Kupandang langit penuh kabut yang menghantarkanku dalam kegelisahan. Bertanya pada embun, mengapa dia berubah?
Gadis itu melangkahkan kakinya tergesa-gesa ia berusaha mengejar seseorang yang berada jauh di depannya. Dengan langkah setengah berlari ia berusaha untuk menggapai pundak pemuda itu, ia mengulurkan tangan kanannya, sambil meneriaki nama pemuda itu. Tapi nihil, pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan panggilannya, panggilannya itu seakan tidak penting. Langkah gadis itu terhenti saat tiba-tiba pemuda yang sedari tadi dikejarnya berhenti.
“Mau apa kau? Kenapa kau mengikutiku sampai sini?” tanya pemuda itu tanpa menoleh ke belakang.
Gadis bernama Lyssa itu menatap sendu punggung pemuda bernama Damar, pemuda yang 7 bulan yang lalu resmi menjadi kekasihnya. Pemuda yang dulu selalu ada bersamanya, tapi tidak dengan sekarang. Tepatnya 2 bulan terakhir ini.
“Dam, sampai kapan kita seperti ini? Kamu ada masalah apa sih sebenarnya? Kalau kamu ada masalah cerita ke aku, siapa tahu aku bisa bantu” ucap Lyssa sambil bertanya dalam hati apa gerangan yang terjadi pada kekasihnya itu? Apa ada masalah besar yang menimpa pemuda itu? Entah, Lyssa hanya bisa menerka tak menentu.
“Tau apa kau tentang masalahku? Memang kau siapa sehingga aku harus membagi setiap keluh kesahku denganmu? Dan apa kau bisa membantuku keluar dari masalahku ini? Kurasa jawabannya adalah tidak” ucap Damar dingin, bahkan ia tak menoleh sedikit pun ke arah Lyssa.
Lyssa membuang napas perlahan, sebenarnya apa salahnya? Apa dia secara tak sengaja sudah menyakiti Damar? Sehingga pemuda itu enggan menoleh ke arahnya sebentar saja, bahkan pemuda itu berbicara dengan nada yang dingin.
“Aku memang tidak tahu apa masalahmu, tapi setidaknya ceritalah denganku. Bagilah kesedihanmu itu denganku, karena kita sepasang kekasih” ucap Lyssa. Sekuat mungkin dia bertahan, melawan rasa sakit yang sedari tadi melanda hatinya. Berusaha tetap tegar menerima semua ucapan dingin Damar.
“Kekasih? Kurasa itu dulu tidak dengan sekarang” bagai dihantam oleh pedang tajam perkataan Damar barusan membuat hati Lyssa terluka hebat. Ia menggeleng lemah.
“Tapi kenapa Dam?” tanya Lyssa lirih, pelupuk matanya sudah tergenang air mata yang siap jatuh kapan saja.
“Karena aku… Bosan denganmu” jawab Damar tanpa beban. Dia meletakkan tangan kirinya ke dalam saku celana kemudian berlenggang pergi meninggalkan Lyssa tanpa melihat sedikit pun ke arah Lyssa.
Lyssa tersenyum pedih menatap punggung Damar yang mulai menjauh dari pandangannya, seburuk itukah dirinya? Bahkan sampai percakapan terakhir mereka berdua, pemuda itu enggan menengok ke arahnya sedetik saja.
Lyssa mengusap air matanya yang entah jatuh sejak kapan. Ia hanya bisa berdoa dalam hati semoga semuanya cepat selesai, ia berharap Damar yang dulu kembali.
Daun bergoyang tertiup angin, mengombang-ambingkan rasa gundah. Dinding-dinding hampa menyerukan namamu. Kembalilah.
Lyssa menutup laptopnya, sudah seminggu ini Damar tidak memberinya kabar. Apa hubungan mereka memang benar-benar sudah berakhir? Lyssa menyenderkan kepalanya ke tembok kamar, sekali lagi ia mengecek ponselnya siapa tahu Damar tiba-tiba menghubunginya tapi nihil, tak ada satupun pesan dari Damar untuknya. Lyssa termenung menatap selembar foto yang entah sejak kapan ada digenggamannya, itu adalah foto Damar yang ia ambil secara diam-diam. Lyssa tersenyum miris menatap foto tersebut, hatinya tersayat, air matanya meruntuhkan pertahanannya. Buliran mutiara jatuh semakin deras membasahi kedua pipinya. Mungkin dengan air mata semua rasa perihnya bisa terhapus. Kini dia beralih kepada jam weker berbentuk jamur yang terletak diatas laci. Pukul 14:00 sudah saatnya dia minum obat, sejujurnya ia sudah muak harus meminum obat setiap hari, tapi mau gimana lagi. Lyssa mengambil tabung kecil yang berisi tablet, juga beberapa pil yang terbungkus kertas berwarna silver. Ia meminum obatnya sambil mengernyit dengan mata tertutup. Kenapa obat ini rasanya tak berubah? Tetap pahit dan semakin hari semakin pahit. Sepahit kehidupannya sekarang.
Sementara itu di luar sana seorang wanita paruh baya menatap lirih ke dalam kamar Lyssa yang tidak tertutup, dia adalah mama Lyssa. Mama Lyssa tersenyum menatap anaknya yang mulai beranjak dewasa, anak gadis sematawayang dan satu-satunya keluarga yang masih dia punya.
‘semoga kau sehat selalu’ batin mama Lyssa.
Hadirlah wahai angin Menyapa langit yang bergemuruh Agar cintaku terus terpaut Kuharap sedikit waktumu.
Damar membuka ponselnya yang tadi sempat berdering dia memutar bola matanya malas, mau apa lagi gadis itu? Pikirnya. Gadis yang dimaksud adalah Lyssa mantan pacarnya yang dia putuskan secara sepihak.
Please, temuin aku di danau sekarang juga. Aku mohon Dam.
Damar berdecak malas setelah dia membaca pesan singkat dari Lyssa. Tapi Damar berpikir tidak ada salahnya dia menemui gadis itu untuk yang terakhir kalinya. Damar langsung beranjak dari kasurnya dia menyambar kunci motor yang ada di atas laci meja dan bergegas menuju danau.
10 menit kemudian Damar telah sampai di danau. Suasana danau sore ini berbeda dari biasanya, sore ini danau terlihat lebih indah dengan airnya yang bening dan tenang juga beberapa pengunjung yang ada di sini. Cukup ramai tapi tidak terlalu sesak. Damar melangkahkan kakinya mendekati seorang gadis yang tengah asyik melempari kerikil ke dalam danau.
“Apa aku lama?” tanya Damar setelah mengambil duduk disamping Lyssa. “tidak” jawab Lyssa singkat.
Setelah itu hening menyelimuti mereka, tak ada satupun pembicaraan yang terdengar. Hanya suara angin dan tawa anak-anak yang kebetulan bermain di sekitar mereka berdua. Lyssa masih dengan kebisuannya dia tak berbicara sedikit pun pada Damar, dia masih setia menatap danau yang tenang. Sedangkan Damar mulai bosan karena sedari tadi dia menganggur hanya mencabuti rumput liar di sekelilingnya.
“Sebenarnya apa yang kau mau? Kenapa kau menyuruhku kemari?” tanya Damar memecah keheningan. “Sssttt…. Diam jangan berkata satu kata pun” bukannya menjawab pertanyaan Damar, Lyssa justru menyuruh Damar untuk diam.
Mendengar itu Damar menjadi marah, untuk apa tadi dia kemari jika ujungnya dia hanya disuruh diam seperti patung. Tidak ada guananya. Damar menyesal menemui Lyssa disini. “Apa kau mempermainkanku? Hemm? Kau membuang waktuku tidak!!” marah Damar.
Damar melangkah meninggalkan Lyssa sendiri di sana. Tak ada gunanya dia di sini jika hanya disuruh untuk diam saja. Memangnya dia patung apa?
“Sunsite” langkah Damar terhenti saat dia mendengar Lyssa berbicara. “Kau ingat ini Dam? Dulu kita selalu menikmati senja bersama disini” ucap Lyssa, dia masih ingat masa lalunya yang indah bersama Damar. Senja, adalah hari favorit mereka berdua saat masih bersama dulu.
“Dam, boleh aku meminta sesuatu. Ah aku janji ini permintaan terakhirku” ucap Lyssa. “Apa?” tanya Damar. “Duduk di sampingku, dan izinkan aku untuk bersender di pundakmu hingga senja bergantikan dengan malam” ucap Lyssa.
Tanpa banyak berkata Damar langsung duduk di samping Lyssa dan Lyssa langsung saja menyenderkan kepalanya di pundak Damar.
“Kau ingat tidak kau pernah berkata padaku bahwa senja bukanlah penutup melainkan pembuka lembaran baru. Kau selalu bilang bahwa senja adalah dimana dimulainya kisah yang baru” ucap Lyssa. “Ya itu benar senja bukanlah akhir melainkan awal dari kisah yang baru. Maafkan aku saat itu aku memutuskanmu secara sepihak, dan aku juga tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Maaf, tak ada lagi rasa untukmu yang kurasakan seperti dulu. Aku tak mau memaksakan cinta ini, aku tak ingin kau tersakiti oleh perasaanku suatu hari nanti” ucap Damar, ada rasa lega saat dia mengatakan kata ‘maaf’ pada Lyssa setidaknya dia tidak menyimpan dendam pada gadis itu.
“Ya, aku tahu dan aku juga berterimakasih karena kau mau meluangkan sedikit waktumu untukku. Dan kini senjaku telah menjemputku. Selamat tinggal Damar, hari baru akan tiba sebentar lagi” ucap Lyssa kemudian matanya perlahan menutup, bukan untuk sementara tapi untuk selamanya.
Air mata Damar runtuh membasahi kedua pipinya. Sedih itu yang Damar rasa saat dia kehilangan Lyssa untuk selamanya. Selamat jalan Lyssa doaku menyertaimu.
Cerpen Karangan: Nur Faisha Blog / Facebook: Nur Faisha