Angin berhembus dengan santainya dan menghampiriku di dalam ruang musik ini. Aku menghirup nafas dalam dalam menikmati angin ini. Aku duduk di depan piano usangku. “Aku suka piano” gumamku. Banyak kenangan di dalam nada nada tuts di piano ini. Aku terdiam sejenak dan mengingat salah satu kenangan itu.
FLASHBACK Kringggg… bel sekolah berbunyi Anak anak pun masuk ke dalam kelas masing masing tak terkecuali aku seorang anak yang mempunyai penyakit yang bisa dibilang aneh sih. Sampai saat ini dokter pun masih bingung dengan keadaanku. Tourett Syndrome penyakit yang aneh ini sudah menempel di tubuhku sejak kelas 5 SD. Aku tidak tau dari mana asal muasal penyakit ini yang jelas penyakit ini membuatku berhenti bermain musik. Pasti kalian berfikir aku akan dikasihani oleh semua orang. Ya kalian benar aku dikasihani oleh beberapa orang saja, yang lain sudah jelas mereka membullyku. Aku sudah tahan dengan banyaknya bullyan yang datang kepadaku sampai sampai orangtuaku menganggap kalau mentalku ini mental baja bukan mental tempe seperti anak jaman sekarang. Dengan keadaanku yang seperti ini aku lebih memilih sendiri. Mengapa? karena aku bisa memikirkan banyak hal dibanding dengan adanya keramaian. Dan juga aku tidak ingin menganggu teman temanku dengan penyakitku ini.
Aku langsung mencari tempat dudukku. Ya di bagian paling pojok belakang dekat jendela itu adalah tempat kesukaanku dimana aku bisa membayangkan melodi melodi dari alat musik kesukaanku yaitu piano.
Duk duk duk… Suara gemuruh langkah kaki terdengar dan benar saja empunya adalah Lisa. “Pak Anto sudah datang ayo cepat siap siap” suasana kelas yang semula ramai menjadi hening. Pak Anto guru sekaligus wali kelas yang mempunyai kepribadian ganda. Aku bisa bilang seperti itu dikarenakan sikap dari Pak Anto ini berubah ubah kadang baik kadang galaknya setengah mati. Mitosnya kita bisa melihat mood dari Pak Anto ini melalui peci yang dikenakan.
Benar saja Pak Anto sudah berdiri di depan pintu. Pak Anto pun masuk ke dalam kelas. Biasanya aku hanya menoleh dengan malas jika Pak Anto datang namun kali ini tidak. Ada seseorang bersama beliau yang menarik perhatianku. “Huff anak baru” gumamku. “Nak, silahkan perkenalkan diri kamu” ujar pak Anto “Baik pak” sahutnya “Perkenalkan nama saya Clarissa saya berasal dari Surabaya mohon kerja samanya teman teman” ucapnya
Kulihat sekilas dia dari atas sampai bawah ya bisa dibilang cantik lah. Rambutnya panjang, kulitnya kuning langsat, mungkin bisa dibilang dia ada keturunan tionghoa. Walaupun cantik namun dia tidak menarik bagiku. Aku pun kembali menatap anak anak yang sedang bermain sepak bola di luar. Tempat dudukku ini memang di dekat jendela sehingga aku bisa melihat luar.
“Sekian perkenalan dari saya apakah ada pertanyaan” tanyanya diiringi dengan senyum tipisnya “Clarissa sudah punya pacar?” jawab salah satu temanku “Belum” jawabnya Suasana kelas pun ricuh sehingga mengacaukan konsentrasiku melihat permainan sepak bola dan membayangkan dentingan dentingan piano. Dengan terpaksa aku pun melihat ke arah anak baru tersebut. Memang pertanyaan yang dilontarkan teman teman sekelasku aneh aneh, ya maklum lah mereka mungkin belum terbiasa bertemu perempuan cantik di sekolah. Karena sekolah ini didominasi anak laki laki.
Sesi perkenalan pun telah selesai Pak Anto pun menyuruh Yovi untuk duduk di dekat Lisa. “Eh hati hati sama Lisa, Lisa orangnya galak” ujar salah satu temanku, Doni. “Eh gendut jangan sembarangan kalo ngomong” ucap Lisa menatap tajam Doni. “Tuh kan lihat hiii dasar singa haumm” timpal Doni dengan menirukan gaya singa. Aku pun melihat dengan malas perdebatan mereka sedangkan Clarissa hanya tertawa kecil melihatnya.
Pelajaran pun dimulai entah mengapa aku sangat malas dalam pelajaran ini yaitu Matematika. Sepanjang pelajaran aku pun mencoba menulis partitur patitur musik.
Kringgg… bel sekolah berbunyi lebih panjang menandakan pulang sekolah. Aku pun bernafas lega akhirnya aku bisa bebas dari pelajaran mematikan ini.
Hari hari berikutnya terasa sama dan tidak spesial. Aku melihat anak baru itu mulai mendapat banyak teman. Aku melihat dia pandai bergaul. Dia merupakan anak yang humoris. Terkadang aku terpesona melihatnya namun segera aku tepis rasa itu dan mengalihkan perhatianku.
Tringg… ponselku berbunyi. Aku membuka ponsel hpku dan melihat ternyata pesan dari orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku langsung melihat tanggal hari ini dan benar saja hari ini tepat pada tanggal 8 Agustus 2017 dimana 17 tahun lalu aku dilahirkan. Aku tersenyum kecil dan membalas pesan dari kedua orangtuaku. Ulang tahun? menurutku hanya sebuah tanda dimana umur kita berkurang aku bukanlah tipe anak yang suka melakukan perayaan toh aku juga memiliki keterbatasan dan juga aku tidak memiliki teman. Jadi menurutku hari ulang tahun dan hari biasa tidak ada bedanya.
Aku masuk ke kelas seperti biasa untuk mengikuti pelajaran yang ada. “Hari ini jamkos teman teman” ucap Lisa. Suasana kelas pun berubah menjadi ricuh. Anak anak pun menjalankan aktivitasnya masing masing dimulai dari ada yang bermain games, pacaran, menonton film, menyanyi, dll. Aku? seperti biasa aku melanjutkan menulis partitur partitur musik dan hanya sekedar menulisnya tidak berharap untuk memainkannya.
Di sela sela waktu jam kosong itu penyakitku kambuh. Aku tidak bisa mengontrol ucapan dan tindakanku dan ini yang membuat ku tersiksa. Tiba tiba aku menggebrak meja dengan sendirinya. Semua anak menoleh kepadaku dan suasana pun menjadi hening. Seorang anak menghampiriku dan menarik kerah bajuku “Kalo ga bisa diem mending keluar aja sana bikin kalah main game kan, Dasar penyakitan”. Dia melepas kerah bajuku. Aku pun terdiam. Suasana yang tadi tegang berubah menjadi normal aku hanya bisa menundukkan wajah di bangkuku. Tak kusadari Clarissa menatapku mungkin dia iba melihatku dengan kondisi seperti ini. Aku sempat ingin meninju anak tadi namun aku sadar kekerasan akan memperburuk keadaan.
Hari berikutnya aku sangat malas pergi ke sekolah dikarenakan kejadian kemarin namun bagaimana lagi aku harus sekolah kalau nilaiku bagus aku akan mendapat apapun yang aku mau. Sesampainya di kelas semua orang menatapku mungkin teringat kejadian kemarin namun aku tidak menghiraukannya dan tetap mencari tempat dudukku. Waktu istirahat telah tiba di kelas hanya tersisa aku dan Clarisa. Aku memasang earphoneku untuk mendengarkan musik musik klasik.
“Hai” sapa Clarissa. “Oh hai juga” ujarku. Aku sedikit tersentak kaget ketika dia menyapaku. “Sedang apa?” ujarnya. “Sedang mendengarkan musik klasik” ujarku. Aku melepas earphone yang menempel ditelingaku. “Nama kamu Putra kan?” tanyanya. “Iya” jawabku singkat. “Kita sekelas tapi aku kok gak pernah lihat kamu sama teman teman ya?” tanyanya. “Iya aku gak suka bersosial” jawabku. “Kenapa?” ucapnya. “Kamu tahu sendiri lah pastinya aku gak mau punya pengalaman kayak kemarin” ucapku. “Oh baiklah” ucapnya. Bel sekolah berbunyi menandakan jam istirahat telah usai. Clarissa kembali ke tempat duduknya.
Hari telah berganti namun keadaan tetap sama dan membosankan. Aku tetap mendengarkan musik klasik yang aku putar lewat ponselku. Hal inilah yang menjadi obat untuk menghilangkan kebosananku. Tiba tiba dia datang menghampiriku. “Hai” ucapnya. “Ya?” jawabku. “Kamu bisa main musik” tanyanya. “Gak bisa” jawabku. “Mau menemani aku ke ruang musik?” tanyanya. “Apa? Aku gak bisa main musik” jawabku sambil berbohong. “Gak apa temani aku aja ya” ucapnya. “Enggak ah aku sibuk” jawabku. “Oh oke deh” ujarnya lalu pergi
Aku bingung mengapa ia mengajakku daripada yang lain. Tapi ya sudahlah aku tidak peduli. Bel sekolah pun berbunyi menandakan sekolah hari ini telah usai. Clarissa kembali menghampiriku. “Ayo ikut aku” ujarnya. “Kemana?” tanyaku. “Jangan bawel ikut saja” jawabnya sambil menarik tanganku. Aku pun mengikutinya. Aku bingung akan dibawa kemana karena dari awal dia tidak menunjukkan tujuan yang jelas.
Sampai lah di suatu ruangan. Ya ruang musik, ruang yang mulanya aku sukai namun tidak saat ini. Yovi segera mengambil gitar yang berada di sebelah piano besar tersebut. “Ayo main bareng” katanya. Aku terkejut apa yang dimaksud main bareng? apa dia tahu aku bisa main musik?. “Maksudnya?” tanyaku. “Aku tahu kamu bisa main piano kan ayo main bareng” ujarnya. “Kata siapa aku bisa?” tanyaku. “Udahlah, sini mana tanganmu” ucapnya. Seakan aku terhipnotis oleh kata katanya dan tidak sadar aku menyodorkan tanganku. Dia menuntun tanganku dan diletakkan diatas piano tersebut. “Sekarang ayo main” ucapnya. Aku mulai melihat tuts tuts putih disana sebersit rindu bermain mulai ada namun rasa rindu itu kalah dengan rasa takutku akan piano. Aku takut penyakitku mengangguku disaat aku mulai terbiasa bermain lagi. “Aku tidak bisa” kataku. “Cobalah, kata tidak bisa itu hanya karangan orang yang malas atau takut mencoba” ujarnya.
Jrengg… dia mulai memainkan gitar tersebut. Ia memainkan lagu Right Here Waiting For You oleh Richard Marx. Dengan ragu aku mulai mengiringinya. Aku mulai terbuai akan lagu yang kami mainkan sampai tiba tiba penyakitku mulai kambuh nada yang kutekan mulai tidak karuan dan akhirnya aku berhenti. Yovi yang melihat itu menghentikan musiknya juga. “Oke cukup buat hari ini terimakasih ya” ucapnya sambil tersenyum sambil menatap mataku. Aku melihat dia entah mengapa senyumannya kali ini berbeda dari biasanya. Senyumnya sangat indah bahkan lebih indah dari dentingan dentingan piano. Hatiku berdebar. Aku terdiam sejenak merasakan perasaan aneh di dalam hatiku. “Putra putra hei” ucapnya sambil melambaikan tangan didepan wajahku. “Oh maaf maaf” ucapku. “Kamu tidak apa apa?” tanyanya. “Iya tidak apa” jawabku. Suara gemuruh petir mulai terdengar. “Ayo pulang sudah mau hujan” ajakku. “Ayo” jawabnya.
Cerpen Karangan: Yessy Permatasari Blog / Facebook: Yessy Permatasari