Ketika pagi datang mempertemukan pada sosok lelaki yang dulu sempat berencana merajut masa depan. Kita berada di sebuh cafetaria di pinggiran kota kecil menikmati secangkir kopi, menunggu senja.
“Kita akan melalui semuanya bersama.” kau berjanji dengan begitu tulus. mengenggam tanganku, dan aku menerima dengan senang hati.
“Kau janji?” aku ingin memastikan lagi ragamu tak akan beranjak walau hanya sejengkal. Aku terlalu mencintaimu.
“Yah sayang.. Kau tahu cita-citaku sederhana, yaitu menikmati kopi, menyaksikan senja dan berbincang rencana masa tua kita bersama.” aku tersenyum bahagia untuknya. Dia mencium lembut pipiku sebagai tanda cintanya.
“Demi yang menciptakan mati dan hidup. Demi kopi dan kamu. Cintaku setulus angin yang menjadi nafasmu dan kopi sebagai saksinya..” aku terharu atas ketulusanmu. Aku tidak pernah salah. Kau memang sangat mencintaiku.. Hal sesederhana ini..
“sayaang, aku ingin menghabiskan sisa malam-malam panjang kita suatu saat nanti. Menghirup kopi hingga tersisa ampas. Berbagi cerita, mimpi, dan harapan kita…” aku menguraikan mimpiku yang membuncah, kutawarkan sejuta cinta yang berapi-api. Kamu mencubit pipi lalu menuntunku memandang rintik hujan yang masih setia, menimbulkan titik-titik embun di dinding kaca kafetaria. Ingin kutuliskan nama kita di sana. Satu hal yang kuyakini kau mencintaiku sepenuhnya. Bolehkah aku mengatakan aku wanita yang paling beruntung?
Kulihat kau menyeduh kopimu, menghirup aromanya perlahan dan menyesapnya sambil memejamkan matamu. Apakah senikmat itu kopimu sayang? Aku menirukannya dan kutemukan kedamaian kecil dalam aroma secangkir kopi hitamku. Menikmati kopi tak ubah menikmati kehidupan, selalu ingin nyaman dalam setiap seruputan, selalu ingin bahagia disetiap takdir. Hujan, kopi dan kau kekasih. Apa lagi yang kucari. Moment terindah melihatmu terpejam di ujung cangkirku. Kehadiranmu adalah bagian dari kelahiran dan aku ingin menikmatimu layaknya kopi dengan rasa paling manis. Terimakasih Ya Tuhan kau ciptakan kopi dan lelaki ini.
“TAPI KENAPAAAA???” Badai yang tak pernah sedikitpun terlintas menerjang pada akhirnya. Aku mengutuki diriku. Apa yang salah dengan semua ini. Aku mencintamu sayang, tidakkah kau paham?
“Semua mungkin sudah selesai. Tidak ada lagi yang diperjuangkan.” kata-katamu adalah petir. Aku berusaha menormalkan hatiku yang berkecamuk. Berharap aku tuli. Aku linglung. Aku berteriak marah pada hatiku “APA AKU SANGGUP MELIHATMU PERGI”..
“Setidaknya beri aku alasan, lalu apa arti semua ini? semua yang kita lewati..” airmataku jatuh luruh semua. Tangaku bergetar, bibirku kelu. Bumi telan aku sekarang..
“Kamu akan lebih baik tanpaku..”
TIDAK. Akan lebih baik jika kau di sini.
“JIKA AKU MEMOHON MASIHKAH KAU INGIN TINGGAAALLL..??” aku berteriak marah dan putus asa padamu. Aku menjatuhkan harga diriku untuk sesuatu yang kubutuhkan saat tak punya pilihan lain. Aku tak peduli lagi harga diri yang kuingin kau tetap di sini.
“Maaf..” itu adalah kata terakhirmu sebelum kau balikkan badan menjadi orang lain untukku. Dimana akan kutagih janji yang pernah kau bicarakan. Sakit yang kau torehkan lebih dari apapun yang menyakitkan. kekecewaan ini telah mencapai puncaknya, hingga tak lagi tahu harus berkata apa. Mataku sayu memahami yang sedang terjadi.
Aku menutup wajahku frustasi. Aku berteriak pada angin atas semua ketidakadilan ini. Adakah yang lebih sakit dari sebuah kepergian tanpa penjelasan. Kepergianmu adalah awal musim hujan di pelupuk mataku. Aku berlari bagai orang kesetanan berharap ini semua hanya mimpi. Aku tak peduli orang-orang memandangku heran bahkan kasihan. Kularikan langkahku ke cafetaria tempat kita dulu menatap senja. Sekarang aku di sini di tempat yang sama tempo hari denganmu. Sendiri, menyepi di hadapan kopi, mengenangmu yang pergi. Kuseduh kopi kesukaanmu, kesukaan kita. Berharap aromanya mengepul membentuk kenangan. Jika sebelumnya tidak ada pertemuan, mungkin tak akan ada rindu yang menggenang, di antara secangkir kopi kita. Aku pernah bermimpi tentang hari ini dan secangkir kopi. Mimpi itu kenyataan namun tanpamu kini. Setelah kau pergi menyeduh kopi tak lagi mudah. Aku bagaikan secangkir kopi tinggal ampas. Cerita kita dalam secangkir kopi, hanya tersisa ampas yang terbuang. Kini, kopiku semakin akrab dengan sunyi, pamitmu meracuni pahitnya. Well, Lupakan saja tentang perpisahan, silahkan kau pergi sejauh mungkin, Aku akan menahan cintaku jika kepergianmu untuk kebaikan. Biarkan aku menikmati sisa pahit dalam kopiku yang kunikmati dari senyummu. Sudut cafetarian jadi saksi dan secangkir kopi setengah dingin. Kuambil buku dan kutuliskan cerita luar biasa.. Secangkir Kopi In Story…
Cerpen Karangan: Selmi Thalib Blog / Facebook: Cillong Nama Selmi Thalib biasa di panggil sebutan cillong. Saat ini saya tercatat sebagai mahasiswa semester 3 Universitas Nahdlatul Ulama Kendari Fakultas Teknik Jurusan Informatika.