. Di mana ada dua sifat yang sangat bertolak belakang dalam rohaninya. Alter ego yang sering muncul adalah dirinya yang kejam dan penindas yang lemah.
Sudah 4 tahun aku mengenalinya dan berkawan baik dengan kedua pribadinya yang begitu bertolak belakang.
Terkadang, Kak Aji hadir dengan jiwa yang lembut, manis, romantis dan memperlakukanku bagai ratu di istananya. Tetapi, ketika ia lengah dan amarah menguasai pikirannya, semua itu akan tergantikan akan alter ego (pribadi lain) yang kejam dan tak berperasaan. Ketika sikap itu muncul, aku resmi menjadi tawanannya bukan tuan putrinya lagi.
Aneh? Jelas iya! Dan mungkin, kalian bertanya kenapa aku masih bisa bertahan akan sikapnya yang seperti abg labil.
Awalnya saat itu adalah waktu aku tak sengaja menemukan Kak Aji berkelahi dengan preman jalanan, ia terus memukuli preman-preman itu tanpa mempedulikan tangan kanannya yang hampir hancur karena terantuk wajah padat sang preman. Hanya sebuah perban yang kukenakan padanya, dan saat itu juga ia memutuskanku menjadi kekasihnya.
Setelah beberapa bulan menjadi kekasihnya, awalnya aku menikmati saat-saat manis dengan Kak Aji yang normal. Namun, segalanya berubah saat rentenir Papa akan melecehkanku. Waktu itulah aku baru melihat sisi lain Kak Aji, dan semenjak itulah aku terikat perjanjian dengannya. Perjanjian yang mengharuskanku untuk terus bersama lelaki itu hingga kami menikah.
Mirisnya, kini bukan soal perjanjian itu yang membuatku tetap bertahan bersamanya. Ada perasaan lain yang aku rasakan, dan aku memanggilnya cinta. Ya, tanpa sadar aku telah jatuh cinta pada sosoknya, entah pada jiwa Kak Aji yang mana, yang jelas aku dapat menerima kedua pribadinya.
“Ara, aku tanya kok malah diam saja?” Aku terlonjak dari lamunanku. “Maaf Dew, aku lagi lelah,” alibiku sembari berpura-pura memijit pangkal hidungku yang tidak terlalu bangir.
Aku merasa bersalah dan tidak becus sekarang. Gara-gara lelaki itu, aku jadi melalaikan pekerjaanku sebagai kasir. Aku enggan untuk terus bergantung kepadanya, sebab itu sebulan yang lalu aku melamar pekerjaan jadi kasir di salah satu toko roti ternama di Malang.
“Untung nggak ada Madam, kalau nggak sudah disiram wajahmu!” Peringat Dewi. Walau perempuan itu termasuk senior di sini, tapi sikap friendly-nya membuat dia menjadi pribadi yang sangat disukai seluruh pegawai di toko ini. “Iya maaf, aku janji bakal lebih konsen!” Ujarku tersenyum kecut.
Kudengar, Dewi menghela napas panjang. Kini, jemarinya menepuk bahuku, “Kamu masih kepikiran pacar kamu yang nggak ada kabar itu?” Sindirnya. Aku mengedikkan bahuku asal, “Ara, Ara! Kamu bilang cowok itu radak labil, sekarang kamu yang paling labil menurutku!” Ujarnya. “Maksudmu apa?” “Harusnya selama nggak ada dia, kamu manfaatin segala kegiatan yang ia larang! Bukan malah galau mikirin dia!” Dewi benar, tetapi hal itu sangat sulit untuk kulakukan.
Ketika ia akan berucap lagi, suara bel pintu berbunyi, pertanda ada pelanggan yang masuk. Aku segera bersiap di tempatku.
—
Sungguh mataku tidak bisa diajak bertoleransi dengan otakku. Aku tahu, hal ini sangat tidak sopan, memandangi pelanggan dari atas sampai bawah. Pria itu sungguh menarik perhatianku, katakanlah aku gila jika aku tak takut akan ancaman Kak Aji. Tapi kali ini aku ingin waktu membiarkan pikiranku berselingkuh dari Kak Aji. Berpaling kepada pemuda tampan yang kini berdiri di hadapanku.
Sebuah senyum kulemparkan kepadanya. “Selamat sore, selamat datang di toko roti kami. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku ramah. Kulihat, lelaki ini ikut tersenyum, memamerkan deretan gigi putih terawatnya.
“Ibu saya lagi ulang tahun, tapi dia nggak bisa makan yang manis-manis, beliau kena diabet,” jelasnya, aku mengangguk mengerti. “Bagaimana dengan tiramissue rendah gula? Atau black forest rendah gula?” Tawarku. Ia meletakkan jemarinya di atas dagu, tampak berpikir. “Kurasa tiramissue dengan hiasan piano di atasnya,” aku mencatat perkataannya. “Baik, pesanan Anda akan kami antar satu jam lagi. Anda ingin menunggu atau meninggalkan alamat?” Tanyaku. “Kurasa mengobrol dengan Nona di depanku ini cukup menarik,” seketika pipiku merona. Pandai sekali pemuda ini mengambil hati.
Ia menyerahkanku sebuah kartu debit bank, dengan cekatan aku menggesek kartu itu dan segera menyerahkan kembali kartu itu setelah transaksi berhasil dilakukan.
Lelaki itu tertawa renyah, aku menaikkan sebelah alisku. “Kamu memegang kartu ini seperti memegang bom yang akan meledak dalam hitungan detik Nona,” ujarnya masih tertawa lebar. Ya, terserah apa pendapatnya, bayangkan saja berapa ratus juta atau bahkan miliar yang berada dalam rekeningnya lalu dengan kelalaianku aku menghilangkannya. Bisa-bisa aku gantung diri!
“Oh, maaf … perkenalkan namaku Aras, sepertinya kamu pegawai baru di sini.” Kuterima jabatan tangannya, “Tiara, dan Anda bisa memanggil saya Ara. Permisi Tuan, saya ingin menyerahkan pesanan Anda kepada koki,” ujarku pamit. Sepertinya aku tak tahan akan tatapan tajam pria itu.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari