Aku adalah seorang guru. Timbul keanehan dalam benakku setelah berkata begitu. Butuh begitu banyak alasan untuk meyakinkan bahwa aku benar seorang guru. Jujur, aku bukan guru ‘beneran’. Aku memang benar-benar mengajar. Tapi aku malu bila harus mengakui bahwa aku adalah guru. Sebab, jadi guru itu tanggung jawabnya besar. Harus jadi teladan dan panutan.
Semua berawal sebulan yang lalu, ketika guru lesku menawariku bekerja. “Kamu mau ngajar nggak?” Aku tak yakin pada apa yang kudengar. “Ngajar, Sir?” Begitu kataku memintanya mengulang ucapannya. “Iya. Ngajar di sini. Mau ya? Nggak susah kok.” “Tapi takut, Sir.” “Kok takut? Ya udah, kamu pikirkan dulu. Izin juga sama orangtua kamu.”
Pulang, aku langsung menemui mamaku. “Ma, aku disuruh ngajar. Boleh nggak, Ma?” “Ngajar? Gimana ceritanya?” Aku menceritakan padanya bagaimana guruku bicara padaku tadi. Persis sama.
“Terserah kamu. Kalau kamu mau, kamu ambil. Tapi kamu juga harus bisa bagi waktu untuk sekolah.” Seperti biasa, jawaban mama tidak pernah memberi kepastian. Keputusan selalu diserahkan padaku. Ada baiknya juga sih, aku jadi bebas memilih dan punya tanggung jawab atas pilihanku. Tapi, aku jadi bingung karena tidak pernah dapat saran untuk memilih.
Esoknya, dia bertanya lagi, “Gimana? Kamu siap ngajar?” Aku bingung karena ditembak dengan pertanyaan langsung begitu. “Sa… Saya coba, Sir.” Akhirnya, dua kata itulah yang mengantarkanku menjadi guru gadungan. Bukan guru. Lebih tepatnya, pengajar.
Hari ini adalah hari pertamaku mengajar setelah sekian banyak hal kuurus. Waktu mengajar, penerimaan kerja, dan pembahasan gaji. Saat itu, aku belum memikirkan gaji. Diterima mengajar pun sudah menjadi satu kesenangan tersendiri bagiku.
Aku kebagian jatah mengajar di malam hari. Awalnya, aku takut akan keteteran. Tapi, aku akan coba jalani saja dulu. Aku siap mengajar! Begitu kataku membohongi diriku. Kulirik berkali-kali jam dinding yang terus berdetak. 10 menit lagi, 8 menit lagi, 5 menit lagi… Bukannya makin yakin, aku malah makin ragu. Tapi tetap kucoba meyakinkan diriku.
Bel berbunyi. Bel yang akan membawaku menuju pintu neraka, yang di dalamnya ada banyak iblis kecil menantiku. Tidak! Itu pintu menuju surga, di mana di dalamnya banyak malaikat kecil. Batinku terus bertengkar, membuat perasaanku makin tak karuan. Ah, apapun itu, ini adalah waktuku masuk kelas.
Aku melangkah perlahan menuju kelas. Langkahku berat. Aku masuk lewat pintu di belakang kelas. Murid-murid itu berbalik, menatap padaku yang berjalan mendekat dengan tatapan penuh tanya. Aku mengucapkan salam. “Good evening!” Aku gagal di kalimat pertama, masih gugup. “Good evening, Miss!” Mereka menjawabku, masih penuh tanya. Ah, aku jadi malu. Baru kali ini aku dipanggil dengan sapaan begitu. Aku bertekad, aku harus jadi guru yang menyenangkan agar mereka bisa belajar dengan senang. Aku berpikir untuk meniru cara mengajar guruku yang menyenangkan di sekolah. Tapi kuurungkan niatku. Mungkin aku harus punya cara sendiri untuk mengajar.
“Today, we will study about present tense. Open your book on page 12!” Berhasil! Gugupku sudah hilang.
Akhirnya, waktu satu setengah jam kuhabiskan bersama mereka. Bersama tawa mereka, kepolosan mereka, kehebohan mereka, keceriaan mereka dan segala hal yang coba mereka pamerkan padaku. Ada yang pernah bilang padaku, “Biasa. Kalo sama guru baru mereka memang suka cari perhatian.” Ah, tapi aku tak peduli. Bagiku, mereka menyenangkan dan aku suka mereka. Aku berharap pula, mereka juga bisa menyukaiku.
“Gilang, coba kamu baca nomor 1.” “Iya, Miss.” Murid yang kupanggil Gilang maju ke depan kelas bersama bukunya. “It is a book. The book is not thin. It is a thick book. It is a glass.” “Gilang, Miss bilang nomor 1.” “Hahaha…” Tawa keras menggelak memenuhi kelas. Gilang hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala. Bagiku, Gilang adalah murid yang spesial. Aku tahu, aku dilarang memiliki murid kesayangan karena itu akan merusak hubunganku dengan murid lain. Tapi mau bagaimana lagi, aku terlanjur menyukainya.
Tak ada yang berbeda dari Gilang dibandingkan teman-temannya. Murid kelas 3 SD, bertubuh sedang, berambut ikal. Senyum yang manis, wajah yang menarik, dan penuh semangat. Semua tampak sama seperti murid lain. Hanya saja, sejak kejadian itu aku terpaksa bertindak berbeda. Seorang ibu, kutebak usianya masih 40 awal, datang kepadaku. “Bu, Ibu yang mengajar anak saya ya?” Ia agak sedikit ragu saat memanggilku. Mungkin baginya aku terlalu muda untuk dipanggil ibu. “Panggil mbak saja, Bu. Maaf, nama anak ibu siapa, Bu?” “Namanya Gilang Christoforus.” “Oh, iya, Bu. Ada apa ya, Bu?” Biarpun aku murid SMA, aku harus tetap bersikap seperti guru, apalagi dalam keadaan begini. “Begini, Mbak, boleh saya minta tolong?” Aku agak bingung akan pembicaraan yang lambat ini. “Minta tolong apa ya, Bu? Saya akan berusaha sebisa saya.” “Soal Gilang.” Sudah kuduga, mungkin ibu ini akan minta aku untuk lebih memperhatikan anaknya atau hal lain yang sejenis. Tapi, ibu itu tak langsung bicara. Sempat ia menutup mulutnya demi mengurungkan niatnya bicara. Aku jadi ragu akan dugaanku. Kucoba tetap diam menunggu ibu itu. “Gilang… Hemofilia.” Mataku melotot kaget mendengar perkataannya. Mulutku terbuka, tapi tak satu kata pun bisa kuucapkan. Ada sesuatu yang menyesak tenggorokanku. Aku pernah dengar penyakit itu. Penyakit turunan yang cukup menyulitkan penderitanya. “Mbak, saya mohon. Bantu saya jaga dia. Setidaknya saat dia les.” Aku masih bingung. “A… Apa yang bisa saya lakukan, Bu?” “Tolong, jangan sampai dia terluka. Jangan sampai dia berkelahi atau dipukul temannya.” “Bu, saya rasa itu adalah tanggung jawab yang terlalu besar. Saya akan berusaha semampu saya. Tapi saya juga nggak bisa sepenuhnya menjaga anak ibu.” “Terima kasih, Mbak. Saya juga tahu diri. Sebenarnya, saya tidak begitu rela anak saya sekolah dan les di luar. Tapi, saya juga nggak mau kalau anak saya jadi kesepian dan nggak punya teman. Saya juga ingin dia sama seperti anak lainnya.” “Iya, Bu. Saya ngerti perasaan ibu. Saya akan berusaha menjaganya.” “Baik, Mbak. Itu saja yang ingin saya katakan. Terima kasih atas waktunya. Saya permisi pulang ya, Mbak.” “Iya, Bu, mari saya antar ke depan.”
Kubuka buku cetak Biologiku. Sistem peredaran darah, itulah bab yang kucari. Aku mencari penjelasan tentang hemofilia. Setelah menemukannya, aku membacanya berulang-ulang. Aku begitu penasaran akan penyakit itu. Di samping itu, aku juga masih tak percaya kalau dia mengidap penyakit itu. Dari gelagat tubuhnya, tak tampak sedikitpun bahwa ia adalah pengidap hemofilia. Sungguh… Sejak malam itu, aku berjanji akan selalu menjaganya. Pasti.
“Good morning, Miss!” Aku kaget setengah mati mendengar sapaan itu. Bagaimana tidak, aku ada di sekolah dan aku mendengar sapaan itu. Kubalikkan badan. Givan! Kulihat dia sedang menopang dagunya di meja di belakangku. “Lo? Apa yang lo tau?” Aku bertanya dengan suara kecil, berharap dia juga mengikutinya. “Kurang jelas, ya? Good morning, Miss!” Kali ini lebih keras. Kuletakkan ujung telunjukku di depan bibir pertanda menyuruhnya diam. Beruntung yang lain tidak begitu memperhatikan kami. “Lo tau dari mana?” Jujur, aku belum pernah cerita pada teman-temanku. “Lihat sendiri. Kemarin lo keluar dari tempat itu pakai kemeja biru, rok hitam, dan sepatu coklat. Betul, kan?” Ternyata dia memperhatikan sampai segitunya. Aku pasrah. “Udah, diam! Awas kalo lo ngomong sama yang lain.” Aku mengancamnya. Memang sih, agak sadis. “Emm, nggak janji ya.” “Dasar! Lo ngapain di situ? Jemput adek lo? Adek lo les di situ?” “Iya banget. Bahkan, lo itu guru adek gue.” “Serius? Siapa adek lo?” “Mau tau aja.” “Oke, gue bisa cari tau sendiri.” “Nggak bakal bisa. Gue nggak pernah jemput adek gue kok.” “Gue kan bisa tanya langsung ke anak-anak.” “Eits, gue kan juga bisa ngomong langsung ke adek gue untuk diam aja.” Ah, aku kesal dibuatnya. Apa susahnya sih menyebut satu nama saja. Tiba-tiba muncul satu ide di pikiranku. Aku tersenyum, namun tetap diam. Sebab, bila aku mengungkapkan ideku lagi maka Givan akan dengan segera menggagalkannya.
“Good evening!” Malam ini, akan kucoba rencanaku. Semoga saja ini berhasil. “Anak-anak, keluarkan selembar kertas. Kalian kan ujian, Miss butuh identitas kalian yang asli. Nggak boleh asal. Paham?” Langkah pertama selesai. Tak ada yang curiga. Kusuruh mereka menulis nama, sekolah, alamat rumah, dan nomor telepon. Sebenarnya aku tak butuh informasi sebanyak itu. Aku hanya butuh alamat rumahnya. Namun, aku minta mereka tulis semua agar mereka tak curiga.
Setelah semua selesai, kuminta mereka mengumpulkan kertas itu. Aku bagikan kertas ujian dan kubiarkan mereka asyik sendiri dengan soal-soalnya. Sementara aku, kubaca kertas-kertas yang baru mereka kumpulkan dengan penuh semangat. Aku hanya melihat bagian alamat. Sampai akhirnya aku temukan tulisan itu. Jln. P. Diponegoro No. 73. Kupicingkan mataku sekali lagi untuk memastikan apa yang kubaca. Tepat sekali! Ini alamat rumah Givan. Aku tahu itu dari data yang ada di wali kelasku. Aku pernah tak sengaja membacanya dan aku masih ingat itu. Mataku kunaikkan sedikit ke bagian nama. Tertulis: Gilang Christoforus. Ah, yang benar saja. Givan kakaknya Gilang? Benar kata pepatah, dunia tidak selebar daun kelor. Besok, akan kupamerkan pada Givan apa yang kudapat hari ini.
“Van, Gilang Christoforus. Itu adek lo, kan?” “Kok lo bisa tau?” Givan terlihat bingung. “Bisa, dong. Kemaren, gue suruh mereka nulis alamat rumah. Gue bilang aja untuk keperluan ujian, biar nggak ada yang bohong. Eh, bener aja, berhasil!” Aku memamerkan senyum padanya yang terlihat keki setengah mati. “Emang lo tau alamat gue?” “Tau dong!” ungkapku penuh rasa bangga. “Eh, nanti malam ngajar?” “Enggak. Kenapa?” “Kita jalan yuk!”
Aku tak begitu mengerti mengapa Givan mengajakku. Tapi, yang bisa kurasakan, aku senang. Aku tak terlalu memusingkan pakaian. Givan bilang, kami hanya akan pergi makan di emperan. Alhasil, aku hanya memakai kaus putih dan celana jeans.
Kutunggu ia di teras rumahku. Sepuluh menit menunggu, kudengar raungan motor mendekat ke arah rumahku. Aku tidak beranjak dari dudukku, sampai motor itu berhenti persis di depan rumahku. Pengemudi motor itu membunyikan klakson sambil membuka kaca helmnya. Itu Givan. Aku berlari ke gerbang setelah pamit pada orang rumah. Aku naik ke boncengannya.
“Mau makan apa?” Dia bertanya padaku girang. “Apa aja. Yang penting enak.” Kalau aku yang diberi jawaban begitu, aku pasti akan kebingungan. Tapi dia tidak. Langsung dipacunya motornya ke sebuah warung makan emperan. Warung Makan Pak Saleh, begitu kata spanduknya.
Setelah memesan makanan, kami mencari tempat duduk paling pojok. Sambil menunggu pesanan, kami mengobrol banyak. Lebih tepatnya, dia yang menanyaiku banyak hal. “Boleh tanya sesuatu?” “Apa?” “Ee, tapi jangan diketawain ya!” “Iya, apa?” “Lo suka sama… Lo suka sama Gilang?” Aku tertawa dalam hati. Pertanyaan yang lucu. “Iya, bagi gue, adek lo itu lucu. Gue suka sama adek lo, kayak gue suka sama anak-anak lainnya.” “Kalo gue?” “Lo juga lucu, apalagi ditambah pertanyaan konyol lo itu.” “Bukan itu.” “Apa?” Aku tak terlalu mengerti maksudnya. “Maksud gue, sama gue, lo suka nggak?” Apa? Pertanyaan macam apa itu? Aku berpikir sejenak, aku tidak sedang bermimpi kan? “Hei, lo denger gue, kan?” Dia menyadarkan aku dari lamunanku sambil mengibaskan tangannya ke mukaku. “Harus ya?” “Ya kalo lo nggak mau jawab…” “Bukan gitu. Harus ya gue yang bilang duluan?” “Oh… Oke, gue ngaku. Gue suka sama lo.” Kata-kata itu meremukkan hatiku. Aku tak merasakan degupan jantungku. “Hei, jadi, lo suka sama gue nggak?” Aku bingung memilih jawaban. “Kalo ditanya soal suka apa nggak, gue nggak suka sama lo. Tapi, gue kagum sama lo.” Begitu akhirnya kata-kata yang kupilih. “Jadi pacar gue ya?” Dia sok enak sekali sih! Aku kan jadi bingung, dia serius apa nggak. “Miss, would you be my girl?” Kali ini, dia berkata dengan sangat serius, membuatku tak ragu lagi. Pasrah, kuanggukkan kepalaku. Ia tersenyum melihat anggukanku.
Aku tak menyangka semua terjadi secepat itu. Usai makan malam itu, kami berjalan keliling taman. Dan itu terjadi, begitu cepat. Sebuah motor melaju cepat hendak menabrak kami, tepatnya aku. Tapi dia mendorongku dan menggantikan posisiku. Dia yang tertabrak. Aku kaget setengah mati melihat kejadian itu. Givan yang kukagumi, sekarang tergolek lemah tak berdaya, penuh darah. Seketika, terbersit dalam benakku satu pemikiran. “Van, lo… Lo hemofil?” Givan yang masih setengah sadar mengangguk pasrah. Ah, dia bodoh sekali sih. Tau gitu, aku saja yang celaka. Kan aku nggak hemofil.
“Cepat bawa ke rumah sakit! Tolong! Dia hemofilia. Dia harus cepat dibawa ke rumah sakit.” Aku berteriak sejadi-jadinya. Beruntung ada seorang bapak yang bersedia mengantarkan kami ke rumah sakit. Kupeluk tubuhnya. Kutahan lukanya, tapi tak berefek. Darahnya terus saja mengucur. Kulihat bibirnya memucat. Tak dapat lagi kutahan air mataku. “Van, tahan ya. Gue yakin lo kuat.” “Nggak. Udah nggak mungkin lagi. Tubuh gue rasanya udah melayang.” “Lo nggak boleh pergi. Lo tega sama gue?” Dia tertawa kecil. “Makasih, udah mau jadi pacar gue, biarpun hanya untuk satu jam. Bagi gue, ini satu jam terindah dalam hidup gue. Jagain adek gue ya. Gue nggak mau dia mati dengan cara yang sama kayak gue, keabisan darah.” Aku terus menangis, bahkan lebih keras. “Aaaa… I love you, Miss…” Itu kata terakhir yang diucapkannya dalam hembusan napas terakhirnya. Darahnya benar-benar habis. Aku sedih, sangat sedih. Tapi yang terjadi tak akan bisa kuulang.
Aku hanya ingat pesannya, jaga Gilang. Aku berjanji pada diriku sendiri, pada Givan, dan pada Tuhan, aku akan menjaga Gilang lebih dari aku menjaga diriku sendiri. Akan kukorbankan segalanya untuk anak itu. Karena lewat Gilang, aku bisa melihat Givan.
Aku berkata pada mayat Givan, “Van, Gilang itu miniatur lo. Gue yakin, ketika dia besar, dia akan jadi semengagumkan lo. I love you too, Van.”
Cerpen Karangan: Florince Blog: semutlantai.blogspot.com