Mamanya belum mengirim jatah uang jajannya bulan ini. Sebagai anak rantau yang masih kecil nan imut, Elvina benar-benar berusaha untuk belajar menghemat uang yang diberikan oleh orangtuanya. Malang nian nasib Elvina karena dia tak pernah berhasil untuk melakukannya.
Gadis berumur 18 tahun itu selalu saja tak bisa menahan keinginan untuk membeli barang-barang. Tapi rata-rata yang dibelinya sedikit kecowok-cowokan—seperti; jam tangan, vapor, pisau lipat, sabuk yang keren, atau topi. Bukan, barang-barang itu bukan untuknya. Itu untuk cowok-cowok yang disukainya. Mereka bahkan bukan pacarnya. Elvina hanya benar-benar ingin membuat mereka terkesan dan me-notice dirinya.
Elvina Hasna Maktika, berumur lebih tua dari teman-temannya di SMA. Cewek paling hopeless romantic di angkatannya dan sangat mudah berpindah minat dari satu cowok ke yang lainnya.
Nasib sahabat lelakinya juga tak jauh berbeda. Sedikit banyak mungkin beda, tapi secara garis besar—sama saja. Dihan Cakrajiya namanya. Berbeda dengan Elvina, Cakra hanya setia pada satu perempuan saja. Tapi mereka berdua sama-sama tidak pernah berhasil mendapatkan pujaan hati mereka. Keduanya hanya remaja biasa yang lebih cocok menjadi peran figuran ketimbang peran utama. Bukan orang yang sangaaaattt kaya atau sangaaaaattt tidak berkecukupan. Biasa saja. pas-pasan. Mereka sudah bersahabat sejak kecil dan baru-baru ini bertemu kembali. Saat Vina memutuskan untuk bersekolah di luar kota.
Selama 3 tahun lamanya mereka bersekolah, mereka bertambah dekat. Sudah jadi rahasia umum bahwa Vina adalah bucin dari para cowok-cowok populer di sekolah dan bahwa Dihan adalah bucin untuk satu orang saja. mereka benar-benar cocok. Tak pernah menyerah atau pun berhenti. Sampai mereka tidak tahu kapan harus berhenti. … mungkin tidak juga.
“capek gue, Kra,” Vina menendang tas sekolahnya yang tergeletak di lantai kamar Cakra. Dengan wajah memberengut, dia bersedekap dan membanting diri ke kasur sahabatnya. Vina menghela napas berat. Dia melirik Cakra yang duduk di lantai sembari bersandar di dipan kasurnya—sedang sibuk bermain gawainya. “Oi!” Vina mendorong pelan kepala Cakra, “kok gak tanya sih?” “HMMM?” dengus pemuda itu dengan keras, “apaan?” “Lo gak dengerin ah,” gadis itu berguling menjauhi Cakra. “Dengerin kok, Lo capek kan? Capek napa?” tanya Cakra. Vina tidak menjawab. Dia menatap langit-langit kamar Cakra yang kusam. Benaknya dipenuhi satu hal yang terus saja berseliweran sejak di sekolah. Vina memejamkan mata dan memijat tulang hidungnya. Selang beberapa detik, tangannya merogoh ke dalam saku tasnya. Dia menarik sebuah gantungan kunci Eren Jaeger yang dibelinya untuk Erland. Rencananya dia akan memberikan benda itu kepada Erland besok. Sepertinya Vina akan membatalkan rencana itu.
Dia menoleh, “Lo gak capek juga, Kra?” “Capek apaan?” “Halah Lo gausah sok gatau, Kra!” Vina bangkit dan beranjak duduk di sebelah Cakra. Cowok itu hanya mendengus, “Apaan sih,” Vina mendekat sampai lengan mereka bersentuhan, dia menjulurkan kepalana untuk melihat apa yang sedang Cakra lakukan dengan smartphone-nya. “Hayo liat apaaaa???” goda Vina. “Ssstttt,” Cakra mendesis dan mendorong kepala Vina menjauh, “Ribut aja ni anak. Belajar sono!” Vina menatap sahabatnya sambil cemberut. Tanpa mengatakan apapun, cewek itu menyambar ponsel Cakra. Temannya melotot dan berseru marah. Vina meletakkan ponsel Cakra di sebelahnya dan menangkup wajah Cakra dengan kedua tangannya. “Cakra,” dia menatap sahabat kecilnya itu tajam-tajam, “Dengerin dan jawab gue.” Awalnya Cakra meronta, tapi akhrinya ia pasrah dan diam. Dia membalas tatapan Vina dengan malas, “Hmmm.” Gumamnya. Vina melepaskan tangkupannya. “Gue capek, suka sama orang dan gak pernah perasaan gue dibales.” Elvina menghela napas dalam-dalam, “Sekalipun gak pernah,” ujarnya. “Lu juga gak ngerasa capek gitu, Kra? Udah 6 tahun lu ngejar-ngejar Indira dan dia juga gak pernah nanggepin Lu serius.” Cakra menunduk dan mulai memainkan jemarinya. Dia menggoyangkan kepalanya, tidak jelas apakah ia mengangguk atau menggeleng. “Iya atau enggak?” Tanya Vina galak.
Cakra mendesah sambil menggaruk tengkuknya, “Gak segampang itu jawabnya, Vin. Kalo Lo tanya selama ini gue ngerasa capek atau gak—jawabannya, gak. Gue gak pernah capek. Tapi setelah Lo tanya gitu sekarang, dipikir-pikir lagi mungkin gue ngerasa capek sedikit.” “Sedikit?! Kra, gue serius nanya. Setelah 6 taun, dan Lo Cuma capek sedikit?! Cakra, Lu pasti ngarang.” Sayangnya, Cakra menggeleng. “Lo sendiri gimana? Udah berapa cowok yang Lo kejar-kejar selama ini? Erland? Bhaskara? Bayu? Firman? Siapa lagi? Kenapa Lo tiba-tiba kepikiran buat capek?” Cakra balas menyudutkan Vina. “Ayo berhenti,” ajak Vina memotong basa-basinya. Cakra menatapnya bingung, “Hah?” Vina mengangguk, “Iya. Udah, ayo stop ngejar-ngejar orang yang bahkan gak mengharapan kita.” Vina mengedikkan bahunya dengan santai. Dia tersenyum tipis. “Dihan Cakrajiya,” Elvina menyebutkan nama lengkap Dihan—yang membuat cowok itu gugup sekaligus merinding. “Lo pacar gue sekarang.” “HAH,” Cakra mendelik sampai-sampai mungkin matanya akan melompat dari rongganya. “LO HARI INI KENAPA SIH VIN? KESURUPAN? SAKIT? HOMESICK? KENAPA LO TIBA-TIBA NEMBAK GUE GINI.” “Ssst,” Vina memotong omongan Cakra, “Gue paham kok, Kra, gimana rasanya berharap tapi harapan itu gak pernah terjadi.” Vina meraih tangan kanan Cakra, membukanya dan meletakkan gantungan kunci Eren di telapak tangan pemuda itu. “Nih buat Lo. Jaga baik-baik ya.” “Besok jemput gue ya, kayak biasanya.” Vina mengerling pada Cakra. Dia bangkit dan mengambil tasnya, “Gue balik dulu ya, Kra.” Pamitnya. Ketika Vina memutar gagang pintu dan hendak berpamitan lagi, Cakra mencekal pergelangan tangan ‘pacar’ nya. “g-gue anter lo pulang Vin,” Cakra tergagap saat mengatakannya. Vina hanya tersenyum dan tidak menolak Cakra.
—
“Makasih udah nganterin gue ya, Kra.” Vina turun dan menyerahkan helm yang dipinjamnya pada Cakra. Yang diajak bicara hanya mengangguk, tidak menjawab. “Yaudah, gue masuk ya. Makasih sekali lagi lo,” “V-Vin …” Panggil Cakra. Langkah Vina terhenti, “Hm?” “g-aku … besok a-aku jemput kayak biasanya kan?” Cakra berdeham, terlalu malu untuk menatap Vina. “jemput Kamu …” Vina memaksakan sebuah senyum. Dia tahu dari dulu adalah orang yang serius. Sayang tidak banyak yang menghargai itu. Bahkan seperti ini, walau tidak ada perasaan sama sekali, pacar barunya ini tetap berusaha. “Iya … Kamu jemput aku,” perasaan sedih menghantam Vina tiba-tiba. Lalu dia tertawa keras dan menepuk-nepuk bahu Cakra, “Eh aneh banget yak pake aku-kamu hahahaha!” ah, tawa yang palsu.
Mereka berdua mengejutkan pak satpam saat baru datang. Cakra dan Vina nyaris telat. Keduanya terlambat bangun. Mereka mengejutkan siswa-siswi yang juga terburu-buru masuk kelas. Semuanya yang tergesa-gesa, begitu pandangan mereka jatuh pada kedua pasangan baru itu sontak menghentikan langkah dan melongo. Hari ini seakan keduanya menjadi artis. Orang-orang langsung minggir.
Yang paling heboh adalah saat Cakra dan Vina melewati koridor angkatan mereka. Semua orang menyoraki mereka, memberi selamat tertawa, berteriak penuh kemenangan, “HIDUP JOMBLO YANG BUCIN!!!!!” Atau, “SELAMAT YA ELVINA SAMA DIHAN. CIEEE AKHIRNYA JADIAN YEEE.” …, atau semacamnya. Ya, mereka bergandengan tangan saat memasuki sekolah. Elvina tak pernah merasa begitu kecil namun juga begitu terekspos di waktu yang sama. Seperti sekarang ini. Dia mencuri pandang pada Cakra, cowok itu datar seperti biasanya. Vina menghela napas panjang. Mungkin .. mungkin … tidak ada salahnya menjadi pemeran utama …
—
“Nih,” Cakra menyerahkan sebuah kembang gula biru kepada Vina, “yang warna pink habis,” Vina mengambil batang permen kapas itu dan tersenyum pada Cakra, “thanks.”
Mereka duduk di bangku dekat wahana komedi putar. Banyak anak-anak, banyak pasangan, banyak lampu neon berwarna-warni yang mengelilingi dan menyinari taman bermain itu. Ramai sekali … tapi keheningan antara mereka berdua malah terasa lebih intens karenanya. Cakra menggenggam tangan kiri Vina sementara dirinya memakan kembang gula yang dibelikan Cakra.
Ini kencan, tapi rasanya datar dan hambar. Vina tak merasakan kesenangan atau apapun. Sebenarnya kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia menyuruh Cakra menjadi pacarnya? Apa yang ingin dia buktikan? Vina melirik Cakra. Sudah dua minggu dan Vina masih tidak bisa menarik benang perasaan tertentu untuk Cakra. Dia juga bingung, sekarang mereka sudah berpacaran—tapi lalu apa? Apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan setelah mereka resmi?
“Kamu masih mau main disini?” pertanyaan Cakra membelah pikirannya menjadi dua. Vina berjengit, masih tidak terbiasa dengan cara berkomunikasi yang diubah oleh Cakra, “Aku lebih suka liat-liat aja sih sebenernya.” Vina menyodorkan kembang gula ke mulut Cakra, yang langsung menyambar nyaris setengahnya. Cakra mengangguk, “Agak buang-buang duit sih kalo cuma liat-liat doang,” komentarnya. Elvina menyikut keras iga Cakra. Cowok itu hanya nyengir sambil mengedikkan bahu. Cakra melepaskan genggamannya, “Tapi kalo Kamu lebih suka gitu ya, aku bisa apa,” katanya cepat. Sebelum Cakra berdiri, dia mendaratkan kecupan lembut di pipi Vina. “Kalo gitu aku main, ayo ikut.” Cakra sudah berjalan duluan, Vina hanya memutar-mutar bola matanya. Sementara ia memperhatikan Cakra melihat-lihat wahana, tangannya bergerak menyentuh pipi yang dikecup Cakra. Tidak. Dia masih tidak merasakan apapun, sayangnya. Padahal Cakra sudah berusaha dan serius. Tapi Vina pun juga sudah berusaha untuk merasakan setidaknya sesuatu. Ada .. dia merasakan sesuatu barusan. Perasaan bersalah.
Sepulang sekolah, kepala Vina penuh oleh gosip panas yang sedang beredar di sekolahnya. Soal Indira, cewek yang dulu disukai Cakra—mungkin sebenarnya sampai sekarang Cakra masih menyimpan sisa rasa. Indira Mutiara Iswara, murid teladan yang manis, ceria, dan baik hati—tipikal dengan karakter utama yang ada di novel-novel. Berbeda jauh dengan dirinya sendiri.
Tapi apa yang penting, sebenarnya? Vina terus merenungi satu pertanyaan itu. Teman-teman geng Indira mulai membocorkan apa yang berulang kali terjadi dalam hubungan Indira dan Eric—dua siswa-siswi yang paling populer. Pertengkaran hebat, adu mulut, hinaan, bahkan mereka hampir melukai satu sama lain … lalu permintaan maaf. Dan siklus kembali berputar.
Apa yang penting, sebenarnya? Mereka terlihat baik-baik saja di sekolah, hanya untuk mempertahankan sosok mereka yang dipuja-puja. Lalu untuk apa mereka terus bersama? Siapa yang berusaha mereka puaskan dengan saling menyiksa batin satu sama lain seperti itu? Apa yang penting—tampak depan yang terus diperhatikan semua orang atau apa yang disembunyikan oleh tampak depan?
Elvina juga tak bisa berhenti membandingkan hubungan Indira dengan hubungannya sendiri. Dua insan yang bertampang rupawan, yang saling memikat. Sedangkan ia, dua tali yang terikat kuat, tapi karena semua itu hanya untuk menyambung apa yang pernah terputus dan terpisah. Elvina terduduk. Cakra sudah berusaha … dia benar-benar berusaha … mereka terus saja bertengkar selama pertemanan mereka—tapi semua pertengkaran itu malah membuat Vina dan Cakra saling mengerti dan mempelajari. Vina tak pernah benar-benar tertarik pada Cakra. Dari awal, ia hanya penasaran bagaimana rasanya tidak memikirkan cowok-cowok yang tak pernah hadir dalam hidupnya.
Cakra … masih di luar setelah dia mengantar Vina. Gadis itu berlari, membanting pintu begitu kerasnya sampai bahunya terbentur. “CAKRA!” teriaknya dengan keras ketika melihat Cakra hampir saja memacu sepeda motornya. Vina berlari lebih kencang sampai kelingking kakinya tersandung kaki meja. Dia mengaduh, tapi mengabaikannya dengn cepat. Cakra menoleh dan turun dari sepeda motornya, “Kenapa?” Vina memeluk Cakra erat-erat ketika dia mendekati Vina. “Ooookeee?” Cakra menepuk punggung Vina, “Kamu kenapa?”
Vina melepaskan pelukannya, digenggamnya dua tangan Cakra. “Aku minta maaf. Aku gak mikir panjang waktu kita pacaran. Aku Cuma capek dan lampiasin kekesalanku. A-aku gak pernah ada rasa sama Kamu. Padahal Kamu udah berusaha jadi pacar yang baik. Aku—” Tawa kecil Cakra memotong ucapan Vina, “Elvina, please.” Tatapannya pada Vina melembut, “Aku gak berusaha jadi pacar yang baik. Aku emang pacar yang baik.” Cakra nyengir, Vina langsung memberengut dan memukul pelan lengan Cakra. “Jadi …” kata Cakra pelan, “Sekarang apa? Kamu mau minta putus?” Vina terkejut mendengar kesimpulan yang ditarik oleh Cakra dari ucapannya. “Enggak … Aku cuma mau bilang kalo Aku bakal berusaha lebih keras lagi … buat ngembangin perasaanku … lebih tulus,“ suaranya sedikit bergetar dan menghilang. Vina berdeham, “—buat sayang Kamu …” Mereka sama-sama diam untuk beberapa saat. Sementara Dihan Cakrajiya menatap ubun-ubun kepala pacarnya, menanti Elvina untuk menatapnya—Elvina terus menunduk, tak berani beradu tatap dengan Cakra.
“Aku beneran gak pernah berusaha, Elvina.” Gumam Cakra pada akhirnya, ”Karena Aku emang tulus ngelakuin semua itu. Agak sedih sih denger kalo Kamu sebenernya gak ada perasaan apa-apa ..” Cakra tertawa kecil sambil menggaruk kepala belakangnya. “Tapi kalo Kamu emang mau berusaha, yah …” Cakra mengangkat kedua bahunya.
“J-jadi Kamu udah suka Aku dari awal?” Jantung Vina seakan merosot ke perutnya saat Cakra mengangguk. “Awalnya emang gak sadar. Tapi aku kepikiran terus sejak kita pacaran.” Vina benar-benar tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dia benar-benar merasa bersalah—mungkin, tersanjung juga. Apapun itu, dia tak menyesali bersama Cakra. Dia bahkan berpikir bahwa Indira sudah rugi banyak karena tak pernah melirik Cakra barang sedikit pun.
“Cakra,” Vina tersenyum, suaranya bergetar. Kali ini keduanya benar-benar datang dari hatinya. “Makasih,” Dia memeluk Cakra dengan erat. Mereka berdua berpelukan, lalu melepaskan. Menatap masing-masing, dan tertawa geli. Tentu saja ini sudah cukup untuk mereka berdua.
Cerpen Karangan: Sokproaj Blog / Facebook: Billie Aliyyah Jasmine