Malam makin larut, sebuah kafe di bilangan ibukota yang buka malam hari, baru terlihat geliatnya. Sam baru saja tiba dan langsung memasuki kafe itu, ia melihat banyak pengunjung di dalam, ia tengak tengok mencari tempat duduk yang kosong, akhirnya ia dapatkan.
Sam memperhatikan dari kejauhan gadis manis yang sedang membawa minuman untuk pelanggan. Ketika si gadis melewatinya, ia tersenyum. “Hai Abangku, kemana aja? Kok baru keliatan!” tanya si gadis yang ternyata sudah mengenalinya juga dengan senyum. “Biasa lah, ada urusan…” katanya. “Minum apa? Biasa…?” tanya si gadis. Di jawab dengan anggukan Sam. “Oke, tunggu ya…”. Ia berlalu memberikan minuman pada pelanggan di pojok ruangan, setelah itu ia mengambilkan minuman pesanan Sam.
“Ini minumannya, Abang ganteng…” kata si gadis sambil menaruh minuman di atas meja. “Kok kelihatan galau sih? Kenapa?” si gadis memandangi Sam. Ia mengambil kursi dan duduk di samping Sam. Ia memang sudah mengenal Sam sejak kecil dan ia tahu sekali wajah abang sepupunya itu kalau sedang galau, pasti sekarang ini ada yang sedang dipikirkan. Dan biasanya nanti ia yang dijadikan tempat curhat kegalauannya.
“Mey, gue mau udahan sama tante Win…” Sam berkata. “Ooh… ada masalah dengan tante Win…” gadis bernama Mey manggut-manggut. Dia memandang sekeliling, dia tidak mungkin mendengarkan abang sepupunya curhat sekarang, ceritanya pasti akan panjang dan sekarang ia harus lanjut bekerja. “Gue bakal lanjut denger cerita lo Bang, tapi ngga sekarang, gimana kalo besok agak sore gue ke tempat lo, besok gue off kerja… oke?!” Mey beranjak dari kursinya. “Smile dulu dong Abang ku”, goda Mey sebelum akhirnya ia berlalu. Sam tersenyum. Senyum Mey memang paling bisa bikin hatiku terhibur, batin Sam.
Hari ini Sam mengaku sakit dan izin tidak masuk kerja. Sore hari, Sam baru bangun dari tidurnya, ketika Mey baru saja tiba di kamar kos Sam. Mey mengetuk pintu dan membuka pintu kamar kos Sam, yang pintunya tidak dikunci. Mey melihat Sam di sisi tempat tidurnya. “Hey Bang, baru bangun yah? Nih gue beli martabak kesukaan gue, lo juga pasti suka deh…!” tanpa harus dipersilakan masuk Mey masuk ke dalam. Ia langsung duduk lesehan di lantai yang dialasi karpet tebal dan meletakkan bawaannya di lantai. “He-emm… bentar deh, gue mandi dulu” Sam yang masih terlihat agak kusut beranjak ke kamar mandi.
Wangi segar harum deodoran khas pria mengisi ruangan setelah Sam keluar dari kamar mandi dan harumnya sampai ke hidung Mey. Mey mengarahkan matanya ke sosok lelaki itu. Lelaki itu terlihat segar dengan rambut yang masih basah acak-acakan dan ia juga belum berbaju, hanya bercelana pendek saja. Jantung Mey berdebar. Ia senyum-senyum melihat pemandangan itu, terakhir kali ia melihat Sam seperti itu semasa mereka di kampung, dulu mereka dan teman-teman lain sering sekali main di sungai, Sam masih SMA dan masih kurus, waktu itu Mey masih SMP, hmm… gagah sekali abang sepupunya itu sekarang, katanya dalam hati.
Sam berdiri di depan cermin dan merapikan rambutnya. Mey mencuri-curi pandang. Dalam hati terdalam Mey, ia memang menyukai lelaki itu sejak lama. Selain mereka bersaudara, Sam juga adalah teman dari kecil, rumah mereka di kampung memang berdekatan dan hubungan persaudaraan keluarga besar mereka terbilang baik dan erat, kakek Sam dan nenek Mey adalah kakak adik. Sam lelaki yang baik, Mey tahu betul itu. Saat dirinya diberhentikan dari pekerjaan dan kesulitan mendapat pekerjaan lagi, lelaki itu merekomendasikan kepada pemilik kafe untuk menerima Mey bekerja di tempat itu. Walaupun awalnya ia agak takut karena harus bekerja malam, tapi Sam meyakinkannya bahwa ia akan aman, karena ia kenal betul dengan bos pemilik kafe dan para pelayan juga para ‘preman-preman’ di sana. Sam yang mencarikan tempat kos untuknya tak jauh dari tempatnya bekerja sekarang. Sam juga berjanji segera akan mencarikan pekerjaan yang lebih baik untuk Mey.
Orangtua Sam sebenarnya adalah termasuk keluarga berada di kampung mereka. Selama ini mereka hanya tahu Sam di Jakarta untuk bekerja, tapi orangtuanya sendiri hanya tahu Sam sebagai pegawai di perusahaan swasta. Setelah lulus kuliah Sam memang merantau ke Jakarta dan bekerja. Tiga tahun hidup di Jakarta, ia bertemu dengan teman kuliahnya dahulu, Sam dikenalkan dengan teman lain yang hobi menghamburkan uang, punya gaya hidup yang glamor, dan dekat dengan kehidupan malam. Dari situlah ia mengenal tante Win, wanita yang usianya 18 tahun di atas Sam yang adalah ‘teman dekat’ Sam sejak tiga tahun belakangan. Ia seorang wanita lajang yang sukses dalam karir dan tidak punya keinginan untuk menikah, ia hanya ingin bermain-main dengan Sam dan Sam juga tahu itu, karena ia juga tidak pernah serius dengan wanita itu, ia hanya ingin hidup serba mudah dan dimanja oleh uang tante Win, karena gajinya sebagai staff di perusahaan yang tidak terlalu besar tidaklah cukup memenuhi gaya hidupnya mengikuti teman-temannya; party, nge-gym di tempat elit, perawatan layaknya cowok metropolis, membelanjakan pacar-pacarnya yang lain, dll.
Selain tante Win yang jadi kekasih tetapnya, diam-diam Sam memang memiliki banyak kekasih, hanya untuk bersenang-senang, ya… wanita mana yang tidak akan tertarik pada Sam, ia memiliki semua yang diinginkan wanita, paras rupawan, tubuh atletis, dan ia juga dikenal tidak segan-segan memberikan hadiah yang mahal. Ah… Sam, batin Mey. Ia sebenarnya prihatin dan kasihan dengan Sam. Sudah berulang kali Mey menasihati Sam agar menyudahi segala petualangannya dan hidup normal. Mey selalu memikirkan bagaimana jika keluarga besar mereka mengetahui kelakuan Sam di Jakarta? Terlebih lagi jika orang sekampung tahu…? karena selama ini cuma ia yang tahu dan ia selalu menutup-nutupinya.
Sam sudah berpakaian, kaos bergambar dan tidak berlengan dipilihnya untuk suasana santai. Mey diam-diam memperhatikan otot-otot lengan Sam yang kokoh dan ditorehi tato, ia langsung membayangkan nyamannya dalam dekapan lelaki itu. Mey buru-buru menggelengkan kepalanya, menepis pikiran liar dalam kepalanya. Ia tahu Sam hanya menganggapnya sebagai adik.
Sam duduk lesehan di depan Mey lalu mengambil sepotong martabak yang di bawa Mey. Baru dua kali gigitan, ia bangkit lagi. “Oiya, gue ambil minum dulu..” ia berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil dua botol frestea dingin. Mata Mey tak lepas memperhatikan Sam. “Bang, kemaren lo bilang mau apa? Mau udahan sama si Tante? Ada angin apa?” Sam sudah kembali duduk di hadapan Mey, mengambil potongan kedua martabak yang di bawa Mey. “Gue bosen dengan hidup gue Mey… gue capek, akhir-akhir ini gue mulai mikirin apa yang udah lo omongin ke gue”, Sam sambil mengunyah martabaknya. ”Gue ngga bisa begini terus, umur gue udah 28 tahun, gue juga pengen hidup normal dan suatu saat punya keluarga kayak temen-temen gue yang lain…” ia habiskan potongan terakhir martabak di tangannya.
“Udah ngomong sama si Tante belom? Kalo dia ga mau gimana?” Mey meneguk minumannya. “Belom sih, makanya gue minta pendapat lo… soal dia mau apa ngga, itu soal gampang” “Gue sih seneng banget Bang ngedengernya, keputusan lo udah bener… lanjutin lah niat lo itu…, setelah itu menurut gue temen-temen lo yang sekarang ditinggalin aja”. “Iya Mey, walaupun mungkin ngga segampang itu ya, tapi pelan-pelan gue akan berusaha Mey, tekad gue udah kuat untuk berubah… semoga bisa ya Mey”. Mey meng-amini nya.
“Ngomong-ngomong Mey, lo sendiri belum ada niatan nikah?, calon yang dulu itu kemana?” “Udah ke laut Bang… he.. he… he dia punya cewe lain” “Kasian Ade abang…” Sam mengacak-acak rambut Mey. Mey tersipu dibuatnya.
“Tau ga Mey, sudah tiga malam ini gue mimpiin lo terus, kenapa ya?” “Emang mimpi apa bang? Gegara mikirin Mey kali… sampe kebawa mimpi begitu?” Mey mengekeh. “Iya juga kali, niat gue untuk berubah gini emang kan karena lo Mey, lo ga bosen-bosen ingetin gue, gue seneng lo masih mau nganggep gue sebagai sodara… makasih ya Mey… engga tau kalo yang lain Mey… paling-paling keluarga dan saudara lain akan menghujat gue kalo tahu gue yang sebenarnya…” “Jangan ngomong gitu Bang, lo kan niat mo berubah…” Mey menghibur.
Tak terasa tiga tahun telah berlalu. Tak banyak berubah pada hubungan Sam dan Mey, masih akrab layaknya teman, saudara atau kakak adik. Mey tidak lagi bekerja di kafe malam. Rasa cintanya pada Sam masih sama, tidak pernah ia isyaratkan atau ia ungkapkan. Di sisi lain, Sam memilih tidak memiliki pacar lagi dan semakin giat bekerja, sampai-sampai disela-sela waktu luangnya ia gunakan untuk mencari uang tambahan. Hingga pada suatu masa Sam mendapati Mey sedang menangis…
“Kenapa Mey” Sam menatap wajah Mey dengan lembut. “Bapak maksa gue untuk nikah… mau dijodohin, takut gue jadi perawan tua katanya, terus katanya juga tetangga kita di kampung makin sering bergunjing, si Mar udah mau punya anak tiga, masak kakaknya belom nikah juga!” “Sabar ya…” hibur Sam. “Hmm… mau ngga gue kenalin sama cowok yang serius pengen nikah?” “Siapa? temen lo? gue ngga tau deh Bang!!” Mey hanya tertunduk lesu “Jangan sedih begitu…” Sam menghapus air mata Mey. “Coba liat dulu orangnya, ganteng kok, nih gue punya fotonya…” Sam mengambil ponsel dari saku celananya. “Mau liat ga nih? Udah lama juga dia jomblo dan sekarang ini katanya siap nikah…” “Mana?” Mey mendekatkan kepalanya pada layar ponsel yang dipegang Sam, ia penasaran dan ingin tahu foto yang dimaksud.
“Ini fotonya!… gimana… ganteng kan?” Sam memperlihatkan foto dirinya sendiri pada Mey. “Becanda aja lo Bang!” Mey tertawa getir. “Ini serius ade sayang,” Sam berkata dengan nada bicara dan raut wajah serius. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Maukah Mey menikah dengan abang… dan menerima abang apa adanya?” Sam menunjukkan sebuah cincin bermata biru. Mey masih belum percaya, ia memandang wajah Sam, “Emang Abang beneran cinta sama Mey?”. Sam mengangguk dan tersenyum. Mey tersenyum manis. “Mey mau… nikah sama abang, Mey udah lama cinta sama Abang”. Sam merengkuh kepala Mey dan menyandarkannya di bahunya. Hati Mey berbunga.
Cerpen Karangan: Zusan W Blog / Facebook: Belum ada