Seminggu sudah aku mengenal Aras, nyatanya pria itu tak seburuk yang aku duga. Kukira ia adalah pria kaya yang sombong mengingat cerita Dewi jika lelaki itu adalah pelanggan tetap toko ini. Aras pribadi yang ramah dan penyayang. Ibunya sakit komplikasi dan kata Aras sudah 5 tahun lamanya ibunya tak bisa bangun dari kursi roda.
“Aras, aku tidak enak memasuki kediamanmu seperti ini,” ya, sepulang kerja tanpa kusangka Aras menarikku ke dalam mobilnya dan membawaku ke rumahnya yang luas ini.
Rumah Kak Aji kira-kira sebesar ini, bedanya di rumah Kak Aji pilar-pilar dindingnya terbuat dari bebatuan alam yang ditempel sedemikian rupa oleh arsiteknya. Dan aku sangat menyukai desain interior rumahnya yang terkesan klasik namun elegan.
Akh!! Kenapa wajah lelaki itu mendadak terbayang di kepalaku? Ayolah Ara! Mungkin di sana dia sudah tidak membutuhkan gadis manja sepertimu! Bagaimanapun lelaki itu lelaki dewasa, pastinya hormon itu akan muncul tanpa bisa diduga. Kak Aji butuh wanita dewasa di sampingnya, bukan wanita egois sepertiku.
“Ara?” “Hah, iya?!” Aku tergagap. “Sepertinya arwahmu melayang ke mana-mana ya?” Ujarnya sembari terkekeh geli.
Ia mengajakku masuk, dan terlihat di sana seorang wanita paruh baya tengah memainkan dentingan melodi piano dengan begitu apik.
“Mama, lihat Aras bawa siapa?” Wanita tua itu menghentikan aktivitasnya, membuatku sedikit kecewa. “Kamu … kamu Tiara?” Aku tak menyangka jika wanita itu mengenali namaku.
—
Kebahagiaan begitu memancar jelas di sini, Aras terlihat bahagia menyuapi Tante Retno. Sesekali aku ikut tertawa mendengar lelucon Aras.
Kusadari kantung celanaku bergetar, tubuhku menegang seketika.
Mama di rumah sakit, Papa kumat lagi.
—
“Mama!” Panggilku, aku langsung berhambur ke pelukannya. Menumpahkan air mata yang sudah lama aku tahan. “Kenapa bisa ini terjadi?” Tanyaku parau. “Mama nggak tahu, yang jelas Mama lihat Papa menangis saat melihat foto kamu.”
Aku mengernyit tak mengerti kenapa. “Satu hal yang mama ingin tanyakan sama kamu.” “Apa itu Ma?” Tanyaku. “Apa benar kamu sudah tidak gadis lagi?” Bagai petir di siang bolong, hatiku terkoyak seketika. Tak salah lagi, ini pasti lelaki itu.
“Kalaupun aku mengaku apa Mama bakalan benci dan jijik sama Ara?” Tanyaku lirih. Yang kudapati adalah pelukan hangat dan isakan yang kian menjadi. Aku sakit … aku tidak bisa membiarkan kedua orang tuaku patah hati begini.
“Apakah itu Aji?” Dan aku hanya mengangguk lemah.
“Kenapa kamu harus lakuin ini Nduk? Bukankah ini menyangkut harga diri kamu?” Aku terdiam, napasku mengembara. Emosiku di ujung tanduk sekarang, Kak Aji benar-benar tega!
—
“Puas kamu?!” Tak berbasa-basi lagi aku langsung membentaknya. “Kamu apa-apaan sih, ini masih pagi bilang kangen kek atau apa ini langsung marah-marah. Ada apa sih Ara-ku Sayang?” Tanyanya dengan lembut. Aku jengah mendengar nada yang dibuat-buat itu sungguh menambah kebencianku.
“Kakak udah bilang sama Papa ‘kan kalau aku–” “Kalau iya kenapa emang?” Tanyanya dengan suara datar. “Kamu tuh cewek nggak tahu diri! Kamu pikir aku nggak tahu kedekatan kamu sama Aras brengsek itu hah?!” Suaranya menggema cukup keras di rongga telingaku.
Aku terdiam, mulai menyesali tingkah polaku selama ini. “Kami cuman teman bicara yang akrab!” Tegasku. “Bullshit! Zaman sekarang nggak ada yang namanya pertemanan lelaki dan perempuan tulus! Karena ujung-ujungnya aku bakal tahu kalau lelaki itu bakal tembak kamu atau lamar kamu!” “Lalu bagaimana dengan kakak yang tidak pernah menghubungiku? Bukankah sudah sepantasnya hubungan kita berakhir? Aku bebaskan kakak cari cewek lain yang mau nurutin segala omongan kakak! Aku bukan lagi bonekamu!” Pekikku frustasi. “Apa kamu nggak pernah dengar istilah LDR sayangku?” Suaranya menajam, syarat akan ketegasan dan enggan untuk dibantah. Tentu saja aku tahu, tapi aku tidak sanggup menjalani hubungan semacam itu. Menurutku akan lebih baik jika kita putus daripada simalakama seperti ini.
“Apa yang kakak inginkan? Ganti rugi uang? Kalau iya, tenang aku bakal lunasin harta yang selama ini kakak alirkan kepada keluargaku. Sekarang, aku mau kita putus!” “Brengsek!” Sambungan diputus seketika, membuat aku akhirnya menangis. Tuhan maafkan aku jika sudah berani melukai hati makhluk ciptaan-Mu. Aku cinta dia, aku sayang dia, tapi aku tidak sanggup lagi menghadapi alter egonya.
—
“Sayang kita ke kantin dulu yuk, Mama tahu kamu belum makan sejak tadi pagi.” Aku menggeleng lemah, sungguh aku tidak ingin meninggalkan papa barang sejenak saja.
“Mama tahu, kalian baru putus ‘kan?” Seketika aku berdiri dari dudukku. Digenggamnya tanganku, “Nak, bukannya memaksa kamu menjalani hubungan seperti itu. Tapi, kamu tahu Aji seperti apa. Dia nggak akan lepasin kamu gitu aja, emosinya–” “Ma cukup! Aku nggak suka Mama bahas dia! Aku tahu kita miskin dan aku nggak akan ngebiarin dia kuasai hidup kita!” Ucapku bersih keras.
“Apa kamu yakin?” Suara itu …. Tak lama kurasakan sebuah pelukan hangat di pinggangku, embusan bau cherry merasuki indera penciumanku. “Aku udah datang jauh-jauh lho demi nengokin calon Papa mertua aku..” kini aku dapat mendengarkan jelas suaranya. Kulirik ke arah samping, dan wajah pucat mama kulihat di sana.
Keteguk salivaku dengan susah payah, iblis sudah datang, dan tunggulah hari kematianmu Tiara ….
“Ngapain kamu balik ke sini?” Tanyaku dingin. “Aku nggak mau pacarku sedih, kamu pasti butuh support ‘kan?” “Kamu nggak dengar pernyataan putusku kemarin?”
Hening, setelah itu yang ada adalah suara pekikan dari mulutku. Ia menjambak rambutku kasar, menghadapkan wajahku ke arahnya. “Sekarang, bisa kamu ulangi ucapan kamu tadi?” Mataku berkaca-kaca sungguh ini lebih dari kata sakit.
“Tiara, meski kamu tahu aku cinta mati sama kamu bukan berarti aku nggak bisa hancurin hidup kamu. Aku nggak akan segan-segan bantai semua keluarga kamu. Setelah itu kita mati bersama-sama. Bagaimana, kisah yang romantis bukan?”
Setan berhasil mengambil sepenuhnya tubuh Kak Aji. “Kamu bukan Kak Ajiku! Kamu iblis terkutuk!” Pekikku.
Plak … Kurasakan darah segar mulai mengaliri daguku. Lelaki itu kembali mencengkeram daguku dengan keras, tatapannya menggelap layaknya iblis yang akan membunuh mangsanya.
Sebelum dapat berkata-kata bisa kurasakan suara pelatuk senjata dan diiringi limbungnya tubuh kak Aji.
“Lihat, iblis di depanmu ini akan segera mati … Tiara, iblis ini mencintaimu,” akunya sebelum kegelapan benar-benar menelan kesadarannya.
Entah perasaan apa ini, hatiku tercabik seketika, bukan ini yang kuinginkan, meski aku membenci kekejamannya tetapi aku tidak ingin ia kesakitan seperti ini.
Kuhela tubuh kekarnya menuju pangkuanku, darah segar mengalir dari bibirnya. Tangisanku meleleh sudah.
“Ara, apa yang kamu lakukan ayo kita pergi tinggalkan lelaki iblis ini!” Aras? Jadi pria ini yang sudah menembak Kak Aji? Aku menatapnya tajam, “Kamu yang iblis! Tinggalkan kami, aku tidak suka lelaki sepertimu!” Ucapku menajam. “Apa?! Iblis ini yang sudah menyiksamu aku tidak salah ‘kan menembaknya?!” “Pergi Aras!!” “Dasar gadis tak tahu diri, terserah apa maumu, kau itu memang gadis bodoh! Jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!” Penghinaan itu kembali kudapatkan.
Sudah seminggu aku di rumah sakit, menunggui kedua lelaki yang sangat berharga dalam hidupku. Papa sudah stabil keadaannya, dan syukurnya ia mau mendengarkan penjelasanku dan memaafkan kelakuan bejatku. Sementara Kak Aji sama sekali tak menunjukkan perkembangan apa pun. Padahal, tim medis sudah berhasil mengeluarkan benda besi itu dari dadanya.
“Bangun Kak, apa Kakak nggak lelah tidur terus?” Kugenggam tangannya, sungguh aku bersedia melakukan apa pun demi menebus kesadarannya.
Mata terpejam itu mulai terbuka, menampilkan wajah pucatnya yang kini tersenyum ke arahku. Ia membuka oksigen di hidungnya, “Kak–”
“Benar kamu akan melakukan hal apa pun demi kesadaranku?” Aku melotot kaget. “Jangan menatapku seperti itu sayang. Bahkan ketika aku berada dalam alam mimpiku, suaramu begitu keras mengalun memintaku untuk segera kembali. Sekarang, kutagih janjimu!” Ujarnya. “Apa keinginanmu?” “Jalani LDR bersamaku …”
Sudah 2 tahun lamanya akhirnya aku menjalani LDR bersama Kak Aji. Bosan tentu saja, tapi aku mengenyahkan segala pikiran itu. Aku mencintainya, baik sisinya yang lembut ataupun yang kejam ….
Tiba-tiba lagu milik Bruno Mars menggema di telingaku. Lagu berjudul ‘Merry You’ ini mengalun indah dengan melodi gitar yang mengiringinya.
“Hai Sayang,” aku terlonjak kaget begitu suara dan sosok yang selama ini tak pernah kulihat dan dengar muncul begitu saja di depanku. “Ich werden heiraten dich,” ucapannya sukses membuatku membelalakkan mata tak percaya.
Aku tak menyangka penantian ini akan berakhir seperti ini. Aku tersenyum dan memeluk tubuhnya erat.
“Walau aku bukan pacar yang baik buat kamu, tapi aku janji setelah ini tak akan ada air mata yang menaungi wajahmu.”
^Pada akhirnya, cinta bukan tentang kenyamanan saja, tapi tentang kita yang dapat saling menerima dan melengkapi satu sama lain.^
—Tiara—
“Aku akan menikahimu”
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari