Tut.. Tut… Tut… Suara alarm itu membangunkanku. Langkahku langsung mengarah ke persiapan sekolah. Pagi itu aku dijemput oleh kekasihku, bisa dibilang seseorang yang sangat kucintai setelah orangtuaku. Tak berapa lama, kekasihku sudah sampai di rumahku. Orangtuaku pun menyambutnya selama aku masih berias diri di kamar. Mengetahui itu, akupun segera turun. Aku duduk di meja makan, bersebelahan dengannya. “ayo dimakan sarapannya” ucap Mama. Kami pun menyantap roti bakar cokelat pagi itu. Dan tanpa terasa, aku dan kekasihku sudah sampai di sekolah.
“sini helm nya aku lepasin” ucapnya sambil melepaskan helmku. “agaknya kamu kurang sehat hari ini, kalau capek bilang ya” ucapnya. Jujur saja dia mengkhawatirkanku. Sebab, aku baru terkena penyakit jantung 2 tahun lalu. Dan itu menyebabkan aku sering lemas, terkadang untuk bernafas pun sulit. Tapi setelah kedatangan Bima. Semuanya berubah. Aku menjadi semangat, dan dukungan orangtua juga. Mereka bertiga adalah penyemangatku.
“mau aku gendong nggak?” tanya dia. “nggak, aku bisa jalan sendiri” ucapku. Kemudian dia berkata “kalau di asrama mau digendong?” godanya. “ya… Tapi kan banyak orang” ucapku yang sedikit menolak. Dia hanya tersipu malu dan berjalan mendahuluiku ke kelas.
Jam pelajaran dimulai, kami berdua berbeda kelas. Dan saat jam istirahat, dia selalu membelikanku susu strawberry kesukaanku, walaupun dia tau uang jajannya dalam sebulan hanya 100 ribu, itu pun dengan uang bensin.
Seusai sekolah, aku dan Bima pergi ke asrama. Lebih tepatnya asrama yang menjadi rumah Bima selama 3 tahun terakhir ini. Aku dipersilahkan masuk ke kamar Bima yang berisi sekitar 6 tempat tidur. “minum es jeruk mau? Aku buatkan” ucap Bima sambil mengelus rambutku. “iya, boleh. Esnya dikit aja ya” ucapku. Kemudian Bima keluar dari kamar, sambil menunggu, aku membuka jendela dan melihat beberapa teman Bima sedang berlatih tinju. Mereka melihatku dari sana. “hai!! Nia, udah pulang? Nanti suruh Bima ke sini ya!?” teriak Candra. Aku menggangguk “iya”
Tak lama, Bima sudah di belakangku. “liatin apa?” ucapnya sambil meletakkan es jeruk di meja sebelahku. “liat temen-temen kamu, kamu lama sih” ucapku. Dan tidak tau kenapa. Posisiku sekarang memangku kepala Bima sambil dia tiduran. Tanganku dituntun untuk mengelus rambutnya, mengelus dahinya.
Kemudian teman-teman Bima masuk ke kamar, mereka melihat kami. “Nia, deketan sini” ucapnya, tangannya membelai kedua pipiku dengan lembut. “emangnya kenapa?” tanyaku dengan nada sendu. “deketan lagi” ucapnya. Kemudian aku menundukan wajahku, tepat di atas wajahnya. Saling menatap. “pengen dicium?” ucapku. “iya” balasnya, aku langsung tersipu malu. “tapi kan di sini banyak teman-teman kamu loh. Gak mau keluar dulu atau gimana?” tanyaku. “ya udah, kita keluar dulu. Ayo” ucapnya sambil menggandeng tanganku.
Dan kami berhenti di sebuah pohon. Aku bersandar di pohon itu, tangannya sekarang ada di pinggangku. “Nia…” ucapnya dengan panjang. “aku mau kita terus seperti ini. Meskipun aku tau kamu lemah. Tapi, aku merasa sangat tenang bersamamu dan seolah-olah. Meskipun aku terkena pukulan masalah, semua itu terasa ringan karnamu” kemudian Bima mendekatiku dengan tatapan tajam. Hidungnya pun sudah menempel di hidungku. Tidak sampai berciuman.
Beberapa bulan berlalu. Kini aku dan Bima sudah lulus sekolah dan bekerja, kemudian menikah. Dari pernikahanku, kini aku tengah mengandung anak dari Bima. Tapi saat aku melahirkan, Bima sedang mengikuti turnamen tinju nasional. Aku dalam kondisi tidak sadar saat itu, di rumah sakit. Pendarahan, serangan jantung, dan sesak napas sudah kurasakan. Bima pun sudah tau keadaanku. Dan mungkin saat ia bertarung, ia melarikan diri dari turnamen itu dan menyusulku ke rumah sakit. Tapi, kekecewaan dan bahagia beradu menjadi satu. Aku meninggal ketika aku menjalani operasi.
Sebelum itu. Ada kisah yang sangat indah. Sejak aku menikah dengan Bima. Kami berdua tinggal di kontrakan kecil, di depan rumah kami, kami berdagang sate ayam setiap harinya. Dengan kasih sayang, bahkan Bima tidak mengizinkanku untuk mengerjakan yang berat. Dan Bima lah yang selalu mencuci dan menyetrika pakaian. Tugasku hanya memasak. Karena Bima takut kalau aku lelah, serangan jantung akan menimpaku. Dia selalu romantis terhadapku, ia tidak pernah menunjukan rasa sedihnya. Tapi saat di rumah sakit itu, Bima yang semula pria yang gagah berubah menjadi seperti seorang wanita. Ia menangis. Menangis karena telah kehilanganku. Untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Annisa R Rakhmawati Blog / Facebook: Annisa R Rakhmawati Siswi kelas XI jurusan Usaha Perjalanan Wisata dari SMK Negeri 10 Surabaya. Mau kenal lebih dekat?? Aku kasih sosmedku yaa Fb: Annisa R Rakhmawati Ig: annisa_rakhma_wati