Sepanjang perjalanan pulang kami mengobrol banyak. Perasaan yang tidak dapat kudefinisikan ini terus muncul. Semakin kuabaikan akan semakin bertambah perasaan ini. “Kamu baik baik saja? Dari tadi melamun terus” katanya. “Eh baik kok” kataku. “Kamu kok bisa main gitar?” tanyaku. “Bisa dong, kayaknya aku udah pernah bilang deh pas perkenalan dulu” katanya. “Maaf aku gak mendengar berarti” ucapku berbohong karena pada saat itu aku tidak memperhatikan dia.
Tik Tik Tik hujan pun mulai turun. “Wah hujan” katanya. “Ayo lari sebelum deras” jawabku. “Ayo” sahutnya. Kamipun lari menghindari hujan. Sejak saat itu aku menyadari ada perasaan berbeda terutama untuknya.
Hari mulai berganti. Namun perasaan aneh ini tetap sama dan aku tetap bingung mendefinisikan tentang perasaan ini. Saat pulang sekolah Clarissa kembali menghampiriku. “Kamu sibuk gak hari ini?” tanyanya. “Tidak” ucapku. “Ayo ikut aku” ucapnya. “Kemana?” tanyaku. “Ikut aja nanti kalo aku beri tahu pasti kamu bawelnya setengah mati” ucapnya. “Hmm gimana ya” ucapku sambil mengerutkan dahi untuk berfikir. “Oke nanti ketemu didepan sekolah ya jam 7 awas sampe gak dateng” ucapnya. “Loh aku belum menyetujui” kataku. “Baii pokoknya nanti jam setengah 7” ucapnya. Aku kebingungan namun mau bagaimana lagi aku harus menurutinya.
Tepat jam 7 aku sudah berada di depan sekolah. Dia datang dengan menggunakan rok jeans dan baju bewarna hitam tak lupa rambutnya pun dikuncir kuda. Aku terpesona melihatnya karena dia terlihat imut sekali. “Eh jangan suka melamun gitu nanti dimasukkin hantu” katanya. “Eh iya” jawabku.
Setelah beberapa saat kami sampai di cafe yang lumayan dekat dari sekolah. “Kita ke sini?” tanyaku. “Iya” jawabnya. “Ngapain?” tanyaku kembali. “Main musik, aku disuruh main di sini sama temanku hari ini” jawabnya. “Apa? Aku ga bisa tampil di depan umum” kataku. “Cobalah, ini juga pertama kali aku tampil di depan umum” ucapnya. Lagi lagi aku menuruti kata katanya. Aku lagi lagi berhadapan dengan piano aku melihat Clarissa yang sedang mengatur gitarnya. “Yakin nih?” kataku. “Yakin aja” jawabnya.
Aku pun mulai menekan tuts piano itu dan berdoa supaya penyakitku jangan dikambuhkan dalam keadaan seperti ini. Kami memainkan lagu yang sama seperti di ruang musik kemarin dan lagi lagi perasaan aneh ini muncul ketika memainkan lagu ini. Setelah beberapa saat kami menyudahi permainan kami. Terdengar suara tepuk tangan yang meriah dikarenakan cafe ini memang ramai sih. Aku pun tersenyum dengan lega karena sepanjang permainan penyakitku tidak kambuh aku melihat dia dan dia melakukan hal yang sama. “Terimakasih, kamu hebat” ujarnya sambil mengacungkan jempol kepadaku “Sama sama” jawabku. Ini adalah malam yang tak terlupakan bagiku dan mungkin juga baginya.
Tak terasa hari ini sudah seminggu dari malam yang indah itu. Aku memasuki kelas dengan penuh semangat. Namun aku menjumpai bangkunya yang masih kosong. “Mungkin dia belum datang” pikirku. Bel sekolah berbunyi menandakan kelas sudah dimulai. Aku mencari Clarissa mengapa ia belum datang datang. Aku memberanikan diri bertanya pada Lisa. “Clarissa gak masuk ya?” tanyaku. “Iya, kata mamanya sih dia sakit” jawabnya. “Sakit apa?” tanyaku. “Gak tau sih tadi aku buru buru berangkat jadi gak tanya sakit apa” jawabnya. “Oh gitu, ya udah makasih ya” ucapku. “Oke” jawabnya.
Setelah pulang sekolah aku mencoba untuk pergi ke rumahnya melihat apakah dia baik baik saja. Aku pun membeli buah karena dia bilang dia sangat suka buah. Setelah sampai di rumahnya. Tok.. Tok.. Tok.. aku mengetuk pintu rumahnya. “Iya ada apa?” ucapnya sambil membukakan pintu. “Loh kamu masuk masuk maaf merepotkan” ucapnya. Aku melihatnya dia tampak pucat sekali. Sejujurnya aku sangat mengkhawatirkan dirinya. “Kamu gak apa apa?” tanyaku. “Gak apa apa kok” jawabnya. “Sakit apa?” tanyaku. “Demam saja” jawabnya. “Ini buah biar cepat sembuh” kataku. “Terimakasih” jawabnya. “Cepat masuk Lisa kangen tuh kasihan sendirian” ucapku. “Lisa apa kamu nih yang kangen hahaha” ucapnya sambil memakan apel yang aku berikan. Kami pun bergurau dan berbincang-bincang tentang banyak hal.
“Kamu kenapa berhenti main piano?” katanya. “Gak apa apa” kataku. “Gara gara penyakitmu ya” ucapnya. “Iya” ucapku. “Kamu itu hebat lo main piano padahal kenapa gak coba lagi aja” ucapnya. “Aku takut kalau penyakitku tambah parah dan merusak permainanku ketika aku sudah mulai terbiasa” ucapku. Dia meletakkan apel didekatnya dan menatap mataku. “Takut bukanlah suatu alasan untuk mencoba, kalau gak dicoba apa kamu tahu hasilnya, gak kan jadi cobalah” katanya. Lagi lagi aku terdiam seakan terhipnotis oleh kata katanya. Matanya sangat berbinar indah. Aku mengangumi itu. Dia terlihat sangat bijaksana saat ini berbeda dengan sifat sebelumnya yang suka memaksa. Tak terasa hari mulai malam aku berpamitan pulang kepadanya.
Tak terasa sudah dua minggu Clarissa tidak masuk. Aku semakin curiga dia tidak demam melainkan sakit yang lain. Tiba tiba Lisa datang sambil menangis tersedu sedu. “Loh lisa kenapa?” tanya anak anak. Anak anak mengerubungi Lisa yang masih menangis tersedu sedu terkecuali aku. Namun aku mendengar Lisa berbicara tentang Clariss. “Clarissa.. Clarissa.. dia sekarang masuk ICU” Lisa bercerita diiringi dengan tangisannya. Hatiku seakan ditimpa batu yang sangat keras. Sesak, sakit itulah yang aku rasakan. Aku terdiam beberapa saat. “Loh kok bisa” tanya salah satu anak. “Aku tadi coba menghubungi dia tapi yang mengangkat mamanya sambil menangis dan bercerita Clarissa masuk ICU” jawabnya. Hatiku semakin sesak dan seakan aku tidak bisa bernafas. Pikiranku kacau. Yang ada saat ini hanyalah aku ingin melihatnya. Aku memutuskan untuk menjenguknya nanti malam.
Malam pun tiba aku berniat menjenguknya. Entah kenapa firasatku sangat jelek. Aku hanya bisa berdoa agar dia baik baik saja. Aku ingin mengajak Lisa untuk menemaniku ke rumah sakit itu karena aku tidak tahu kamar berapa yang ia tempati. Aku pun menelepon Lisa. Setelah beberapa saat aku mencoba menghubungi Lisa yang ada hanya suara operator yang menjawabku. Hatiku semakin tidak karuan. Aku terus mencoba menghubungi Lisa sampai akhirnya diangkatlah panggilanku. “Halo” ucapku. “Ha.. Ha.. Halo” ucapnya. Aku tahu saat ini Lisa menangis dan aku bertanya kepadanya. “Ada apa Lis” tanyaku. “Clarissa.. Clarissa… dia sudah tidak ada” jawabnya. Aku terdiam. Lagi lagi hatiku kembali dihantam sebongkah batu yang lebih besar dari sebelumnya. Semua sarafku seakan lumpuh. Tak terasa ponselku jatuh. Kaki yang kugunakan untuk menopang tubuhku lunglai aku pun terduduk dan menangis. Persetan dengan laki laki tak boleh menangis aku sudah tidak peduli. Hatiku hancur. Aku menangis sejadi jadinya malam itu.
Tak terasa sudah satu bulan aku ditinggalkannya. Aku mulai bisa bangkit kembali. Pada malam itu juga aku langsung ke rumah Clarissa dan ibunya menitipkan suatu buku surat kepadaku. Kehidupan berjalan seperti biasanya namun kali ini aku merasakan kosong. Aku pun menghibur diri dengan bermain musik. “Musik itu adalah obat untuk kehampaan” katanya yang selalu terngiang ngiang di telingaku. Aku pun duduk di depan piano itu. Aku mencoba membuka suratnya.
Untuk, Putra Haii apa kabarmu? Semoga selalu baik baik saja ya. Jangan suka melamun hehe tidak baik. Jangan jadi penakut ingat kamu itu laki laki. Pasti kamu bingung kenapa aku tahu kamu pandai main piano. Kamu itu pikun apa gimana sih padahal kan aku temen kecilmu dulu. Emang sih sekarang aku sudah tidak berkacamata lagi, tidak berpotong laki-laki lagi hehe. Maaf ya dulu aku sempat ninggalin kamu soalnya orangtuaku pindah kerja sih jadinya aku pindah juga tapi aku kembali kan ya. Lajutin permainan piano hebatmu jangan menyerah gara gara penyakit toh kan kamu masih bisa nafas dan berjalan. Aku aja yang sakit keras masih mau main gitar. Sebenarnya aku ingin menyembuhkan penyakitmu itu aku mencari di Internet dan aku menemukan obatnya katanya sih dengan melakukan hal yang membuat dia fokus Tourett akan berhenti jadi kamu kan fokusnya di musik aku ajak aja kamu ke ruang musik pada waktu itu. Jangan jadi anti sosial gitu banyak temen bisa ngilangin rasa kosong kok tenang aja. Oh iya maaf ya aku bohong sama kamu bilang sakit demam sebenarnya aku sakit meningitis tapi aku bohong karena agar kamu ga khawatir jadi gak apa apa lah ya. Sebenarnya aku sudah tahu kalau aku gak bisa hidup lebih lama lagi tapi aku mencoba bangkit karena apa karena musik dan kamu. Aku cuma mau bilang deket sama kamu itu asik ya bisa mengalami banyak hal ada seneng, sedih, suka, duka dan lain-lain banyak warna. Maafkan aku yang sering memaksa, cerewet, jahat, kasar dan tiba tiba pergi kayak gini. Maaf juga kalo aku selalu buat khawatir. Terimakasih ya sudah selalu ada dan menjadi yang terbaik. Intinya aku cuma mau bilang terimakasih dan maaf ya. Dan sejujurnya aku sayang kamu.
Tess.. tess.. air mataku jatuh bersamaan dengan air hujan. Aku tersenyum melihat surat itu. “Maafkan aku” gumamku. Aku terlambat menyadari perasaan aneh ini yang ternyata adalah rasa sayang. “Aku juga sayang kamu”. Ucapku sembari tersenyum. Terimakasih telah menjadi bagian melodi yang indah di dalam hidupku.
“Wherever you go Whatever you do I will be right here waiting for you Whatever it takes Or how my heart breaks I will be right here waiting for you”
Cerpen Karangan: Yessy Permatasari Blog / Facebook: Yessy Permatasari