Sedikit aku merenggangkan jarak antara aku dengan Mas Rama, tak sampai dua detik kemudian tangannya yang kokoh itu menarik tubuhku untuk kembali tetap berada dekat disampingnya. “jangan terlalu jauh dariku, atau bahumu akan terkena air hujan” Ucapnya, memperingatkanku untuk berjalan tak berjauhan darinya. Aku terlalu canggung dan tak nyaman berada terlalu dekat dengannya seperti sekarang ini. Untunglah beberapa langkah lagi menuju halte bus. Dan akhirnya Mas Rama dan aku berteduh. Aku melangkah lebih kesamping menciptakan jarak berdiri antara aku dengannya. Sementara Mas Rama yang masih sibuk melipat payung yang kami pakai bersama tadi. Ia hanya tersenyum, menyadari sikapku yang menjauh beberapa langkah darinya.
Tak lama buspun datang, niatku akan berpamitan padanya namun Mas Rama meraih tanganku, menuntunku menaiki bus bersama dan membawaku duduk dikursi tiga baris dari belakang. Berhenti membuatku terkejut Mas, kumohon padamu Aku masih dengan kebiasaanku, menatap tak mengerti sikapnya.
“ini jalan menuju rumahku, bukankah seharusnya Mas Rama kearah yang sebaliknya?” Tanyaku, memberanikan diri. Karena setahuku rumahnya berbeda arah denganku. “aku tahu. Tapi ingin saja aku mengantarmu sampai ke depan rumahmu” Ucapnya santai. Aku hanya menggeleng tak mengerti. Lebih baik kulihat saja jalanan yang dibasahi hujan dari jendela disampingku. Hening.
Akupun larut dalam suasana sendu, tapi tiba-tiba saja sesuatu menyentuh daun telingaku, tangan Mas Rama mengaitkan earphone di telingaku. Musik mengalun terdengar di telingaku. Tanganku menyentuh jejak sentuhan tangannya yang tak sengaja dibawah telingaku. Kutatap wajah Mas Rama saat kudengar lirik lagu itu mulai dinyanyikan penyanyinya. (Ost drama something in the Rain) Seolah mengingatkanku pada masa itu. Masa bahagia aku dengan Mas Rama selalu menunggu dan menikmati tontonan drama romantis itu. Membuatku tersenyum tak percaya atas apa yang dilakukannya. Sama tersenyumnya denganku, tiba-tiba suasana mencair begitu saja. Seperti scene romantis sebuah film. Kami menikmati musik, mengenang kisah bahagia lama kami, dalam hujan di sebuah bus menuju jalan pulang ke rumah.
Tak lama, Aku dengan Mas Rama turun dan kini berjalan menuju rumahku. Tak pernah kutahu dan kubayangkan sebelumnya bisa berjalan di jalanan ini bersamanya kembali. Sampai. Tepat di depan rumahku. Bingung apa yang harus kukatakan. Lama kami berdiri tanpa ada kata yang terucap, hanya senyum yang tampak dari wajahku dengan Mas Rama.
“terimakasih untuk hari ini” Ucapku akhirnya. hanya dibalas anggukan olehnya. “selamat malam Gadis” Ucapnya, mundur perlahan. Selangkah, diam kemudian. Selangkah lagi dan masih enggan untuk berbalik. Masih menghadapku dan menatapku. Berjalan mundur. Mas Rama lucu sekali, tingakahnya itu ada-ada saja. Sesekali dirinya menggaruk-garuk kepalanya. Gemas aku dibuatnya. Dan akhirnya. Mas Rama berjalan memunggungiku. Melangkah lebih menjauh. “Mas, Mau kubuatkan teh dulu di dalam?” Tanyaku sekaligus tawarku. Berhasil mengehentikan langkahnnya dan kembali berjalan kearahku. “bolehkah?” Tanyanya, memastikan tawaranku baru saja. Aku tersenyum dan mengangguk.
Kubuka pintu pagar rumahku dan berjalan masuk bersama kedalam. Gelap saat kumasuki rumah, memang aku tinggal sendiri sejak ibuku pergi. Kunyalakan lampunya dan kini kupersilahkan Mas Rama masuk kedalam. Menyapu ke sekeliling itulah yang pertama Mas Rama lakukan saat memasuki rumahku. Seperti tak asing lagi, karena memang dulu saat kami berpacaran, rumahkulah tempat terbaik untuk kami menghabiskan waktu bersama. Tak banyak berubah dengan interiornya, masih tetap sama seperti pertama kali Mas Rama menginjakan kaki di rumahku 4 tahun yang lalu. Selama dua tahun berpacaran, dan dua tahun aku ditinggalkan, masih kupertahankan semuanya tetap berada disana, bersama beberapa kenangannya.
“duduklah dulu, akan kubuatkan teh hangat untukmu” Ucapku, kemudian berjalan ke dapur yang tak jauh dari ruang tamu. Membuat teh yang tak bisa aku hanya fokus padanya, beberapa kali aku mencuri pandanganku untuk memeriksa apa yang sedang Mas Rama lakukan. Duduk di sofa, menatap selimut juga bantal sofa yang dulu selalu menjadi teman kami berdua duduk disana menonton acara bersama. Aku berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya? salahkah aku membawanya kembali memasuki rumahku?
Teh yang kubuat akhirnya selesai. Kubawa bersama beberapa biskuit untuk aku hidangkan padanya. Mas Rama masih dalam posisi yang sama, duduk dan kutahu dirinya merasa canggung saat ini. “minumlah dulu” Ucapku, dan kemudian Mas Rama menyeruput teh buatanku. Jaketnya yang sedari tadi betah kupakai akhirnya sadar harus kuberikan kembali padanya.
“tak ada yang berubah dari rumah ini” Katanya, aku mengangguk setuju dengan perkataannya. “bahkan boneka lumba-lumba putih itu masih disana” Lanjutnya, tatapannya tertuju pada boneka lama yang kudapatkan setelah pergi berlibur bersama Mas Rama dulu. Aku hanya tersenyum, perkataannya seperti sedang menerka-nerka apakah perasaanku padanyapun masih tetap sama seperti rumah ini.
“jadi bagaimana pekerjaanmu saat ini? masih dalam dunia Photography bukan?” Tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. “ya, tahun lalu akhirnya bisa kubuka studio foto dan mendapat beberapa klien yang bisa memperbaiki karirku” Jawabnya, aku tersenyum tulus ikut berbahagia mendengarnya. “turut senang aku mendengar keadaan Mas Rama sudah jauh lebih baik” Ucapku,
“aku tak sebaik itu, karirku memang membaik, tapi aku tidak” Balasnya. Tak mengerti aku dengan perkataannya baru saja. “kupikir aku akan baik-baik saja saat kuakhiri hubunganku denganmu, tapi aku rasa tidak” Lanjutnya, mengungkapkan apa yang tak pernah kutahu dari dirinya. “akupun begitu, tapi perlahan semua akan baik-baik saja dengan terbiasa” Jawabku berusaha mengatakan bahwa akupun berusaha menjadi baik setelah putus darinya. “benar terbiasa. Setelah kubuat kau pergi dari hidupku. Aku yang terbiasa selalu menghabiskan waktu dengamu dan segalanya selalu saja tentangmu, aku jadi menumbuhkan kebiasaan baru sejak itu. Aku yang kemudian menjadi terbiasa merindukanmu, memikirkanmu” Ungkapnya, ada rasa tak percaya dengan perkataannya padaku.
Aku berdiri tiba-tiba. Takut aku terbawa suasana dan termakan perkataannya. “Gadis” Panggilnya padaku, memegang tanganku. Ikut bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapanku. “maafkan aku yang pernah lari darimu dulu, aku hanya merasa malu dan tak mampu untuk menjadi kekasihmu dulu. Aku yang merasa buruk sebagai kekasihmu dan berpikir tak bisa membahagiakanmu karena aku yang payah dan bukan siapa-siapa” Apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Wah luar biasa sekali pemikirannya itu. “Mas itu hanya alasanmu saja, bukan? jika memang kau ingin membahagiakanku bukankah Mas Rama seharusnya berusaha selalu disampingku dan tak memutuskan pergi meninggalkanku” Dengan nada yang sedikit meninggi aku balas perkataannya. “aku tahu. Aku sadari itu, aku memang bodoh saat memutuskanmu hari itu. Tapi egoku, aku yang telah menjadi kekasihmu namun tak cukup mampu memberikanmu hadiah dan membelikanmu barang-barang berharga lainnya, membuatku merasa tak cukup baik untuk berada disampingmu. Keadaanku yang buruk dan hubungan kita hari itu yang seperti itu tanpa kau tahu telah melukai harga diriku” Lanjut penjelasannya padaku.
“bagaimana kau bisa berpikir seperti itu Mas? Kau baik-baik saja saat-saat itu, aku mencintaimu dan menerima apa adanya dirimu Mas Rama tahu itu. Tak banyak inginku. Hanya dengan kehadiranmu disisiku aku bahagia dengan itu” Ucapku, tak mengerti dengan pemikiran Mas Rama yang seperti itu. “aku tahu, sangat tahu dirimu yang sebaik itu dan sangat mencintaiku. Tapi apa cintaku cukup dengan semua yang kulakukan untuk membalas cintamu saat itu. aku seorang pria Gadis, aku ingin memberimu lebih, membahagiakanmu dan menghadiahi dirimu dengan sesuatu yang berkilau dan berharga seperti pasangan lainnya” Lagi, semakin kudengar semakin ku tak mengerti dirinya. “aku tak tahu Mas Rama bisa berpikir begitu” Jujurku. Tak tahu harus berkata apa dengan ceritanya. “bahkan aku sempat sangat malu saat teman-temanmu memberi hadiah mewah dihari ulang tahumu, dan aku hanya bisa memberi hadiah kecil untukmu. Aku iri saat teman priaku memberikan hadiah cantik untuk kekasihnya yang tak pernah bisa kulakukan untukmu, karena aku tak mampu membeli itu. saat kau memberiku hadiah yang sangat bagus untukku, aku menjadi tertekan karenannya, aku takut tak bisa membalas semua yang kau berikan padaku”
Terkejut aku mendengar kejujurannya, bagaimana bisa aku tak mengerti dan tahu apa yang dirasakan kekasihku dulu, bagaimana cinta yang ingin kutunjukan padanya menjadi berbalik menekannya. “seharusnya Mas Rama beri tahu aku soal perasaaan Mas itu” Kataku padanya menyesalkan atas apa yang tak sempat dikatakannya padaku. Air mata jatuh dari peluluk matanya, aku merasa sangat bersalah padanya. Kesulitannya, bagaimana aku bisa dengan tidak pekanya untuk menyadari itu semua. Selama itu, aku tak tahu apa yang menjadi bebannya dalam hubunganku dengannya, hingga tanpa sadar menyakitinya hingga membuatnya menyerah atas diriku.
“maafkan aku Mas, maaf aku tak tahu kau terluka selama waktu itu” Maafku padanya, menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya. Semenyakitkan itukah? “bukan itu Gadis, bukan salahmu. Aku hanya merasakan sakit di hatiku karena telah menjadi sangat payah dan tak mampu memperjuangkan dirimu, tak melakukan usaha apapun bahkan bodohnya aku memutuskan hubungan dan pergi darimu, sikapku yang seperti itu yang menyiksaku selama ini” Sanggahnya atas maafku, membuat aku ikut menitikan air mata karenanya.
“kupikir dengan melepaskan dirimu dan hubungan kita, bisa memperbaiki harga diriku. Namun sayang malah sebaliknya, aku menjadi selalu menyesal, merindukanmu setiap saat, merasa bodoh melepaskan wanita yang dengan tulusnya mencintaiku. Bahkan aku selalu berpikir buruk, jika saja kau bisa mendapat pria yang pantas untukmu, aku hanya akan hancur melihatmu bahagia jika kau benar-benar telah bersama pria lain” Ceritanya ini, sungguh membuatku sangat tak percaya, pria macam apa yang pernah kujadikan kekasih ini. mengapa ia bisa dengan bodohnya berpikir seperti itu.
“bodoh! Mas Rama Bodoh!” Ucapku, dengan tanganku yang memukuli pelan dadanya. Bodoh sekali dirinya dan semua pikiran di kepalanya itu. itukah, semua alasannya meninggalkanku. Perkataannya yang keluar baru saja adalah yang selama ini kuinginkan dan membuatku penasaran siang dan malam. Tak bisa kupercaya bagaiama pria bisa memilki pemikiran yang sedemikian rumit dan tak kupahami hingga kini.
“aku mencintaimu Gadis, selalu dan tak pernah sekalipun aku berhenti mencintaimu” Ucapnya, kata cinta darinya yang sudah lama kurindukan dan ingin sekali kudengar.
Air mataku semakin tak bisa kubendung, kini deras keluar dari sana. Haru, aku mendengar semua itu. Tangan Mas Rama meraih wajahku, jari-jarinya mengusap air mataku. Matanya lekat menatap diriku, tatapan kami dipenuhi rindu yang sama-sama memenuhi dan menyiksa selama ini.
Wajahnya mendekat kemudian, deru napasnya kurasa jelas, hidungnya mulai bersentuhan dengan milikku, dan tepat saat bibirnya mendarat di bibirku, menyampaikan cinta dan rindunya padaku. Aku kembali bersama mantan kekasihku
Cerpen Karangan: Rizki Nuramalia Blog / Facebook: Kiki