Lia masih berada di perpustakaan daerah untuk menyelesaikan tugas rumahnya. Ia senang dengan suasana sepi dan tenang. Jika pun perpustakaan tersebut tidak tutup, mungkin ia akan kegirangan karena ia bisa menginap.
Pukul empat sore, Lia segera bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pulang. Ia melangkahkan kakinya menuju halaman depan perpustakaan. Bus yang datang dari arah timur akan membawanya ke rumah.
Senja datang lagi dan untuk kesekian kali Lia masih sendiri. Hanyut dalam lamunannya yang memandang ke arah luar jendela. Sampai ia tak sadar, laki-laki itu sudah berada tepat di sampingnya.
“Capek, ya?” Pertanyaan itu tak lantas membuat Lia bergeming. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Li, aku mau ajak kamu jalan, besok jam empat sore. Bisa?” Nandan memandang ke arah Lia sambil menunggu jawabannya. Lia menggeleng.
Beberapa menit berlalu, Lia turun dari bus itu. Bersama Nandan juga, mereka berdua berada di tepi jalan. Selanjutnya mereka menyeberang.
“Bareng aja” Lia mengangguk.
Mereka sudah jadian tiga bulan yang lalu. Namun, yang ada bukan hal-hal mesra layaknya sepasang kekasih, justru yang orang lain lihat dari mereka hanyalah ‘pertengkaran’ yang seperti tidak ada ujungnya.
Sikap Lia selama ini membuat hati Nandan tergerak untuk selalu ada di sampingnya. Ia sudah mengorbankan banyak untuk hubungannya dengan Lia. Dari waktu dan tenaga, juga hati dan pikirannya.
“Li, denger aku?” Mata Nandan melirik ke arah spion yang menampilkan wajah Lia. Deheman. Itu yang keluar. “Kita mampir ke taman, sebentar” Lalu motornya mulai jalan perlahan sampai berhenti tepat di depan taman.
Mereka turun dari motor. Nandan menarik lembut tangan Lia dalam genggamannya. Mereka duduk di bangku sambil menunggu secangkir teh hangat menghampiri.
Tangan Nandan meraih telapak tangan Lia yang terasa begitu dingin oleh udara sore hari. Ia memantapkan hatinya untuk mengatakan apa yang seharusnya ia katakan kepada gadisnya itu. Nandan menghela nafas berat, “Li, kita udah jalan tiga bulan, tapi aku nggak tau apapun soal kamu, padahal aku pacar kamu.” Lia menghempaskan tangan Nandan dengan kasar. “Siapa dan apa yang bikin kamu jadi gini? Untuk kali ini aja, Li. Tolong jadiin aku orang yang paling kamu percaya yang bisa buat kamu kembali bahagia.”
Lia merubah pandangannya yang semula ke langit menuju ke arah mata laki-laki itu. Mata yang sebelumnya tak sempat Lia tatap, kini jadi mata yang paling indah dan nyaman untuk Lia mentransfer segala kesedihannya. Bulir air mata mulai muncul dan turun ke pipi manisnya. Dengan segera, Lia memalingkan wajahnya dan menghapus air mata.
Teh pesanan mereka datang, Nandan segera membayarnya. Lia dengan cepat dan gerakan kasarnya berdiri tegak dari duduknya. Ia akan pulang sendiri, meninggalkan tempat ini. Belum sempat selangkah kakinya pergi, sebuah tangan menghampiri lengannya. Tarikan yang kuat, sampai Lia tidak bisa beranjak dari tempatnya. Nanda segera meraih tubuh Lia dan meletakkannya pada dadanya. Nandan memeluk Lia erat.
Tangis Lia pecah dalam dekapan Nandan. Dada yang hangat itu, Lia akhirnya mengaku kalah dengan egonya yang selama ini telah menyia-nyiakan Nandan dan bersikap cuek kepadanya. Lia menghentikan tangisannya dan melepaskan pelukan itu dari tubuhnya.
Ia mengusap pipinya sendiri. Mereka kembali duduk, keduanya mulai menyeruput teh manis hangat itu.
“Maaf, Nandan. Aku kalah dari egoku sendiri saat ini.” Nandan mengangguk, “Aku boleh kan, jadi tempat ternyaman buat kamu pulang, Lia?” Lia mengangguk.
“Kamu bisa jawab pertanyaan aku tadi, Li?” Lia mengangguk.
Selama ini yang Lia rasakan hanya kesedihan-kesedihan yang sampai bermuara dalam dirinya. Lia benci orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia menganggap bahwa orang-orang itu tidak lebih dari sekadar menabur luka.
Sakitnya dua tahun lalu masih tidak bisa hilang meski Lia sudah menguburnya dalam-dalam. Lia pernah mencintai seseorang sebegitu hebatnya, tapi yang Lia terima hanyalah sayatan-sayatan tajam dari orang yang Lia anggap adalah orang terakhir yang ia cinta. Namun salah, Lia harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lebih dari siapa-siapa, apalagi untuk memilikinya.
Setelah Lia berhenti untuk berharap dia kembali, dia yang Lia benci malah dekat dengan sahabatnya sendiri. Bagaimana mungkin Lia tidak sakit hati. Tapi Lia masih punya ego yang bisa diredam pada saat itu. Ia harus rela karena ia sadar, Lia bukan siapa-siapa di hidupnya.
“Aku berusaha untuk diam lebih lama. Mungkin itu bisa membuatku jadi orang yang aman selama di dunia.” Lia menyeruput tehnya, “Aku benci mengenal jika akhirnya kita nggak bisa saling sapa lagi. Aku benci orang yang pernah dekat denganku malah dekat dengan sahabatku sendiri. Aku benci aku.” Lia menatap mata Nandan dengan tatapan yang Nandan sendiri tidak bisa mendefinisikan. Nandan melihatnya dengan iba, sangat miris jika hal yang Lia ceritakan juga terjadi padanya.
“Apa aku tak sepantas itu buat bahagia, Ndan?” Nandan menggeleng, tangannya meraih kedua pipi Lia yang mulai menghangat, “Enggak, Lia. Sekarang kamu udah punya aku. Selama aku masih ada, kita bakal terus bersama.”
“Kalo kamu mau pergi, pergi sekarang aja Ndan. Aku nggak butuh ucapan penenang dari siapapun termasuk kamu.” Nandan mendekatkan bibirnya ke arah Lia. Ia berbisik lembut di telinga Lia, “Kecuali aku mati.”
“Pulang yuk” Ajaknya sembari menggenggam tangan lembut Lia.
Lia tersenyum ke arah Nandan. Senyuman itu mampu melelehkan hati Nandan. Bagaimana bisa Nandan begitu terpesona kepada gadis yang sebelumnya tidak pernah melengkungkan bibir ke arahnya. Senyuman manis yang pernah Nandan lihat adalah, senyuman Lia.
Mereka pulang menuju rumah. Nandan akan mengantar Lia terlebih dahulu.
Sampai di rumah, ucapan terima kasih telah keluar dari mulut Lia. Nandan pun mengangguk senyum. “Li, besok jadi, ya.” Lia mengangguk dengan senang. Thanks Nandan, batinnya.
Cerpen Karangan: Nh Laeli Bisa bertukar kabar denganku di Instagram, @nhlaeli 😀