Summary: “Kalau aku bisa, aku akan pergi dari sini sekarang.” “Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Ada di dekat orang yang kita cintai tapi tak pernah terkenali olehnya. Kita ada di tempat yang sama, di waktu yang sama. Yang berbeda adalah, aku sudah bukan manusia lagi.”
—
Legenda manusia rusa kembali terdengar. Beberapa hari ini dari bukit belakang sekolah. Warga desa sekitar melihat dua ekor rusa tanduk emas yang berkeliaran di sekitar bukit. Mereka bukan rusa biasa, melainkan merupakan manusia rusa yang mencari mangsa untuk menambah kekuatan mereka. Tidak dengan memakannya, tapi dengan menjadikannya bagian dari mereka.
“Seram sekali! Bagaimana mungkin makhluk sedingin itu hidup di antara kita.” “Benar! Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus segera membasmi mereka.” “Tentu saja! Mari nanti malam kita tuntaskan ini!”
Tiga orang gadis menghela nafas mendengar pembicaraan beberapa lelaki dewasa di belakang meja duduk mereka. Sudah menjadi kekhawatiran para hilan, manusia rusa, jika mereka akan dijadikan kambing hitam atas perbuatan Arnomus, raja Rusa putih dari Timur. Tentu saja, tidak semua hilan seperti Arnomus. Namun begitulah manusia, orang asing dianggap begitu asing. Salah satu di antara mereka bertindak salah, berarti mereka semua adalah sama. Padahal layaknya manusia, tidak semua hilan jahat.
“Apa kita perlu memberitahu Reia? Bagaimana dengan sekolahmu?” Tanya seorang gadis bermanik hijau pada gadis di seberang meja yang bermanik sama dengannya. Gadis yang ditanya hanya menghela nafas panjang. Ia yakin setelah ini para hilan di sekolah itu tidak akan baik-baik saja. “Kurasa kita tidak perlu memberitahu Reia dulu. Selama ini kita masih aman. Belum ada hilan yang dikenali oleh manusia. Biarkan begini dulu saja, yang penting kita aman,” ujar gadis bermanik mata coklat menengahi. Kedua gadis bermanik hijau tentu saja cukup takut. Namun mereka juga tidak bisa melakukan apapun. Hanya kekuasaan Reia yang boleh mengambil keputusan. “Kita harus pergi sekarang, sebentar lagi sore. Aldon akan marah pada kita jika kita terlambat datang ke upacara itu,” gadis bermanik mata coklat berdiri, diikuti dua gadis yang lain. Mereka berjalan keluar kafe, menuju dalamnya hutan yang semakin gelap.
—
“Aku merindukanmu.”
“Arrgghh!” Nelka terbangun dari tidurnya. Mimpinya tersebut terus berulang selama beberapa hari ini. Hal itu sungguh mengganggunya. Dan selalu, sebelum akhirnya ia terbangun, ia seperti mendengar sesuatu. Semacam, “Aku merindukanmu.” Nelka memandang jauh melalui jendela kamarnya yang terbuka, mengarah langsung pada bukit belakang sekolah yang kata kebanyakan orang merupakan tempat tinggal para hilan. Ia sendiri sebenarnya belum pernah tahu seperti apa itu hilan. Hanya banyak orang yang mengatakan bahwa mereka sangat kejam. Namun entah mengapa, hatinya menyatakan sebaliknya.
—
Sesuatu, dari balik rimbunnya pepohonan, dia memperhatikanmu.
—
“Denger-denger, sekarang ini hilan makin merajalela, ya?” “Iya! Apa lagi semenjak si rusa putih itu mulai mangsa orang buat jadi pengikutnya. Serem banget gak sih??” “Iya ya… tega banget..” “Iya..” “Ho oh..” Lita membuang wajah keluar jendela, bosan mendengarkan celotehan mereka tentang hilan. Apa yang salah dengan hilan? Toh sampai sekarang mereka tidak menyerang siapapun kan? Aneh sekali, pikir Lita dalam hati. Ia terus memperhatikan bukit kecil yang berada di belakang sekolahnya; lebih tepatnya mengelilingi.
“Hei, Lit! Gak ke kantin?” Seseorang menyapanya dengan suara banton yang ia miliki. Lita memalingkan pandangannya dari jendela, menatap Lucas yang masih menunggu jawaban darinya. Lita menggeleng lemah. “Aku sedang tidak lapar. Kembalilah ke kelasmu atau berangkat sendiri saja ke kantin,” ujar Lita kemudian. Lucas dengan sikap dinginnya keluar kelas Lita dan berjalan menuju kantin sendirian. Lita kembali menatap bukit itu.
—
Andai semua bisa seindah dulu, aku tak ingin kehilangan ini semua.
—
Lita berjalan pelan menyusuri lorong kelas yang mulai sunyi. Seperti biasa, ia selalu pulang terakhir dan sendiri. Ia lebih baik begini jika mereka bergerombol lalu ada yang menemukan keberadaannya, itu sungguh menyakitkan.
“Dasar rusa sialan!” “KLENG!” “DUG!” “Aww, siapa sih!” Terdengar suara mengaduh dari jauh. Lita baru saja menendang kaleng soda sambil menyerapahi Arnomus. Namun ia tidak menyangka bahwa ia akan mengenai kepala seseorang. Sembunyi adalah keputusan yang tepat saat itu. Lita berguling ke bawah kursi yang dipasang di depan kelas. Terdengar suara gemuruh kaki mendekat.
“Siapapun kau, tolong keluarlah! Jangan membuatku takut. Hei!” Teriak seseorang yang didengar dari suaranya adalah lelaki. Lita masih bersembunyi di bawah kursi. Namun tak lama kemudian, ia menyadari sesuatu terjadi. Manik matanya bersinar! “Hei, apa yang terjadi? Kenapa tubuhku bersinar hijau? Aneh sekali, tolong akuuuuu!!!” Seloroh laki laki yang telah kembali berlari menjauh. Manik matanya cocok dengan tubuh lelaki itu. Apa benar, lelaki itu adalah alasan Lita menjadi hilan? Mengapa ia tak mengingat apapun, tapi merasa sakit yang begitu dalam di hatinya?
—
Pertemuan itu tak perlu terulang kembali. Jika nanti akhirnya harus ada yang pergi lagi.
—
“Sebuah buku pernah membicarakan hal ini. Bunyi kutipannya adalah: ‘Menjadi hilan bukanlah kutukan, melainkan sebuah jalan yang harus kau tempuh atas apa yang kau pilih. Pilihan antara mati untuk terus mengingat dan tersakiti, atau hidup untuk melupakan dan dilupakan.’ Begitulah. Ada yang ingin bertanya?” Guru di depan kelas menghentikan celotehnya tentang legenda hilan. Lita tidak antusias dengan pelajaran ini sejak awal, jadi dia hanya terus memandang ke luar jendela tanpa berusaha memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia merasakan manik matanya bersinar. Beruntung yang dapat melihatnya hanya para hilan saja. Namun yang membuatnya bertanya adalah, apa yang membuat maniknya kembali bersinar?
“Lihatlah Elvis! Tubuhku bersinar hijau!” Suara itu, Lita pernah mendengarnya. Tentu saja, lelaki yang kemarin sore. Siang ini ia berjalan bersama Elvis. Elvis tampak tidak peduli dengan rengekan lelaki di sampingnya untuk percaya bahwa tubuhnya sedang bersinar. Karena Elvis dapat melihatnya tanpa diminta. Tepat di depan pintu kelas Lita, Elvis menengok ke dalamnya, menemukan manik Lita yang berwarna sama dengan lelaki yang sedang bersamanya saat ini.
“Lita Saraphan. Lita Saraphan!” Lita menengok ke arah datang suara. Guru itu sedang menatapnya tajam, lalu menoleh ke arah pintu yang sedari tadi jadi perhatian Lita. “Karena kau terus melihat ke arah pintu, mungkin kau ingin segera keluar. Kalau begitu, ulangi perkataan bapak tadi!” Bentak guru berkumis tipis itu dengan garang. Lita hanya menatap datar. “Tentang apa, Pak?” Tanya Lita polos, tidak tahu jika ia sedang dihukum saat ini. “Tentang sejarah hilan menurut Alipp Rogerd!” Seseorang berbisik ke arah Lita. Lita tersenyum tipis dan mengangguk, tanda terimakasih. Lita memandang Guru yakin. “Hilan adalah kekuatan yang sempurna. Namun sesempurna apapun hilan itu, itu tak mengubah bahwa hilan itu seorang-” Lita terhenti. Semua masih sibuk memandangnya.
—
Inilah cara kami melupakan. Berusaha menghilangkan sesulit apapun itu!
—
“Hwaahh… capeknya…” seloroh Arko sambil berjalan beriringan dengan ketiga saudaranya. Bukan saudara kandung, melainkan saudara yang sudah lama bersama. “Capek ngapain? Lo lari turun bukit aja kuat. Tadi tuh cuma separoh jalan kita pulang doang,” ujar Lucas datar; dengan nada mencibir tentunya. Yang disindir melirik tajam, memelototkan matanya. Hanya melotot saja; mana berani Arko melawan Lucas yang badannya seperti milik petinju yang sudah lama wafat itu. Lita dan Elvis yang berjalan di belakang pasangan beda ukuran itu, hanya tersenyum tipis. Tiba-tiba Lita teringat sesuatu. Ia sedikit menjaga jarak dengan dua orang yang masih memperdebatkan hal sepele itu. “Tentang cahaya hijau itu?” Elvis mengawali, membuat Lita cukup terkejut. Ia mengangguk berharap Elvis dapat menjelaskan apa yang terjadi. Namun Elvis hanya menggeleng. “Mungkin kita bisa tanyakan pada Reia?” Elvis memberi usulan. Lita mencegahnya. “Keyra dan Kak Ratna saja belum kuberi tahu apapun tentang ini. Kumohon kamu jaga ini untukku, untuk beberapa saat. Setidaknya sampai aku sendiri tau jawabannya,” ujar Lita kemudian. Elvis terdiam sebentar, untuk kemudian mengangguk setuju. “Wooyy! Kalian ketinggalan jauh banget. Ayo cepet, keburu gelap!” Terdengar teriakan Arko memanggil. Lita dan Elvis segera berlari mengejar Arko dan Lucas yang sudah berjalan jauh di depan.
—
Aku hanya berharap, dapat mengingat sedikit tentangmu, walau artinya itu bunuh diri.
—
“Ketemu El??” Tanya Lita sambil terus mengobrak abrik buku di salah satu rak perpustakaan. Bel pulang sudah berdering sejak sejam yang lalu. Namun Elvis dan Lita memilih ke perpustakaan untuk menjawab rasa penasaran mereka. “Ini, Lit! Ketemu!” Seru Elvis. Lita segera beranjak dan berlari menghampiri Elvis yang berada di rak seberang. Buku yang saat ini dipegang Elvis berjudul ‘Legenda Hilan’. Cukup sederhana untuk menjawab hal yang sedari kemarin menjadi beban pikiran mereka. “Menjadi hilan bukanlah kutukan melainkan-” “Aku dah tahu bagian itu!” Potong Lita mengingat ia baru saja mendapat materi itu kemarin. Elvis memasang muka masam. Mereka terus membalik halaman buku hingga sampailah di bab yang mereka cari. “Cahaya Manik Mata,” ucap mereka bersamaan. “Manik mata adalah hal terpenting bagi hilan. Setiap manik mata menggambarkan alasan mereka mengapa mengambil keputusan untuk menjadi hilan. Karena warna mata yang beragam, orang tidak bisa begitu saja mengira bahwa mereka adalah hilan.” “Warna pada manik mata juga menggambarkan seberapa dalam luka yang telah mereka lupakan. Semakin pekat warnanya, semakin dalam lukanya. Secara singkat, manik mata adalah pusat ingatan hilan, sehingga manik mata merupakan hal penting dalam suatu siklus kehidupan bagi hilan.” “Cahaya mata yang keluar dari manik merupakan sebuah memori yang ingin kembali diingat oleh hilan itu sendiri, tapi hilan tersebut tak tahu tentang apa hal tersebut. Kalau sampai cahaya itu mengalir ke tubuh seorang manusia biasa, berarti manusia itu merupakan alasan hilan tersebut memilih.” “Dan karena manusia itu tidak bisa melupakan hilan tersebut, hingga ia sendiri kebal terhadap sihir yang dilontarkan pemimpin hilan saat upacara.” Lita dan Elvis berhenti membaca buku tersebut. Mereka saling bertatapan, untuk kemudian berusaha mencerna kalimat terakhir. Dan karena manusia itu tidak bisa melupakan hilan tersebut, hingga ia sendiri kebal terhadap sihir yang dilontarkan pemimpin hilan saat upacara. “Berarti… lelaki itu-” “Nelka masih punya ingatan tentangmu!” Ujar Elvis tegas. Nelka, nama itu benar benar membuat dada Lita ngilu. Bagaimana mungkin? Siapapun Nelka itu, sebagai seorang hilan, ia tidak boleh diingat oleh orang dari kehidupan lalunya. Karena itu fatal akibatnya. “Tidak ada pilihan lain. Kita harus menjadikannya bagian dari kita!” Elvis berujar sekali lagi, dengan tegas. Lita menggeleng cepat. “Tidak mungkin El! Manusia hanya bisa menjadi hilan saat ia sudah mati!” Balas Lita tidak kalah tegas. Walaupun sebenarnya sedari tadi ia memikirkan hal yang sama, karena nyawanya pun bisa hilang untuk kedua kalinya jika Reia mengetahui hal ini. Namun entah mengapa, ia tidak ingin orang bernama Nelka, yang masih mengingatnya di kehidupan lalu itu, terluka atau bahkan harus mati. “Kita harus melakukannya, Lit! Atau kau akan mati!” Seru Elvis. Lita menatap Elvis tepat di maniknya. Manik Elvis berwarna cokelat, dengan warna yang sangat pekat. Sebegitu dalam kah luka yang Elvis rasakan sebelum ia mati, batin Lita. “Aku mengerti. Ayo kita lakukan itu besok.”
Cerpen Karangan: Sekar Pinestri Blog / Facebook: Sekar Rafa Ini cerpen kedua yg ku kirim. Aku speechless waktu tau cerpen pertamaku diupload. Makasih banget buat Admin yg dah mau nge-upload. Sekian. Hehe