(Sunrise adalah candu yang membawaku kembali dan terus kembali ke bukit ini. Suatu saat nanti mungkin akan kutemukan sosokmu bukan pada matahari terbit, tapi benar-benar kamu di hadapanku)
“Tunggulah sampai fajar menyingsing di ufuk timur, memerah hingga langit mulai terang di ujung bukit ini! Dan setelahnya kau boleh untuk tidak mencintaiku lagi”
(Sean, seindah apakah sunrise yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di ujung pantai? sehingga tampak air yang berwarna biru itu berangsur-angsur tercampuri warna merah dan orange. Memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar di dasar laut! Sean, sesedih apakah perasaan seorang lelaki yang melihat matahari terbit dari balik jendela kamarnya? ketika kelumpuhan tubuhnya mengendapkan semangatnya untuk bangkit)
(Penyebaran sinar matahari oleh partikel debu, aerosol padat dan aerosol cair di permukaan bumi memancarkan warna membias dan merona. Sepanjang angin berhembus, selalu ada cerita tentangmu yang mulai kesepian. Sunrise yang menunggumu dalam waktu yang serba sebentar lalu kesunyian pun membebani meski sesungguhnya gemuruh di hatimu bersorak ketika sisi teratas matahari muncul di atas horizon di timur. Gemuruh itu bisa terdengar hingga ke batas langit atau hingga ke dasar laut).
—
“Aku melihat sunrise, lalu memikirkanmu” Ucap seorang lelaki pada kekasihnya. Di pagi yang cerah, di tepi pantai yang indah. Keduanya duduk sambil memandang ke arah timur. Menikmati hembusan angin dan suara ombak yang mengalun. Ketika fajar yang sedari tadi sudah terbit dan sunrise sudah hilang bersamaan dengan roda waktu yang berputar. Pohon kelapa yang bertengger di belakangnya cukup menjadi peneduh di kala teriknya mentari menyengat kulit. Mereka nampak terbiasa. Embun di pagi itu juga membias di telapak tangan keduanya!
Di Bukit pinus, panggung seperti sudah di siapkan. Wanita itu masih menunggu sunrise yang dimaksud kekasihnya. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk sunrise semenjak ia lahir, meski tentu sunrise pernah melihat wanita itu. Entah di mana! Wanita itu terus memikirkan bagaimana caranya ia dapat mengambil sunrise itu dari penciptanya “Tak boleh ada yang lebih indah dariku meskipun ialah penciptanya” pekiknya. Dalam hatinya, ucapan kekasihnya itu telah menyakiti hatinya. “Aku tak bisa melebihi sang pencipta, aku tak suka bersaing dengan tuhan dengan menciptakan dunia yang indah untukmu. Aku tak mau mengutarakan basa-basi macam itu dengan mengatakan kau lebih indah dari sunrise! Aku mencintaimu tanpa harus memujimu setiap saat. Karena keindahan wajahmu itu milikmu sendiri” Ucapnya begitu terngiang di telinganya. Wanita itu tak bisa memungkiri kecemburuannya kepada sunrise. Kemudian si lelaki datang menghampirinya!
“Kau tahu twilight?” “Tidak, memangnya apa?” Tanyanya. “Peristiwa cahaya Matahari terlihat mulai akhir senja hingga fajar” “Maksudmu, ketika malam cahaya Matahari juga bisa terlihat hingga fajar? Bagaimana bisa itu terjadi?” “Karena refraksi atmosfer menyebabkan Matahari masih dapat terlihat sementara berada di bawah horizon” “Sean, itu semua tak ada hubungannya denganku” “Memang, tapi kau perlu tahu! Agar kau tahu mengapa aku sangat menyukainya dan kau juga bisa belajar menyukainya” “Untuk apa sean? Sudah cukup setiap hari kau membicarakan tentang sunrise. Mengungkapkan bagaimana kau sangat mengaguminya. Setiap hari menunggunya! Kalau tidak di pantai, di atas bukit. Tempat di mana kita memulai semuanya” Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pernyataan kekasihnya. Menghela nafas dan mulai bicara lagi! “Kau cemburu? Pada sunrise? Itu sangat lucu sayang” “Kau begitu sangat menyukainya? Bagaimana caranya agar kau membencinya? Sunrise itu bukan sesuatu yang indah, sean” “Kau tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat sunrise?” Tanya lelaki itu. Si wanita tak menjawab, toh sebentar lagi pasti lelaki itu juga menjawab pertanyaannya sendiri. “Karena sunrise seperti dirimu” “Aku tidak mau disamakan dengan sunrise, aku ini lebih indah”
—
(Sean, serupa apakah kenangan dalam bungkusan sunrise yang konon lebih luas dari aliran sungai ke pantai selatan itu? Sebesar apakah keindahannya hingga kau tak dapat kusentuh? Dapatkah aku menggantikannya walau hanya dalam pikiranmu? Sebegitu cintanya kah? Sebegitu sangat mengaguminya kah? Aku juga selalu ada di depanmu seperti sunrise itu!)
(Aku tetap suka berada di sini meski kau tetap membicarakannya, berada terus bersamamu walau kau terus menunggunya!)
“Begitukah?” Tanya lelaki itu. Wanita itu lalu diam.
“Kalau tidak ada aku, pasti sunrise membuatmu merasa di timbun kenangan. Kalau aku pergi, apa kau akan berhenti?”
Sepanjang angin berhembus, wanita itu terus bicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang tinggi di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di ujung bukit kemudian terbang lagi. Senja juga belum datang. Hanya paparan sinar matahari, angin dan kicau burung yang menemani mereka. Dikala hati si wanita itu meluap-luap seperti gunung yang sudah tak tahan lagi menahan larvanya, meletus dan meledak-ledak.
“Benarkah ada burung yang selalu datang ketika senja?” Tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri. “Tentu saja!” “Burung apa? Burung senja?” “Ah, bukan. Jangan membicarakan senja, apalagi sunrise. Jangan bicarakan itu di depanku!” “Lalu? Aku harus bicara dengan siapa? Bukankah senja dan sunrise itu berbeda?” “Pada temanmu, memangnya hanya ada aku? Masa bodolah, aku tidak mau tahu” “Baiklah” “Kalau begitu, anggap saja ini akhir kenangan” Wanita itu kemudian diam lagi.
Kenangan. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan. Bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada seruan yang melintas memanggil mereka dari belakang. Alangkah terkejutnya si lelaki itu, sehingga bisa terbayang tubuhnya ikut bergetar karena ucapan wanita yang dicintainya.
“Mungkin kita harus pulang” “Tidak. Kita lihat senja dulu, setelah itu tidak akan pernah lagi. Kita sudah berakhir sean” “Tapi kenapa? Aku sangat mencintaimu catrine” “Tapi, kau tidak mau berhenti. Memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini, aku ngeri. Aku akan pergi”
—
(Sean, ini juga hal yang sulit untukku. Bukit besar yang teramat sabar, hamparan rumput memanjang sampai ke penjuru ingatan dan ke palung kehilangan. Sesungguhnya, ada banyak cerita di bukit ini. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di sisinya untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain dari seseorang. Seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah danau atau sawah-sawah di kejauhan yang nampak tenghampar luas dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita! Tapi pemandangan di bukit ini, senja dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di Bukit pinus untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si wanita akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana demi mengenang lelaki itu. Seperti aku yang saat ini! Meski mungkin si wanita tak ingin kembali padanya, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di bukit itu lagi).
Ketika matahari bundar di ujung bukit. Sepasang kekasih itu sama-sama diam ketika si lelaki sudah memberi jawabannya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu bicara.
“Aku ingin kelak kau menjadi si penikmat sunrise, agar kau mengerti. Saat itu tiba, datanglah kemari. Kapan kau akan pergi?” “Esok, setelah fajar. Setelah semuanya usai, kau tidak sedih sean?” “Aku masih bisa memikirkanmu” “Jadi, cinta sudah sesempurna itu? jika kita masih bebas memikirkan orang lain?” “Tentu, tuhan tidak pernah melarangnya”
—
(Sepanjang angin berhembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya. Senja sudah lewat, matahari yang dikaguminya sudah kembali ke peraduan. Aku berharap matahari itu tak pernah terbit lagi! Tapi itu tak mungkin, matahari itu milik tuhan. Bukannya aku harus meminta izin dulu untuk melenyapkannya, namun semua itu sia-sia. Bersamaan dengan lenyapnya matahari, dunia ini akan hancur. Aku harus bagaimana sean? Bahkan hingga aku pergi, kau tak juga berhenti. Kau sama sekali tidak mencintaiku, bagaimana mungkin aku bisa mencintai sunrise?).
Keesokan hari… Saat langit mulai terang, langkah kaki si wanita terus berpacu. Meninggalkan kekasihnya, jauh dari kota.
Kereta terus melaju! sudah jauh meninggalkan stasiun Karawang, memasuki area persawahan lalu menebas kota yang penuh dengan bangunan. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan kota yang si wanita tuju. Masinis itu tak mengurangi kecepatan. Sesaat ia menoleh lewat jendela. Melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Ini hanya kereta biasa.
Tiba di stasiun Pasar senen, wanita itu melanjutkan perjalanannya. Menaiki kereta api cipuja menuju Purwokerto. Kereta tiba beberapa jam kemudian, wanita itu menunggu dengan perasaan sakit, rindu dan sesal. Namun wanita itu tahu betul bahwa keputusan itu yang terbaik untuknya! Wanita itu menunggu di sisi rel, kereta api kelas ekonomi unggulan yang melayani perjalanan Purwokerto – Kiaracondong – Pasar Senen itu tiba. Wanita itu duduk pada gerbong ketiga. Perjalanan Karawang – Jakarta, Jakarta – Jawa tengah cukup memakan waktu yang lama. Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu! juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
(Akankah kau merindukanku? Sean)
Rindu itu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si wanita melihat sepasang kekasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu. Mereka melambai ke arah kereta, seakan tak peduli dengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian tangan mereka. Sementara di bagian-bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih. Wanita itu tertegun, seperti itukah senja yang didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi. Mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis. Kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan. Tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut. Penasaran ada apa? mengapa berhenti di tengah jembatan? apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? atau ada kejadian luar biasa di depan? tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula. Yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya.
(Sabarlah, tunggu sampai senja selesai hingga Matahari terbit dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini). (Aku ingin kelak kau menjadi si penikmat sunrise, agar kau mengerti. Saat itu tiba, datanglah kemari). (Sean, belum sehari aku meninggalkanmu. Rindu ini sudah tak tertahan lagi!)
—
Seminggu berlalu… Kusisihkan sebagian pikirku untuk melukiskan sunrise, tentang perasaan yang seringkali kubantah… Yang melukiskan gambaran kata dan teruntai lewat bait-bait masa hingga menjadi sebuah potret… Wahai canda yang terindah, jangan engkau hiasi indah dirinya dengan rasa sakit… Tentang hati yang tak seorangpun bisa mengerti, Biarkan ia menjadi misteri… Biarkan ia tersungkur di bawah kakinya… Kubiarkan bukit itu terus mengawasiku, lalu menaungiku dengan kecupan bayangnya! Hingga akupun tenggelam di dalamnya… Lalu ia membawaku kembali pada situasi yang mengarahkanku pada sebuah sisi, sisi yang sebetulnya sangat kucari… Dan aku tak peduli, biarkan kuratapi sendiri dengan canda dan biarkan canda itu meratapiku kembali… Ingin kuakhiri mimpi sambil merangkai ranting-ranting permai yang kupatahkan dalam barisan embun. Bersamanya akan kuiringi akhir dari segala kesepian ini…
Purwokerto, 2017
—
Wanita itu mengirimkan surat untuk kekasihnya!
Untuk sean… Seminggu ini, aku selalu memikirkanmu. Ucapanmu terhadap sunrise itu benar-benar mengusik hidupku. Aku tak bisa berlama-lama jauh darimu. Semua kebiasaan itu membuatku rindu akan kenangan kita yang belum lama ini usai! Seminggu ini, sejak aku meninggalkanmu pada fajar hari itu. Sejak aku memutuskan untuk mengerti ucapanmu, aku benar-benar memikirkannya. Apa salahnya jika aku memulai untuk menyukai sunrise? Benar katamu, keindahannya tak dapat diungkapkan. Aku begitu kecanduan sean, setiap hari aku mengamatinya. Memang tak tersentuh, namun ronanya yang menawan memikat hatiku. Pada akhirnya, aku harus kembali padamu. Mengungkapkan keindahan sunrise setiap hari, aku tak keberatan! Benar sean, aku tidak bohong. Aku bukannya menbenci sunrise, aku hanya selalu melewatkannya. Saat itu, saat kesepian mengusikku. Aku hanya menatap sunrise, lalu wajahmu muncul di sana. Itu adalah ilusi optik yang paling indah. Aku akan kembali esok, tunggu aku di Bukit pinus. Kita akan menyaksikan senja berdua, kita awali lagi semuanya. Anggap saja aku tak pernah meninggalkanmu…
Salam rindu… Catrine
(Keesokan harinya, aku kembali ke titik awal. Dimana semua kenangan terangkai, aku tidak langsung pergi menemui ibu maupun ayah. Aku hanya ingin bertemu sean! Kutunggu sosoknya di bukit itu, seperti ucapannya. Jika saat itu tiba, aku hanya perlu kemari)
Hingga senja tiba, sosok lelaki itu tak juga sampai. Si wanita hanya duduk terpaku tanpa memikirkan “Apakah si lelaki itu marah hingga tak mau menemuinya atau pikiran-pikiran lainnya”.
Seorang laki-laki tegap dengan baju berwarna putih dan celana jeans hitam datang menghampiri si wanita. Dengan suara yang agak berat, laki-laki itu memanggil “Kak, catrine”… “fathur, di mana sean?” “Ikutlah denganku” Si wanita itu mengikuti langkah si laki-laki yang kira-kira umurnya lebih muda darinya. Menyusuri sebuah pemakaman umum. Pikirannya kini kemana-mana, perasaan sedih dan juga cemas merasuki setiap rongga dadanya. Nafasnya tercekat saat terkaan itu benar-benar nyata! Nama sean yang tertera di batu nisan yang kini dilihatnya.
“Ini tidak mungkin fathur, aku hanya meninggalkannya sebentar! Hanya sebentar saja, aku tidak benar-benar meninggalkannya” “Kakak pergi ketika sean akan menemui ajalnya, kakak tahu? Mengapa sean sangat menyukai kakak? Karena kakak itu seperti sunrise yang selalu di lihatnya. Setiap kali sean melihatnya, di situlah harapan hidupnya tumbuh. Kak catrine terlalu egois hingga mempunyai sudut pandang yang berbeda” “Tapi kenapa tak ada berita kematiannya yang sampai di telingaku? Apa aku ini tak ada artinya? Aku hanya pergi sebentar fathur. Apa penyebab kematiannya?” “Kakaklah penyebab kematiannya, ini surat dari sean. Kakak baca sendiri saja! Aku harus pergi”
Teruntuk catrine… Bagaimana kabarmu sayang? Kuharap selalu baik-baik saja, karena apapun yang terjadi aku tak ingin kau terluka. Jangan pernah perlihatkan air matamu di hadapanku! Maaf jika aku membiarkanmu pergi, aku tak mau menahanmu hingga membuatmu terbebani. Biarlah hanya aku yang merasa sepi, hidupku mungkin takkan lama lagi! Sebenarnya setahun yang lalu, dokter memvonis umurku yang hanya mampu bertahan tiga bulan. Namun sampai saat ini aku masih hidup, itu karena kau yang terus menemaniku. Setiap kali sunrise menemaniku, di situlah aku berpikir bahwa hidupku masih panjang. Kalau kau tanya kenapa aku menyembunyikannya? itu karena aku tak mau menjual kesedihanku hanya agar kau tetap berada di sampingku. Bagiku, kau dan sunrise adalah karya tuhan yang paling indah. Sampai saat surat ini sampai di tanganmu, itu artinya aku telah tiada. Jangan sedih, karena akan selalu ada sunrise untukmu…
Sean…
Dan pada akhirnya, setiap hari si wanita itu selalu duduk di sisi bukit untuk melihat sunrise. Hanya untuk melihatnya!
“Dan akulah si wanita itu, wanita si penikmat sunrise”
Karawang, 2017
Cerpen Karangan: Dheea Octa Blog / Facebook: Octavhianie dheea