Loser, I Am A Loser Hari sabtu itu, matahari bersinar terik di atas langit Jakarta. Terik dan panasnya, seakan tidak terasa di sebuah kafe kecil di selatan ibukota. Sebuah ruko seluas 3 x 7 meter berlantai tiga, dirias sedemikian rupa sehingga terasa begitu nyaman. Di lantai dasar kafe tersebut, dua buah mesin AC bekerja keras melawan panasnya Jakarta. Sudah hampir 3 jam, seorang laki-laki duduk di ruangan tersebut. Terlihat berkali-kali ia memeriksa handphonenya, kemudian menaruhnya kembali. Sesekali juga ia terlihat menggigit kuku jari tangannya. Lelaki itu terlihat begitu resah.
Ia mencoba mengingat-ingat percakapannya dengan Bella, seorang wanita yang ia kenal lewat dating app selama lebih dari 5 bulan. Setelah sekian lama menolak untuk bertemu langsung di dunia nyata, Bella akhirnya menyetujui untuk bertemu dengannya beberapa hari lalu. Sudah beberapa kali ia mencoba menanyakan dimana keberadaan Bella, via chat, tetapi pesan tersebut terlihat tidak terkirim. Apa janjiannya hari minggu ya bukan hari sabtu, batin lelaki itu bertanya-tanya sambil mengecek lagi chat di antara mereka berdua.
Tiba-tiba lelaki itu tertawa sendiri, seakan sesorang menimpukan batu ke kepalanya sehingga meyadari kebodohannya. Bella bukanlah Bella, mungkin Bella hanya seseorang di internet yang bosan dengan hidupnya sendiri dan menyibukan diri dengan orang-orang yang kesepian di dating app. Bahkan Bella mungkin bukan seorang wanita. Lelaki itu kembali tertawa menyadari kebodohannya.
“How pathetic I am, such a loser” pikir lelaki itu sambil bangkit dari kursi tempat ia duduk. Satu gelas kopi lagi, kemudian balik pulang, pikir lelaki itu, seakan masih berharap Bella akan datang. “Long Black Coffee, pake es sama gulanya 15 milli ya mbak” kata lelaki itu. “Atas nama siapa kak?” tanya sang barista. “Bambang” jawab lelaki itu singkat.
Sambil membawa pesanannya, Bambang kembali ke kursinya. “Hey… Sendiri?” tanya seorang wanita dengan rambut highlight pendek berwarna biru, yang duduk di sebelah meja Bambang. Sambil menolehkan kepalanya kanan-kiri, Bambang memastikan bahwa ia lah yang dipanggil si wanita tersebut, “Saya?… iya sendiri” Jawab Bambang bingung. Wanita itu pun berdiri dari tempat duduknya, menuju lemari di pojok café, tempat disimpannya berbagai papan permainan, “Bisa main catur?” tanya wanita itu. Bambang pun mengangguk pelan, masih terlihat bingung. Sambil membawa papan catur kecil, sang wanita menuju tempat duduk Bambang. Sambil menarik kursi di depan Bambang, wanita itu berkata ringan “Gua bosen, main catur yuk”.
Luck, Game of Luck Setelah lebih dari satu setengah jam bermain catur dengan wanita yang tidak ia kenal itu, Bambang hampir yakin bahwa wanita di depannya itu bukanlah Bella. Paling tidak, wanita itu tidak seperti foto Bella yang ia tahu di dating app. Tapi ia sepenuhnya yakin, catur yang mereka berdua mainkan bukan catur yang biasa dimainkan. Catur suit, kata wanita itu. Kalau biasanya pemain catur memainkan bidak caturnya bergantian, catur suit dimainkan berdasarkan hasil dari suit. Jika salah satu pemain sudah menjalankan bidak caturnya dan dia memenangkan hasil suit, dia berhak menjalankan bidaknya lagi.
Menurut wanita itu, catur punya aspek yang hampir sama seperti hidup kecuali satu aspek, keberuntungan. Di catur, terkadang ada banyak pilihan untuk menjalankan bidak, terkadang tidak, ketika sudah menjalankan bidak dan tersadar bahwa itu adalah kesalahan, tidak bisa diulang. Seperti hidup, kadang banyak pilihan, kadang mentok, dan pilihan yang sudah dibuat, tidak bisa diulang lagi.
Aspek yang kurang dari catur adalah aspek keberuntungan. Menurut wanita itu, pemenang suit sebagai syarat untuk menjalankan bidak, akan menambah aspek keburutungan dalam catur, jadi yang lebih mahir tidak akan selalu menang. Sama seperti hidup, yang lebih kompeten juga tidak mesti menjadi berhasil.
Sambil meneguk Long Black kopi ketiga miliknya, yang dibelikan oleh si wanita, “Skak mat” kata Bambang singkat sambil menjalankan bidak kudanya. “Keberuntungan ternyata gak cukup buat menang” lanjut Bambang, setelah dipaksa tidak menjalankan bidaknya karena 3 kali kalah suit di awal permainan. “Menang bukan intinya, tapi the beauty of randomness, itu intinya” kata wanita itu sambil tersenyum. “Kita gak pernah tahu, siapa yang punya hak untuk melangkah setelah ini” lanjut si wanita sambil membereskan bidak-bidak catur.
“Jadi, saya harus manggil kamu apa?” tanya Bambang memberanikan diri menanyakan nama wanita itu. Setelah bermain catur dan berbincang-bincang lebih dari dua jam, Bambang tidak tahu nama wanita itu. “Aku benci nama” kata wanita itu singkat. “Tau gak? Manusia cenderung lebih sopan kepada orang yang tidak mereka kenal. lets not share each other our phone number or name, lets remain stranger, biar kita tetap santun” tambah wanita itu. “Lah trus gimana kalo saya pengen main catur aneh kayak gini lagi” tanya Bambang setengah protes. “Nope, kita gak akan main catur suit lagi, ever” kata wanita itu. “Ke Dufan aja yuk, aku lagi pengen banget naik roller coaster trus teriak sekeras-kerasnya” ajak wanita itu. “Kapan? Nomor telephone kamu, aku gak tahu, nama kamu aja aku gak tau” tanya Bambang tiga perempat protes. Sambil tersenyum, wanita itu memanggil pelayan kafe yang sedang membereskan meja sebelah, “Mbak tanya dong, mbak pilih salah satu ya, bulan atau minggu” tanya si wanita. “Bulan” jawab mbak pelayan bingung. “Trus dari nomor 1 sampai 9, nomor kesukaan mbak apa?” wanita itu melanjutkan pertanyaannya. “3” kata mbak pelayan singkat, masih bingung. “Ok, makasih mbak, sorry ganggu” kata wanita itu.
“Tiga bulan ke depan, di depan pintu masuk dufan jam 10.00 pagi” kata wanita itu sambil membereskan tasnya. “Seriusan ini?” tanya Bambang bingung. Si wanita hanya tersenyum. “Tapi kamu bener-bener bakal ada di sana kan? Bener-bener no name, no phone ini?” tanya Bambang benar-benar protes.
Sambil berdiri dari tempat duduknya, sang wanita berkata “Menurut kamu, aku bakal di sana gak nanti?” tanya balik wanita itu sambil tersenyum. “See you there” kata wanita itu sambil berjalan keluar kafe menuju mobil yang ia kendarai. Bambang masih terdiam di dalam kafe, bingung.
Lady, Call Me Lady Matahari di Jakarta bagian utara, di pertengahan Agustus, terasa sangat panas, udara yang berhembus sepoi-sepoi tidak bisa menghilangkan suasana panasnya. Jam baru menunjukan pukul 9 lewat beberapa menit, seorang wanita duduk di belakang kemudi mobilnya yang terparkir di dekat sebuah taman hiburan di pantai utara Jakarta. Hatinya terasa berdebar-debar karena hari yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa bulan lalu akhirnya tiba.
Wanita itu pun teringat percakapannya dengan Indah, teman baiknya. “Lu udah gila Ma” kata Indah sambil melongo mendengar cerita pertemuan Emma dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal di sebuah kafe beberapa bulan lalu. “Lu gak tahu kalo dia cowok baik-baik atau gak, atau bahkan mungkin dia udah punya pacar, atau malah istri” kata Indah agak marah. “Dan jangan sekali-kali lu bilang the beauty of randomness lagi” tambah Indah terlihat kesal. “Gua agak yakin kok dia cowok baik-baik, trus, dia juga duduk sendiri di kafe itu lebih dari 3 jam, sambil bolak-balik liat handphonenya. Gua yakin dia single. Dan lagi, gua sempet ngobrol panjang sama dia, selain itu ada hal dari dia yang langsung buat gua tertarik buat ngobrol”. Kata Emma, tidak hanya mencoba meyakinkan sahabatnya tapi juga dirinya sendiri. “Itu kan asumsi lu aja Ma, dan berdasarkan fakta yang bener-bener kurang” kata Indah sambil menghela nafas. “Itu lagi, yang sebelum lu pergi, pake bilang see you there segala. Too flirty itu” tambah Indah. “Tenang aja seeh, dia gak tahu nama gua kok, gak tahu apapun tentang gua, kalau ada hal yang gua gak sreg, tinggal shut it down” kata Emma mencoba menenangkan Indah. “Dan lagi gua juga lagi gak pengen berhubungan romantis sama siapa pun, capek” tambah Emma. “Trus kalo lu gak lagi berencana untuk punya pasangan atau pacar, ngapain ngerencanain ketemu lagi?” tanya Indah. Sudah beberapa bulan sejak percakapannya dengan Indah. Tetapi sampai saat ini, dia belum bisa menjawab, untuk apa ia merencanakan bertemu lagi dengan pria itu padahal ia benar-benar sedang tidak ingin berpasangan?
Sampai kemarin malam Indah masih saja mewanti-wanti dirinya untuk berhati-hati, membawa kendaraan sendiri dan jangan masuk ke kendaraan laki-laki itu. Dan lagi, belum tentu juga kok laki-laki itu datang, pikir Emma sambil mematikan mesin mobil.
Emma pun berjalan meninggalkan parkiran mobil menuju pintu masuk Dufan. Dari kejauhan, Emma melihat seorang laki-laki ramping dengan tinggi sekitar 176 cm, berpakaian kaos bergaris horizontal lengan panjang, bercelana khaki dan berkaca mata sedang berdiri. Itu dia, batin Emma, setelah melihat laki-laki yang ia kenal tapi tidak tahu namanya itu sedang menunggu. Emma berusaha keras menyembunyikan senyumnya, “Don’t look to excited Emma” kata Emma berulang-ulang dalam hati.
“Hey…” kata laki-laki itu menyapa, “rambut baru?…” tanya laki-laki itu. “Hey juga” jawab Emma, yang akhirnya tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Emma tidak merubah gaya rambutnya, hanya warna highlight rambutnya sedikit berubah, yang semula biru muda ia rubah menjadi biru turquoise. Entah kenapa pertanyaan simple ‘rambut baru?’ bisa meruntuhkan pertahanannya untuk tidak tersenyum.
“Kayaknya kita butuh panggilan. Bukan nama, hanya panggilan” kata si laki-laki. “Ok” jawab Emma yang masih saja tersenyum. “Aku panggil kamu ‘G’ dari gentleman karena kamu laki-laki, dan kamu bisa panggil aku ‘L’ dari Lady karena aku perempuan, Call me lady” lanjut Emma. “Ok, deal” jawab si laki-laki singkat, keduanya pun berjalan menuju pintu masuk Dufan.
Love, I Think I’m In Love with You “Dia suka lu tau itu mas” Kata Mira kepada Bambang, kakaknya, sambil mengelus Koko, kucing peliharaan mereka. “Dan itu, senyum sambil bilang ‘see you there’ itu, itu flirting kelas 101 banget” kata Mira. “Ah kebanyakan nonton filmnya Sandra Bulock lu Ra” kata Bambang. Tapi memang, sudah hampir dua bulan yang lalu pertemuan Bambang dengan wanita yang tidak dia kenal itu dan senyuman wanita itu sebelum pergi, masih saja menjajah seluruh isi otak Bambang. “Mas Bembeng, seriusan neh, senyuman itu bisa jadi modal, mas harus ketemu dia lagi nanti” Kata Mira sambil pasang wajah serius. “Seriusan deh, don’t fucked it up, Rio udah mulai ngomongin mau ketemu Babeh, jangan buat gua nikah ngelangkahin lu” kata Mira bercanda. Tetapi candaan setengah serius adiknya itu sudah tidak lagi didengar Bambang. Pikirannya sudah kembali dijajah oleh senyuman wanita yang bahkan namanya tidak ia tahu.
Hari ini, senyuman yang sebelumnya hanya ada di pikirannya, kini bisa ia liat dengan mata kepalanya sendiri. Sudah kali ketiga mereka berdua menaiki roller coaster, dan senyuman wanita itu terlihat begitu bahagia. Setelah beberapa jam menaiki wahana-wahana lainnya, hari sudah mulai sore. Keduanya keluar dari Dufan dan menuju sebuah kafe di pinggir pantai Ancol.
“Aku seneng banget hari ini, ngopi ini aku yang traktir, masih Long Black Ice Coffee with 15 mill sugar?” tanya wanita itu. Bambang tersenyum mengiyakan, sudah lewat 3 bulan tapi dia masih ingat minuman yang aku pesan, pikir Bambang. Si wanita kembali membawa minuman, kemudian keduanya duduk di teras kafe menghadap pantai, memandang matahari terbenam. “L” panggil Bambang singkat. Wanita itu menoleh sambil tersenyum ke arah Bambang. “Sunrise or sunset?” tanya Bambang. “Sunset, soalnya pas sunset, kebanyakan, kita bakal ketemu orang-orang yang real, hubungan real, bukan hubungan kerja. Kalo sunrise, waktunya kita siap-siap pasang topeng buat berhubungan dengan orang-orang tempat kerja” kata wanita itu panjang lebar. “Benci banget sama kerjaan?” tanya Bambang. Wanita itu mengangguk lemah. “Aku pengen banget ngelakuin sesuatu yang bisa buat diri sendiri bangga, kerjaanku sekarang, gak buat aku bangga, cuma buat bayar tagihan ini-itu” terang wanita itu.
Keduanya pun terdiam, menikmati matahari yang hampir tenggelam. “L?” kata Bambang, si wanita kembali menoleh, lagi-lagi sambil tersenyum. “Tiga bulan lalu, di kafe, kenapa kamu sapa aku?” tanya Bambang. Si Wanita tersenyum, sambil menunjuk handphone milik Bambang. Handphone itu sangat biasa, tapi dibalut oleh phone case bergambar female symbol dengan tangan mengepal dan tulisan ‘equality’ di bagian strip dari symbol.
“Aku pernah hidup dengan lingkungan yang sangat misoginis, orangtuaku, dengan terang-terangan lebih sayang kepada adik dan kakak laki-lakiku. Aku juga pernah menjalin hubungan lama dengan pria misoginis. Kalau dipikir-pikir, setelah hidup bertahun-tahun dengan orangtua yang terang-terangan lebih menyayangi anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya, mestinya aku cepet sadar kalau pasanganku itu dulu seorang misoginis. Entahlah, terlalu bodoh kali aku” jelas si wanita panjang lebar.
“anyway, melihat symbol equality di phone case kamu, juga di gantungan kunci yang kamu bawa, buat aku tertarik buat ngobrol sama kamu” tutur wanita itu sambil memandang Bambang, tersenyum.
Entah karena suasana matahari terbenam yang begitu romantis atau keterusterangan wanita disampingnya mengenai dirinya atau hanya karena senyuman manis wanita itu, Bambang merasakan perasaannya membuncah. Perasaan ingin melindungi wanita di sampingnya, memeluk dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. “L” kata Bambang lirih, “Kayaknya, aku sayang sama kamu”. Si Wanita kembali menoleh kearah Bambang, matanya terbelak kaget, kali ini tidak dengan tersenyum.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono