Mentari sore akan menyembunyikan keelokannya dibalik gunung nun jauh di sana. Namun aku tak berniat untuk bangkit dari dudukku yang sudah tiga jam lamanya di tepi Danau ini, ya Danau Toba. Semilir angin yang menyapu wajah, suara ombak yang menggulung, dan pasir putih yang mengkilau membuat tempat ini sangat nyaman, dan menjadi tempat favoritku disaat pikiranku butuh kesejukan. Kerinduan yang menyelimuti hati ini membuat aku mengingat dia lagi. Ya, dia yang dulu pernah jadi pelangi di hidupku. Matanya yang tajam, suaranya yang khas, senyum tipisnya, semuanya masih melekat diingatanku.
Awal pertemuan yang lucu. Saat itu aku baru masuk kuliah di salah satu kampus swasta di kota Medan. Telat bangun membuatku menjadi terlambat ke kampus, padahal hari ini adalah hari pertama kami masuk, dan aku belum tahu letak ruangan kelas kami. Dengan langkah yang cepat kunaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua untuk mencari ruang A1. Setelah puas berkeliling mencari, akhirnya dapat juga kelas yang aku cari. Saat masuk ruangan tiba-tiba mereka bersorak.
“Ciiiyyyyeeeeeehhh!!!”.
Dahiku berkerut dan menatap wajah sumringah seisi ruangan kelas dan Dosen yang ada di depan hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Aku semakin bingung dan aku melirik dari ujung kakiku apa ada yang salah dengan penampilanku, tapi sepertinya tak ada yang aneh dengan penampilanku.
“Ciyeh ada sepasang King and Quenn telat ke kampus… Hahahaha!”
Seorang cewek yang berkulit putih, rambutnya panjang, dan bermata sipit itu memecah kebingunganku. Aku pun memutar badan mencari sosok lain yang juga terlambat. Ternyata ada cowok di belakangku yang sedari tadi sudah berdiri dan aku tak menyadarinya. Pantas saja mereka bersorak seperti itu, batinku. Aku pun duduk di kursi kosong dan si cowok itu pun duduk tepat di samping kursiku yang juga kosong. Suasana kembali tertib dan pelajaran dilanjutkan.
Setelah pelajaran usai, kami pun keluar dar ruangan dengan tujuan masing-masing. Selagi aku masih membereskan buku kedalam tas, si cowok tadi mengulurkan tangan.
“Edo..” “Ehh iya, aku Donna..” sahutku sambil menyambut uluran tangannya. “Tadi kok telat juga?” “iya tadi telat bangun, kamu sendiri kenapa telat? “Ban Motor aku pecah di tengah jalan” “Ooowww…”
Kami pun ngobrol basa- basi, tanya sana-sini, biasalah perkenalan dengan teman baru. Dan teryata tempat tinggal kami berdekatan di daerah Pringgan. Hari-hari kami lewati dan tak jarang kami pulang dan pergi ke kampus bersama. Kami pun akrab, begitu juga teman-teman di Kampus. Wina adalah sahabat karibku di Kampus, iya Wina yang berkulit putih, rambut panjang, dan bermata sipit yang tempo hari menyebutku Quen yang telat ke kampus.
Karena adanya kecocokan antara aku dan Edo, kami pun berpacaran. Dan tak terasa sudah dua tahun berjalan hubungan kami tetap langgeng. Keluarga kami pun sudah mengetahui hubungan kami. Edo sudah beberapa kali ke rumah bertemu keluargaku di Silalahi, begitu juga aku sudah beberapa kali ke rumah Edo, di Tarutung. Tiga tahun sudah kami berpacaran. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Suka dan duka kami lewati bersama.
Suatu hari ketika kami duduk di perpustakaan, Edo yang duduk tepat di depanku memegang dahi dan mengeluh sakit. Lalu kuletakkan telapak tanganku di dahinya, tidak ada panas. Tiba-tiba keluar darah dari hidung Edo, dia mimisan. Aku panik dan langsung membawa Edo ke Klinik Kampus. Dokter yang saat itu bertugas, menyarankan Edo untuk cek darah. Tapi Edo menolak dan menganggap dia hanya kelelahan saja. Awalnya aku bersikeras agar Edo tetap cek darah, namun karena Edo meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja, aku pun tak memaksa lagi. Memang benar, besoknya di kampus Edo sudah kembali seperti biasa, bugar. Dan hari-hari kami tak ada yang berubah. Mungkin memang benar Edo hanya kelelahan waktu itu. Aku pun tak mengkhawatirkan kejadian itu lagi. Edo tetap seperti biasanya, ceria, humoris, dan tingkah lucunya yang lain. Aku sangat bahagia dan memilih selalu bertahan di hati yang sama. Dan yang membuatku tetap bertahan di hatinya adalah perhatiannya padaku dan dia penuh kasih sayang. Aku menjadi wanita paling bahagia karenanya. Dia tak hanya sekedar pacar, dia adalah sahabat, kakak laki-laki, bahkan terkadang jadi motivator.
Hari ini Edo tak masuk kuliah, dan tak ada kabar. Teman akrabnya Ridho, memberitahukan bahwa Edo pulang kampung karena ada keperluan mendadak. Tak biasanya Edo seperti ini. Apapun kegiatannya dia pasti beritahu aku, apalagi soal keluarga, kalau dia akan pulang kampung dia pasti kasih kabar paling tidak sehari sebelum pergi. Dan tak biasa juga Hp nya mati. Ada apa ini, hatiku tak karuan. Sudah 3 hari Edo tak ada kabar. Edo juga belum bisa dihubungi.
Di kampus, aku menceritakan kegundahanku pada Wina. Dia mendengarku dengan penuh perhatian. “Positive thingking aja Donna, mungkin dia mendadak perginya, dan Hpnya rusak gak bisa kasih kabar”, Wina mencoba menenangkanku “Tapi Win, Edo gak biasanya seperti ini..” “Kita tunggu kabar aja ya Don..” Wina memegang bahuku dan menatapku seakan meyakinkanku tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Dan aku sedikit lega.
Pulang dari kampus, aku melihat Edo berdiri di depan rumah Kosku. Aku menatapnya kesal bercampur khawatir. “kamu kok pulang kampung gak ngabarin aku dulu sih Do?” “Maaf sayang, aku buru-buru dan Hp aku jatuh dan rusak jadi aku gak bisa ngabarin, untungnya kemarin sebelum pergi Ridho main ke Kos aku jadi aku bisa titip pesan ke Ridho” “Kamu ada urusan apa ke Kampung sampai gak sempat ngabarin aku?” “Rentenir yang dulu aku ceritain ke kamu datang ke rumah dan mengancam Ibu agar mau menjual tanah sebelah rumah” “Oww.. trus gimana?” “Udah beres kok, tenang aja”
“Maaf ya sayang, aku khawatir, jadinya aku panik” “Gak papa kok sayang, aku ngerti, kamu pasti khawatir” “Lain kali jangan gitu ya..” “Iya janji..” sahut Edo sambil mengacak-pelan rambutku dan menarik hidungku. Senyumnya membuatku tenang….
Liburan semester telah tiba, waktunya untuk pulang ke kampung halaman. Satu sisi aku senang sekali akan bertemu dengan orangtua dan sanak-saudara di sana, namun disisi lain, aku sedih karena harus berjauhan dari Edo untuk beberapa minggu kedepan. Namun, karena sebelumnya sudah pernah berjauhan, karena setiap libur semester kami selalu begitu, jadi sudah biasa.
Selama di kampung kami berkomunikasi via suara, dan terkadang lewat media sosial yang kami punya. Kami menikmati rindu yang menyelimuti, menikmati jarak ini, karena kami tahu ini hanya sementara, sama seperti sebelumnya. Tuhan, jaga dia untukku kala ku sedang jauh, dan jagalah hati ini agar tidak ada yang tersakiti.
Tak terasa, liburan semesterpun berakhir. Aku pun kembali ke kota Medan untuk melanjutkan studiku yang kini sudah masuk semester tujuh. Sesampainya di Medan, aku mengabari Edo bahwa aku sudah sampai, namun tak ada baalsan dari Edo. Mungkin dia sedang sibuk packing, karena dia akan berangkat sore nanti. Sorenya kembali kukirim pesan singkat, namun tak kunjung ada balasannya. Mungkin Edo sedang dalam perjalanan, batinku. Malamnya aku mencoba menghubungi Edo, namun tak ada respon. Hatiku mulai resah. Berulang kali aku mencoba menghubungi Edo, namun hasilnya sama. Tak ada respon.
Sudah seminggu Edo tak ada kabar, dan Edo juga tidak hadir di Kampus. Teman-teman dekatnya tidak ada yang tahu kabar dari Edo. Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi keluarga Edo, namun keluarga Edo terkesan menyembunyikan sesuatu tentang Edo. Aku teringat soal Edo mimisan tempo hari. Apa Edo sakit? Dan keluarganya tak ingin aku tahu hal itu? Hati ini tak berhenti bertanya.
Aku menceritakannya pada Wina. Wina menyarankan agar aku tidak terlalu fokus memikirkan Edo, karena kuliah adalah nomor satu, apalagi sekarang kami sedang menyusun proposal. Mungkin Edo ada alasan yang kuat untuk tidak memberi kabar, dan mungkin Edo menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu semua. Aku pun menuruti saran dari sahabatku ini. Wina mengantarkan aku pulang, dan tak lupa mengingatkan aku agar tetap positive thingking. Sesampainya di rumah, ada amplop besar berwarna coklat tepat di mulut pintu rumah kos. Perlahan aku mengambil amplop dengan penuh tanda tanya. Kulihat di ujung kanan, ada alamat dan namaku tertera, yang artinya amplop itu ditujukan untukku. Di dalam kamar, aku membuka amplop itu sambil berdiri di samping tempat tidur. Di dalamnya ada dua amplop berwarna putih. Kubuka amplop pertama, yang berisi sepucuk surat. Ternyata surat itu dari Edo, betapa senangnya aku, akhirnya ada kabar dari Edo, tapi kok, surat??? Kok tumben-tumbennya, aku membatin. Kubaca surat itu, kata demi kata. Paragraf pertama membuat aku tak bisa menyembunyikan senyum karena isinya ungkapan Edo yang sangat bahagia selama menjalin hubungan denganku. Paragraf kedua, Edo meminta maaf jika selama ini belum menjadi kekasih yang sempurna. Aku mulai keheranan, ada apa sebenarnya. Pada paragraf ke tiga… hatiku seperti tersambar petir, dan aku tak sanggup menahan beban tubuh, yang membuat aku terjatuh di tepi tempat tidur. Air mataku tak dapat ku bendung, aku menangis sejadi-jadinya. Kuremas surat itu, dengan rasa tak percaya, aku kembali memandang surat itu, surat yang paragraf terakhirnya berisi bahwa Edo akan menikah dengan putri dari seorang rentenir yang memberikan pinjaman kepada orangtua Edo untuk biaya kuliah Edo. Orangtuanya diancam jika tak membayar utang saat itu juga, rumah mereka akan menjadi gantinya. Putri rentenir itu, sudah lama suka sama Edo, dan dia memanfaatkan keadaan itu. Dia meminta ayahnya untuk menikahkan Dia dan Edo sebagai bayaran utang keluarga Edo. Dan terpaksa Edo harus menerimanya karena tak ingin keluarganya hidup di rumah sewa.
Dengan mata yang penuh air mata, perlahan kuambil amplop kedua, yang berisi undangan pernikahan yang akan dilaksanakan minggu depan. Air mataku seperti air sungai yang deras. Ternyata ini alasan Edo tak membalas pesanku, tak mengangkat jika aku hubungi. Tak kuasa aku menahan tangis yang semakin menjadi-jadi. Dunia gelap ku rasa. Kuhubungi Wina, dan tak lama Wina sudah sampai di Kosku. Aku langsung memeluk Wina dengan undangan yang masih kugenggam. wina memelukku dan ikut menagis.
“Donna, sabar, jangan menyerah gini dong.. semua udah menjadi ketentuan yang di atas. Kita gak bisa menentang ataupun mengubah takdir Donn…” “Tapi aku sayang dia win, aku gak bisa lupain dia, aku gak bisa…” “aku tahu, pasti sulit untuk kamu melupakan dia, dan pasti sangat sulit bagi kamu untuk menerima kenyataan ini. Tapi inilah takdir hidup. Kita tidak tahu takdir kita seperti apa. Kita hanya manusia Don..”
Aku memeluk Wina semakin erat. Wina berusaha menenangkan aku. Wina memberikan aku gambaran kedepannya, Wina juga mengingatkan kuliah yang harus segera diselesaikan agar orangtua di kampung tak kecewa.
Sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak mengenang Edo, aku harus terima takdir hidup yang tak sesuai dengan keinginan. Aku harus fokus untuk hidupku sendiri. Beberapa bulan kemudian aku sudah terbiasa dengan hidupku sekarang. Dan aku pun sudah Wisuda. Kini aku bekerja di salah satu perusahaan di kota Semarang. Dua tahun kemudian aku pulang kampung untuk melepas rindu dengan keluarga.
“Donna!!!!!!” Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku, dan menoleh ke arah suara yang memanggilku. Ternyata Wina. “Wina….” Aku bangkit dan menyambut sahabatku dengan pelukan. “apa kabar Win?” “Baik, kamu apa kabar, sudah lama kita gak ketemu, kamu makin cantik aja ya Don” “Hahahaha, kamu juga. Gimana kerja di Kalimantan, seru?” “Ya begitu lah Don, kurang seru karna gak ada kamu.. jadinya aku kemari untuk melepas kangen hahaha” “Hahahaha… gombal ni yeee..”
“Oh iya, kamu gak galau lagi kan Don…?” “Hahaha… gak lah Win.. walau aku gak bisa lupain dia, tapi aku udah rela kok. Aku udah lapang dada. Dan menerima dengan hati yang luas, seluas Danau Toba.” “Hmm gitu dong… ini baru Donna…”
Kami pun berjalan menuju rumah. Wina pasti lelah. Ternyata di rumah ada tamu. Seorang wanita dan anak batita, mungkin masih berumur satu tahun. Wanita itu mengantarkan surat. Aku belum sempat menanyakan siapa dia, karena dia langsung berpamitan untuk pulang. Aku dan Wina membaca surat itu. Kami memandang satu sama lain. Kami seperti di alam mimpi. Wina memelukku yang kini sudah meneteskan air mata.
Dear Donna,
Aku tahu, kamu wanita hebat, wanita yang kuat. Sehingga aku memilih jalan ini. Aku tak ingin mengecewakanmu lebih dalam lagi nantinya. Sebelum semuanya terlambat, aku memilih jalan ini, untuk mengurangi luka hatimu nanti. Donna, aku tahu kamu kecewa dengan keputusanku tempo dulu. Tapi, seperti yang kamu tahu, aku melakukannya demi keluargaku. Namun, ada alasan yang lebih kuat lagi, yang belum kamu ketahui. Sebenarnya ada hal yang selama ini aku sembunyikan dari kamu Donna. Penyakit kanker darah yang aku sembunyikan semata-mata agar kamu tidak mengkhawatirkn diriku. Dan dokter telah memvonis bahwa hidupku tak lama lagi.
Bukan aku tak ingin memperjuangkan cinta kita, bukan pula aku tak ingin mewujudkan mimpi kita ke pelaminan. Namun aku takut kamu terluka karena kepergianku. Maaf jika aku menyembunyikan hal besar ini dari kamu. Semua itu karena aku sayang kamu. dan walaupun sudah menikah aku tetap sayang kamu, dan untuk tetap mengenang namamu, kuberikan nama Donna untuk si buah hatiku…
Jika surat ini sudah sampai kepadamu, itu artinya aku sudah tiada…
Edo,
Cerpen Karangan: Riris Jabat Blog / Facebook: Riris S SiJabat