Seminggu kemudian Arya keluar dari rumah sakit dan langsung dibawa ke rumah orangtuanya. Perwakilan anak-anak Pertawu bersiap menjenguk dan memberi dukungan moril padanya, Asma pun tak mau ketinggalan. Mereka berkumpul di rumah Rendy, tak jauh dari rumah pak kades untuk selanjutnya ke rumah Arya bersama-sama.
Tiba di rumah Arya, Asma tertegun melihat pujaan hatinya itu, wajahnya dan lengannya sebelah kiri masih terbalut perban. Ia bersyukur Arya masih baik-baik saja. Ada senyum di wajahnya ketika satu persatu teman-teman Pertawu datang menyalaminya dan mendoakan kesembuhan untuknya. Tiba giliran Asma menyalami Arya. “Semoga cepat sembuh ya ka… sehat kembali dan bisa aktifitas seperti biasa lagi,” Asma tersenyum dan memberi semangat kepada Arya walau ada getar dalam suara Asma. Asma seperti ikut merasakan sakit yang di alami Arya. Ia tau di balik senyum itu ada kepedihan yang disembunyikan, bagaimana tidak, wajah yang dahulu tanpa cela, kini kemungkinan akan cacat akibat luka bakar yang diderita. Ka Rendy sebagai teman dekat ka Arya tak henti-hentinya menyemangati ka Arya, begitupun dengan kami. Ka Arya pun mengucapkan terima kasih atas perhatian kami. Setelah berbincang-bincang agak lama, kami semua pamit pulang.
Empat minggu Arya beristirahat di rumah, kini wajah dan lengannya sudah tidak lagi diperban, bekas luka di wajah dan lengan dapat terlihat dengan jelas, walau begitu tidak dapat menutupi ketampanannya yang hakiki. Arya pun seperti tidak peduli dengan pandangan orang tentang keadaannya saat ini, ia ikhlas menerima takdir dari Tuhan.
Seperti bulan-bulan sebelumnya, Pertawu tetap mengadakan silaturahmi bulanan walaupun tanpa kehadiran Arya. Acaranya diadakan Sabtu malam ini. Asma dan Dita kebagian piket menyiapkan dan menata tempat di aula kantor desa, sehingga malam ini mereka tiba lebih awal setengah jam dari teman-teman yang lain.
“Dit, udah lo sapu lantainya?” “Gue ambil kain pel dulu ya di belakang, ntar baru kita gotong karpet bareng-bareng” “Iya… udah gue sapu, ya udah sana, gue tunggu di sini…” jawab Dita, ia pun mengeluarkan ponselnya dan mulai memainkannya.
Asma berjalan berbelok ke beranda samping menuju ruang penyimpanan alat kebersihan di belakang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok lelaki yang hendak berjalan ke depan, papasan pun tak dapat dihindarkan, mereka saling bersinggungan keras. Keduanya kaget, secara refleks, si lelaki memegang tangan Asma menghindari agar sama-sama tidak terjatuh. Dengan cepat Asma menoleh dan memandang wajah sosok yang menabraknya… ia sangat terkejut begitu tahu siapa orangnya, ternyata Arya. Mereka berdua terpaku di tempat mereka berdiri masing-masing, seperti ada lem di kaki-kaki mereka. Saling pandang tak dapat dielakkan, lama mereka saling bertatapan. Arya seperti terhipnotis, memandang lekat wajah di hadapannya, wajah cantik yang natural, lembut dan polos, memancarkan aura yang memesona dan membuat dirinya bergeming. Di lain pihak, Asma membatin, baru kali ini aku bisa sebegitu dekat dengan wajah ka Arya.
Tiba-tiba ada dorongan yang kuat dari diri Asma untuk mengangkat tangannya lalu menyentuh dengan lembut pipi Arya, di mana ada bekas luka di sana. “Ka Arya…” suaranya pelan sekali, lalu ia menunduk, bahagia tapi rasanya ingin menangis. Seperti ada yang menyuruh, tangan kiri Arya ikut memegang tangan kanan Asma yang tengah memegangi wajahnya. “Kamu ga takut atau risih melihat dan memegang wajah saya yang cacat ini?”, tanya Arya. “Engga ka, engga mungkin Asma risih, di mata Asma, kaka tetaplah pemuda yang tampan dan Asma kagumi, Asma sayang sama kaka…,” Asma makin tertunduk, tidak tahu mengapa ia jadi seberani ini mengatakan kata-kata itu. Arya terharu, ia mengangkat wajah Asma dengan tangannya. “Terima kasih ya Asma atas kejujuran kamu”. Pandangan mereka kembali beradu. Yah, Arya memang melihat ada ketulusan di mata Asma.
Ia jadi teringat Misel, kekasihnya yang kini meninggalkannya, jangankan menyentuh wajahnya, setelah tahu wajahnya cacat, Misel terus menghindar dan menjauh darinya. Dan belum lama ini ia mengirimkan chat WA yang isinya “Maaf Arya, aku mau kita putus. Aku harus jujur pada diri sendiri dan padamu. Aku tak lagi tertarik padamu. Aku tak lagi mencintaimu”. Ironis sekali, dua tahun bersama hanya begitu saja endingnya, batin Arya. Arya tak membalas chat dari Misel. Ia menerima itu semua, walau sungguh sakit hatinya, ditinggalkan pada saat butuh dukungan dari orang tercinta. Kini, di hadapannya, ada gadis yang mengaguminya dan tulus mencintainya dalam keadaannya yang seperti ini. Mungkin ini adalah takdir Tuhan untuk mempertemukannya dengan cinta sejati yang sesungguhnya.
Bulan demi bulan berlalu, kejadian tersebut telah menjadi kenangan tersendiri bagi keduanya. Atas saran kedua orangtuanya, Arya melakukan operasi bekas luka di wajah. Setelah beberapa kali melakukan operasi, kini wajah Arya hampir pulih seperti sedia kala. Luka hatinya pun berangsur sembuh, dan ia ingin membuka hatinya untuk gadis lain, gadis yang akan menerima ia apa adanya, kelebihan dan kekurangannya.
Malam yang cerah, pertemuan Pertawu kali ini diadakan di rumah Arya sekalian syukuran kecil-kecilan. Seluruh anggota Pertawu kebetulan hampir semuanya datang, mereka disuguhi banyak makanan dan minuman yang mengundang selera. Sebelum acara dimulai, mereka dipersilakan menyantap makanan yang disediakan.
Arya menghampiri Asma dan mengajaknya pergi. “Tunggu sebentar ya Dita… temenmu ini kaka pinjam sebentar” ujar Arya tersenyum. Dita yang sedang bersama Asma agak merasa aneh, tapi hanya angkat bahu dan lanjut menyantap kue-kue kesukaannya.
Arya mengajak Asma ke belakang rumah Arya. Mereka duduk bersebelahan di kursi panjang yang ada di beranda belakang rumah disuguhi gelapnya pemandangan sawah yang membentang luas dan angin semilir, memainkan rambut sebahu Asma dan menebar bau harum.
“Asma, saya ingin mendengar lagi kata-kata itu…” kata Arya sesaat setelah mereka duduk. “Kata-kata apa ka?” Asma berujar ragu. “Kata-katamu sewaktu kau menyentuh pipiku di belakang kantor kades… malam itu…” Arya menatap lembut Asma dari samping. Asma melirik dan salah tingkah, ia menunduk malu. “Apakah yang kau ucapkan itu sungguh-sungguh? ucapkanlah lagi agar aku percaya… atau kamu telah berubah pikiran?” Asma mengangkat wajahnya. “Engga ka, engga ada yang berubah, ka Arya adalah sosok yang selalu Asma kagumi, doa-doa terbaik juga selalu Asma panjatkan untuk ka Arya, Asma sayang ka Arya”. Ia memandang lurus ke persawahan tak berani menengok ke arah Arya.
Arya bangkit dan berdiri di hadapan Asma. “Pandanglah aku Asma…”. Kedua tangan Arya memegang kedua bahu Asma agar dapat memandang wajah gadis itu secara utuh. Wajah manis yang memancarkan aura kejujuran dan ketulusan yang sejak peristiwa malam itu selalu lekat di ingatannya dan membangkitkan semangat hidupnya.
Asma pun bangkit dari duduknya, mereka kini saling pandang. Arya membuka mulutnya dan berucap, “Saya sayang kamu, Asma… saya ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu!” Mendengar hal itu, rona bahagia terpancar di wajah Asma. Ia menjawabnya dengan anggukan dan tangis bahagia.
Mereka memandang langit, sama-sama berucap syukur. Terima kasih ya Tuhan. Langit Wetan Ujung makin benderang dengan munculnya bintang-bintang yang berkerlap kerlip di atas sana, seakan semesta merestui cinta dua insan manusia.
Cerpen Karangan: Zusan W Blog / Facebook: Belum ada