Aku masih ingat betapa kamu sangat ingin melepaskan tanganku saat itu. Padahal aku menggenggamnya dengan sekuat tenaga. Aku bisa merasakan betapa dinginnya malam itu, entah karena dinginnya guyuran hujan atau dinginnya tatapanmu. Aku juga masih ingat, kamu menang saat itu. Kamu berhasil melepas tanganku dan melemparkannya jauh-jauh. Dan aku masih ingat juga, betapa derasnya air mataku bahkan lebih deras dari hujan malam itu. Tapi setelah satu setengah tahun berlalu, kamu kembali dihadapanku lagi. Yang membuat rasa ingin melupakanmu tenggelam kembali.
—
Kamu masih terlihat sama seperti dulu, kecuali warna rambut yang berubah menjadi lebih cokelat dan warna kulit yang lebih cerah. “Hai Rin, apa kabar?” Sapamu seperti tanpa dosa. “Kenapa kamu ada disini?” “Aku kesini untuk ketemu kamu. Aku baru saja sampai di Indonesia.” “Terus?” Jawabku ketus. “Aku Rindu kamu. Jadi aku langsung datang ke sini.”
Dalam sekejap bibirku membisu. Perasaan itu datang lagi tanpa disuruh. Bagaimana bisa ini terjadi? Padahal selama satu setengah tahun ini, aku berjuang mati-matian untuk melupakan manusia ini. Tapi hanya dengan kata aku rindu kamu, dinding yang kubangun susah payah itu retak.
“Tapi sayangnya aku sama sekali tak merindukan kamu Rey.” “Aku tahu kamu bohong.” Aku tersenyum kecut. Lalu melewati Rey begitu saja. Tapi Rey menahan tanganku, tak mengizinkan aku pergi. “Maafkan aku Rin. Seharusnya aku datang lebih cepat.” Aku menoleh menatap mata laki-laki itu. “Jika kamu ingin dimaafkan, tolong lepaskan tanganku dan biarkan aku pergi sekarang!” “Aku tahu kamu masih sendiri, tidak bisakah kita bersama lagi?” Aku menarik tanganku kasar. Lalu aku menampar Rey begitu saja. “Apa di matamu aku terlihat gampangan?” “Gak gitu Rin …” aku berlalu pergi tanpa mempedulikan ucapan Rey yang belum selesai.
Hari berganti, seperti biasa aku bekerja lagi. Aku cukup terkejut saat mendapati Rey dihadapanku. “Ada apa lagi kamu kesini?” “Tentu saja mau membeli minuman,” jawab Rey seadanya. “Mau pesan apa pak?” tanyaku dengan muka datar. “Satu Jus alpukat dan satu jus strawberry untuk dibawa pulang.” “Baik.”
Beberapa menit kemudian pesananpun siap. Aku menaruhnya di meja dalam satu plastik putih. Rey membayar sesuai yang aku sebutkan. Tapi dia hanya mengambil jus alpukatnya saja. “Yang itu buat kamu.” Rey pergi tanpa menunggu respon dariku. Aku langsung bergegas izin sebentar keluar kepada teman kerjaku.
“Rey,” panggilku setengah berteriak Rey melihatku masih didepan pintu dengan jus strawberryku. Aku berjalan mendekat dan mendekatkan jus di tanganku kedepan wajahnya. “Maaf aku gak bisa terima ini.” “Kenapa? Bukannya kamu paling suka jus strawberry?” “Itu dulu, sekarang aku udah gak suka. Tepatnya sejak satu setengah tahun yang lalu. Aku mulai menghindari minuman ini.” “Kenapa?” “Karena minuman ini selalu mengingatkan aku tentang kamu.” “Kalau kamu gak suka buang aja.” Tanpa berpikir panjang aku langsung melepaskan minuman yang aku pegang itu sehingga pecah dan mengenai sepatu Rey. Rey hanya bisa menatapku dengan mulut terbuka dan kedua alis yang terangkat keatas. “Kenapa? Bukannya kamu yang nyuruh buang!” kataku dengan wajah datar lalu berpaling pergi.
Hari ini aku lembur kerja. Aku keluar kafe ditemani langit yang semakin gelap. Mataku beralih pada sosok yang baru saja kutemui tadi pagi. Dia adalah Rey. Dia duduk berjongkok sendirian di pojokan. Mata kami pun bertemu. Dia bergegas bangkit dan mendatangiku.
“Ada yang ingin aku bicarakan,” kata Rey. “Sayangnya aku enggak!” “Tentang alasan kenapa dulu aku ninggalin kamu.” Kata-kata Rey menahanku pergi. Aku menatap matanya. “Itu gak penting sekarang!” “Bagiku penting Rin. Karena dengan menjalaskannya, mungkin kamu bisa berubah pikiran.” “Kalau begitu bicaralah!”
“Alasan aku ninggalin kamu karena aku rasa kita sama-sama kesulitan. Kita dulu setiap hari ketemu di sekolah tapi tiba-tiba harus LDR beda negara itu cukup sulit bukan? 2 tahun berjalan aku merasa sangat tertekan. Terutama saat dimana seharusnya aku disamping kamu tapi aku tak bisa berada disitu. Aku selalu merasa bersalah setiap harinya apalagi ditambah jadwal kuliah yang padat itu benar-benar membuatku gila. Karena itu aku rasa cukup untuk menghakhirinya. Tapi ternyata setelah bertahun-tahun berlalu aku masih belum bisa melupakan kamu dan saat aku dapat informasi bahwa kamu masih sendiri, aku berharap kita bisa bersama lagi.” “Waktu itu aku bilang gak apa-apa kan? Apa aku nyalahin kamu sampai kamu merasa bersalah? Aku bilang baik-baik saja bukan?” “Karena aku tahu saat itu kamu juga kesulitan karena hubungan kita sama sepertiku. Kamu bilang gak apa-apa itu bukan berarti kamu benar-benar baik-baik saja bukan?”
“Menurut aku kesulitan disitu adalah bagian dari perjuangan. Paling tidak kita bisa bertahan 2 tahun tanpa ketemu. Aku menahan semuanya selama 2 tahun dan waktu kamu datang kamu malah ngajak putus.” “Aku minta maaf. Aku akan lebih baik ke kamu untuk ke depannya. Kita mulai lembaran baru lagi, Rin.” “Satu setengah tahun kamu pergi tanpa kabar. Satu setengah tahun itu lama Rey, setiap hari aku buang perasaanku padamu dan sekarang perasaan itu sudah tak tersisa lagi, kalaupun ada sudah kadaluarsa!”
Rey mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah cincin. “Menikahlah denganku Rin. Sebelum pulang ke Indonesia aku sudah mendapat tawaran pekerjaan. Aku bakal nanggung biaya kuliah kamu. Kamu gak usah kerja lagi buat bayar kuliah. Aku bakal bahagiain kamu. Aku janji. Aku bakal lebih baik lagi sama kamu.” “Aku sudah bilang kan, aku gak ada perasaan lagi buat kamu!” “Aku tahu itu gak benar, maka dari itu aku menunjukkan keseriusanku.”
“Kamu emang gak berubah. Kamu selalu sok tahu sama perasaanku. Dulu saat aku bilang gak apa-apa, aku baik-baik saja, kamu malah berpikir sebaliknya. Dan sekarangpun sama. Aku bilang aku udah gak ada perasaan apapun lagi sama kamu tapi kamu malah gak percaya. Padahal dalam hubungan ini itu soal aku sama kamu! Bukan kamu sama pemikiran kamu! Sekarang kamu pahamkan alasan kita putus? Kamu gak mendengarkan ucapanku. Kamu hanya mendengarkan isi kepalamu sendiri!” Rey diam seketika. Mencerna kata-kataku di kepalanya.
“Aku tahu aku terlalu tak tahu diri karena menolak kamu. Aku tahu aku menang banyak jika dapat kamu. Tapi otakku terlalu bodoh untuk memikirkan itu semua dan hatiku lebih unggul untuk merasakan kekecewan. Jadi Rey, maaf. Bisakah kamu pergi menjauh dari hidupku? Aku tak mau mengecewakan hatiku yang telah berusaha mati-matian untuk melupakan kamu. Dulu kamu pernah menang, melepaskan tanganku padahal sekuat tenaga aku menahannya. Maka dari itu izinkan aku menang kali ini, agar kita impas. Aku harap kita gak akan pernah ketemu lagi Rey.”
Cerpen Karangan: Desy Puspitasari Blog / Facebook: DesyPuspitasari