Logical, Logical Answer Emma masih memandang terbelak laki-laki disampingnya, terkejut, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Bagi mereka berdua, waktu seakan berhenti, tapi tidak di sekitarnya. Matahari tetap tenggelam dan lampu-lampu sudah dinyalakan. Mereka berdua terdiam, canggung.
“Kamu sayang aku G? tapi kita baru ketemu dua kali?” tanya Emma. “Gak, gak, gak, gak, gak bisa, gak G, kamu gak bisa bilang kalimat itu begitu aja” kata Emma panik. “Gak, gak, gak, enggak, kamu kayak nodong kepalaku dengan pistol G kalo kamu bilang gitu” lanjut Emma, masih terdengar panik. “Kamu bahkan gak tau nama asliku G, kita bahkan gak tau nama kita masing-masing” kata Emma. Laki-laki itu, sambil tertunduk, mengatakan lirih “Aku cuma ngutarain apa yang aku rasa”. Emma memandang pria di sampingnya, pandangannya tajam. “Kamu gak sayang aku G, kamu cuma suka ide kamu tentang aku, kamu belum kenal aku, aku yang rusak, aku yang messed up, aku yang pernah hancur sehancur-hancurnya. Kamu belum tahu itu, yang kamu suka cuma ide kamu, penggambaran kamu tentang aku, bukan aku”. “Kamu gak bisa bilang kalimat itu, ketika aku, seorang wanita, sedang mengutarakan vulnerability-nya, itu namanya kamu berusaha mengambil kesempatan, apa itu maksud kamu G?” todong Emma. “Gak, bukan begitu maksudku, sumpah aku gak ada maksud apapun untuk ambil kesempatan. Mungkin, aku cuma terbawa suasana, atau entah apa” kata lelaki itu mencoba menjelaskan. “Aku minta maaf” lanjut lelaki itu, lirih.
“Trus, apa yang kamu harapkan pas kamu bilang kalimat itu? Kamu berharap jawaban apa dari aku?” tanya Emma. “Kamu laki-laki pintar G, kamu tau jawaban logis dari pertanyaan itu. Aku gak perlu jawab” kata Emma lembut, sambil membereskan tasnya. “Aku pulang duluan” kata Emma sambil berdiri dari tempat duduknya, kemudian keluar dari kafe menuju mobilnya. Dari kejauhan di dalam mobilnya, Emma masih melihat laki-laki itu terdiam. Ada perasaan bersalah di hati Emma, tapi ia tetap pergi meninggalkan pantai Ancol.
Longing, Longing For Someone You Don’t Even Know “Wish you luck, buddy” kata seorang lelaki berkulit putih, di depan bandara John F Kennedy di Kota New York. “Yeah, you too, Matthew” balas seorang laki-laki berkulit sawo matang singkat, sambil saling berjabat tangan. Sudah setahun Bambang ditugaskan perusahaannya, sebuah perusahaan multinasional dibidang konsultasi finansial dan perpajakan, untuk bekerja di pusat perusahaan di Kota New York. Sebenarnya, penugasannya baru selesai bulan depan, tapi Mira, adik Bambang, akan menikah minggu depan.
“Awas aja kalo Mas Bembeng gak dateng, gua gak akan bolehin gendong anak gua entar” Ancam Mira via video call beberapa bulan lalu. “Belum juga nikah udah ngomongin anak” batin Bambang tidak berani mengucapkannya langsung kepada Mira.
Tiket pesawat penerbangan All Nippon Airways NH-109, miliknya sudah di tangan. Pesawat akan berangkat pukul 16.55 waktu setempat. Masih sekitar satu jam sebelum Bambang harus duduk di pesawat selama 14 jam sampai Tokyo kemudian ditambah 8 jam ke Jakarta. Dua puluh dua jam ke Jakarta, hitung Bambang tidak antusias membayangkan masa depannya yang akan terkurung di kabin pesawat hampir seharian penuh.
Sambil duduk, Bambang melihat jendela-jendela besar bandara John F Kennedy. Sinar matahari terbenam terlihat begitu jingga di bulan Agustus itu. Tiba-tiba sebuah ingatan kelam singgah di pikiran Bambang. Ya, warna matahari sore ini sama seperti warna matahari sore itu ketika dengan bodohnya ia mengatakan sayang secara premature. Dua kali bertemu dan dengan bodohnya ia langsung bilang sayang, kepada wanita yang bahkan namanya saja tidak ia kenal.
Sebenarnya, kalau boleh juur, Bambang tidak merasa bersalah mengatakan kalimat itu, toh ketika itu, itulah yang ia rasa. Tapi terkadang ia selalu berpikir ‘what if’ kalau dia lebih bersabar dan tidak bilang sayang secara terburu-buru.
Setengah mati Bambang sudah mencoba melupakan kenangan itu, tapi kenangan itu kadang tiba-tiba datang begitu saja. Biasanya ketika matahari terbenam, ketika dia tidak sengaja melihat orang-orang tua bermain catur di Central Park atau bahkan ketika melihat papan advertising pasta gigi. Bahkan sempat beberapa bulan ia sempat tidak bisa minum kopi yang biasa ia minum.
Panggilan pesawatnya terdengar diumumkan. Bambang segera menuju gate tempat pesawatnya berada. Kembali menuju Jakarta.
—
“Long black coffee dengan es sama sedikit gula ya mbak” kata seorang wanita memesan minumannya di sebuah kafe di selatan Jakarta, “Iya mbak Emma” kata sang barista, sudah mengenal baik customer langgananya tersebut. Sudah setahun lebih Emma selalu minum kopi di kafe ini sambil menyelesaikan buku yang ia tulis. Di kafe ini jugalah Emma bertemu dengan laki-laki yang tidak sengaja ia sakiti setahun lalu. Emma selalu tersenyum bila mengingat laki-laki yang tidak ia tahu namanya tersebut. Bilang sayang di pertemuan kedua, Emma kembali tersenyum mengingatnya kembali.
Ketika ia mendengar laki-laki itu tiba-tiba bilang sayang, ia merasa sangat takut. Siapa manusia yang bilang sayang pada pertemuan kedua? Padahal tidak pernah berkomunikasi sama sekali? Pengalamanya dengan mantannya yang terdahulu, juga yang membuat ia takut. Emma takut diperalat dengan mind game, seperti mantannya selalu memanfaatkan vulnerability-nya di masa lalu.
Sebenarnya tidak lama setelah ia meninggalkan Pantai Ancol sore itu, ia sadar bahwa keterusterangan dia kepada laki-laki itu, terkait masa lalunya, juga memunculkan vulnerability kepada laki-laki itu. Mestinya, aku beri dia kesempatan kata Emma.
Oleh karena itu, sekitar setengah jam kemudian, ia kembali untuk mencari laki-laki itu di sekitar pantai Ancol. Tapi ia sudah tidak ada. Kemudian berhari-hari ia minum kopi di kafe ini, tempat pertama kali mereka bertemu. Laki-laki itu tidak pernah kelihatan lagi.
Life, Lesson Learned but Life Must Go On Di sebuah toko buku ternama yang berada di sebuah mall di pusat Jakarta, Emma sedang menghadiri acara jumpa fan buku pertamanya “L is for Life”. Buku yang ia tulis dengan susah payah selama hampir selama 2 tahun itu akhirnya terbit beberapa bulan lalu, diterima dengan antusias yang sangat tinggi.
Jumpa fans kali ini pun bukan jumpa fans yang pertama bagi Emma. Tidak ia sangka, buku yang sebenarnya terinspirasi dari kisah pertemuannya dengan laki-laki yang namanya tidak pernah ia tahu, hampir 4 tahun lalu itu, disukai khayalak banyak.
Emma duduk di sebuah kursi dengan meja panjang yang ditempatkan di panggung kecil di tengah-tengah loby mall. Emma duduk di tengah, diapit oleh moderator di sisi kanan, dan publisher bukunya di sisi kiri. Banyaknya fans yang hadir, membuat acara tidak bisa dilaksanakan di dalam toko buku. Fans tidak hanya memadati loby mall di lantai dasar, tetapi juga ada yang melihat dari lantai dua mall. Emma, karena duduk di kursi yang ditempatkan di atas panggung, dapat melihat fansnya, yang mayoritas perempuan, dengan leluasa.
Acara pun dimulai dan berjalan dengan tertib. Ketika dalam sesi tanya jawab, Emma tidak sengaja memandang ke lantai dua mall tersebut. Sosok yang tidak asing terlihat oleh Emma, laki-laki ramping dengan tinggi sekitar 176 cm, berpakaian kaos bergaris horizontal lengan panjang, bercelana khaki dan berkaca mata. Lelaki itu menggendong seorang bayi. Di samping lelaki itu berdiri seorang perempuan yang mendorong kereta bayi.
Detak jantung Emma tiba-tiba berdetak cepat, tangannya berkeringat. Apakah dia bisa mempercayai pandangannya sendiri? Sesekali Emma mencoba melirik kembali ke lantai dua mall, sambil mencoba fokus menjawab pertanyaan fans-fansnya. Iya benar, pikirnya, laki-laki itu, adalah tokoh utama dalam bukunya. Emma mencoba melirik kembali ke lantai dua, memastikan apakah lelaki itu masih berada di sana. Sudah tidak ada. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, Emma mencoba mencari laki-laki itu.
Apakah sudah terlambat? Pikir Emma. Apakah dia sudah berkeluarga? Apa pantas kalau aku datang menemuinya? Berbagai pikiran berseliweran di benak Emma. Kalaupun ia sudah berkeluarga, paling tidak aku hanya ingin meminta maaf, tidak lebih, putus Emma.
Emma mendekatkan kepalanya ke moderator di samping kananya. Ia meminta izin untuk undur diri dengan alasan ke kamar mandi. Segera Emma menuruni panggung, mencari laki-laki yang pernah ia temui hampir 4 tahun lalu.
—
“Pakde Bembeng, gendong Raya dong sebentar” bujuk Mira kepada Bambang. “Mana seeh Rio” tanya Bambang kepada Mira, “Katanya cepet beli susunya” kata Bambang agak kesal. “Iya bentar ah” kata Mira singkat, sedikit kesal, sambil menggendong anak kedua Mira, Arya. Pandangan tajam Mira yang membuat Bambang terdiam. Kadang Bambang salut, bagaimana Rio bisa tahan dengan pandangan seram adiknya itu setiap hari. Bukannya Bambang tidak suka menggendong keponakan-keponakannya itu, tetapi ada hal yang mengganggunya semenjak masuk mall tadi.
Rencananya hari ini, Bambang dan Rio akan membelikan treadmill untuk bapak, supaya bapak tetap bisa beraktifitas setelah baru saja pensiun, akan tetapi Mira memaksa ikut. Akhirnya borongan lah mereka berlima ke mall. Ketika masuk mall, Bambang tidak sengaja melihat banner berdiri di loby mall, dan ia sangat mengenali foto yang terpampang di banner itu. Foto yang begitu familiar, walaupun ia tidak pernah tahu nama wanita di dalam foto itu.
Rio akhirnya datang membawa belanjaan buat anak-anaknya. Bambang mengambil belanjaan tersebut dan menyerahkan Raya ke gendongan bapaknya. “Gua keluar dulu ya, belanjaan gua bawa ke mobil” kata Bambang kepada Mira dan Rio.
Dengan membawa belanjaan dua keponakannya, Bambang setengah berlari menuju loby mall. Tetapi wanita yang tadi ia lihat duduk di tengah sudah tidak ada lagi di tempatnya. Sambil menghela nafas, Bambang melangkah gontai, menuju sebuah kafe di mall tersebut, sambil membawa belanjaannya. Paling tidak, dari banner berdiri tersebut, sekarang Bambang tahu nama wanita itu, Emma Purnama, mungkin akan ada kesempatan lainnya, batin Bambang menghibur dirinya sendiri.
Long Black Ice Coffee, with 15 Mill Sugar Emma masih setengah berlari mencari laki-laki yang ia kenal 4 tahun lalu itu. Seketika sesuatu terbesit dalam pikirannya, ia tahu, dimana ia bisa menemukan laki-laki itu. Ia menuju sebuah kafe di lantai dasar mall, seorang laki-laki yang ia kenal sedang memesan di depan barista. “Long Black Ice Coffee…” Kata laki-laki itu. “With 15 mill sugar” sela Emma. Laki-laki itu menoleh ke arah Emma. “Hey…” sapa laki-laki itu nampak agak terkejut. “Hey juga…” balas Emma dengan senyuman yang menjajah isi pikiran laki-laki itu selama 4 tahun lamanya.
Keduanya duduk berhadapan di kafe tersebut. “Gimana anak-anak? Sehat?” tanya Emma canggung. “Anak-anak?” tanya laki-laki itu heran. Emma kemudian menunjukan belanjaan berbagai kebutuhan bayi yang dibawa laki-laki itu. “Owh… ini buat keponakan, ini ke mall bareng adek sama anak dan suaminya” jelas laki-laki itu. Emma pun tersenyum mendengar jawaban laki-laki itu.
“Aku mau minta maaf, mungkin sudah terlambat 4 tahun, tapi aku minta maaf” kata Emma. “Aku yang minta maaf, sudah nodong kamu dengan kalimat itu, aku benar-benar gak ada maksud buruk sore itu” jawab lelaki itu.
Keduanya pun terdiam lagi, canggung. “Masih tanpa nama?” tanya lelaki itu sambil meminum kopinya. Sambil tersenyum, Emma menjawab “Aku Emma, Emma Purnama”. “Aku Bambang Permadi” balas Bambang.
Sambil menunduk, Bambang berkata lirih “Aku gak ada maksud buruk, dan aku minta maaf kalau perkataanku selanjutnya mungkin akan buat kamu tidak nyaman atau merasa ketakutan lagi, but I really really miss you”. “Me too” jawab Emma singkat “Apa aku terlambat?” tanya Bambang. “Nope” jawab Emma sambil menunjukan kesepuluh jarinya tanpa cincin. “Apa aku terlambat?” kata Emma balik bertanya. Bambang hanya menggelengkan kepalanya sambil menunjukan jari-jarinya yang juga tidak bercincin.
Keduanya pun tersenyum, tapi tetap terdiam. Seakan ada aura kebahagiaan dan kelegaan dibalik saling canggungnya sikap keduanya. Tetapi perlahan, kecanggungan pasti akan mencair, seperti es di dalam kopi mereka.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono