Layaknya keajaiban, memilikimu sebagai malaikatku adalah sebuah anugerah.
—
“Lit, kamu belum tidur?” Ucap Ratna memasuki bilik kamar Lita. Lita hanya menoleh sebentar lalu kembali memandang langit malam. Ia sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Ceritakan, Lit!” Tegas Ratna pada Lita. Terkadang kesal mengingat setiap hilan memiliki kemampuan istimewa. Dan inilah bakat Ratna, membaca perasaan orang lain. Lita menghela nafas. Mungkin sudah saatnya ia menceritakan semuanya pada Ratna. “Kak!” Lita mengambil jeda. “Ada yang mengingatku!” Sambungnya. Ratna terkejut. Seperti yang sudah dikatakan, diingat adalah sebuah kemalangan bagi seorang hilan. Ratna merengkuh bahu perempuan yang sudah dianggapnya adik itu. Ia tahu ini merupakan hal yang berat bagi hilan bermanik hijau. Jika manik itu terus bersinar tiap ada orang yang mengingatnya, warna manik itu akan memudar dan hilan tersebut akan kembali menjadi debu tanpa tahu bagian apa yang hilang dari kehidupannya. “Lalu… apa yang akan kau lakukan terhadapnya?” Tanya Ratna sambil terus menguatkan Lita. Lita sedari tadi hanya memandang langit tanpa bintang itu. “Aku… akan membuatnya melupakanku!” Jawab Lita ragu. Ratna menangkap keraguan itu. Lalu seolah memahami jalan pikiran Lita, Ratna tersentak. “Lit, jangan bilang-” “Aku nggak sanggup, Kak!” Potong Lita yang langsung berbalik dan memeluk Ratna. Sebagai seseorang yang dapat membaca perasaan orang lain, membaca perasaan Lita membuatnya ikut merasa pedih. Ratna membiarkan Lita terus menangis, bergumam tidak jelas, bahkan sampai terisak dengan sangat keras. Lita sedang bingung kali ini. Tak mudah membunuh manusia, apalagi posisi manusia itu masih hidup dan ia… punya ingatan tentang seorang hilan.
—
Aku lebih baik mati tersakiti daripada hidup tenang tanpa tahu apa yang dapat membuat kita bahagia.
—
“TOK! TOK!” Elvis menoleh ke arah pintunya. Bunyi ketukan mengalihkannya dari smartphone yang saat ini sedang digenggamnya. Ia berjalan menghampiri pintu sambil melepas headset yang tersampir di telinganya. “Iya, kenap-” suara Elvis terputus melihat siapa yang berada di depan pintunya. “Lita?!” Serunya terkejut. Lita hanya tersenyum samar di hadapan Elvis. Manik matanya masih berwarna hijau walau sedikit memudar. Ia menyibakkan rambut yang menutupi sebelah matanya. “Boleh kita bicara sebentar?” Tanya Lita kemudian. Elvis mengangguk, menyuruhnya masuk ke dalam. Lita segera duduk di tepi tempat tidur Elvis, sedang Elvis sendiri menarik kursi belajarnya agar dapat berhadapan dengan Lita yang dilihatnya sedang sedih. Sama seperti Ratna, kepekaan rasa Elvis juga sangat tinggi. Elvis tak memulai bicara sampai Lita mengawalinya. “Kau lebih cerdas dariku bukan, El? Menurutmu, apa alasan setiap manik mata hilan punya warna yang berbeda?” Lita memulai percakapan. Elvis merasa obrolan kali ini menyangkut rencana mereka untuk Nelka. Elvis menghela nafas. “Bukankah itu tergantung ingatan yang mereka lupakan?” Elvis balik menanya. Sejauh ini yang ia tahu tentang warna manik mata. Lita kembali tersenyum getir. Sedalam itukah luka yang saat ini sedang Lita rasakan, batin Elvis. “Tahukah kau apa yang membuatku sedih saat ini? Aku… aku cuma tak tahu.. apa… apa yang telah membuatku bahagia. Apa hal itu yang telah menyakitiku? Lantas mengapa hal tersebut juga membahagiakanku? Apa aku sebodoh itu, rela melupakan sesuatu yang telah membuat hidupku bahagia, hanya untuk senoda rasa sakit yang diakibatkannya. Aku.. aku.. aku…” kalimatnya tak selesai. Lita terisak dalam diamnya. Elvis merasakan pedih yang saat ini Lita rasakan. Elvis mengulurkan tangannya, hendak merengkuh tubuh rapuh itu dalam pelukannya. Namun, tangannya terhenti. Dan akhirnya hanya berakhir di pundak gadis itu. “Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang? Atau kau akan mengurungkan niatmu terhadap Nelka?” Tanya Elvis sambil terus menenangkan Lita. Lita menghela nafas, berusaha menghilangkan isak yang terus ia rasakan. Dihapusnya air mata yang sempat mengalir di pipinya. “Bisakah… kau pertemukan aku dengan Nelka malam ini?”
—
Dari berbagai macam kebodohanku, melupakanmu adalah kebodohan terbesarku.
—
Nelka berjalan menyusuri setapak di belakang sekolah. Malam ini Elvis mengajaknya bertemu di lapangan dekat bukit. Ia merapatkan jaketnya, merasakan hawa dingin yang mulai menusuk. Dari kejauhan, terlihat siluet seseorang di bawah terangnya cahaya bulan. Nelka mengenalinya.
“Lita…” bisik Nelka pelan, terbawa angin hingga menyibak rambut hitam Lita dan memperdengarkannya di telinga. Lita menoleh, menunjukkan senyum termanis yang ia punya. Berusaha tetap tegar di balik kegundahan hatinya. Namun yang Lita tak tahu, Nelka tak pernah bisa tertipu dengan senyuman Lita. “Kau sendirian? Mana Elvis?” Tanya Nelka tersenyum sambil berjalan menghampiri Lita. Lita menggeleng. “Dia tak di sini. Aku yang menyuruhnya untuk menyuruhmu menemuinya disini. Maaf mengganggumu,” ujar Lita sambil menunduk, menyibakkan rambutnya; gugup berhadapan dengan Nelka. Walaupun baru pertama kali bertemu setelah ia menjadi hilan, berada cukup dekat dengan Nelka membuat degup jantungnya meningkat. “Tidak, tenang saja,” ujar Nelka masih tersenyum. Lita ikut tersenyum, merasa tenang dengan keberadaan Nelka di sampingnya. Cahaya hijau itu terus berpendar; dari manik matanya dan juga tubuh Nelka. Lita kemudian teringat sesuatu yang harus ia katakan. “Ada yang harus kutanyakan padamu, Nel,” ujar Lita akhirnya. Nelka mengarahkan pandangan pada gadis di hadapannya. Dengan gerakan alis ia mempersilahkan. “Tentu saja.” “Kau tahu aku-maksudnya siapa aku sebenarnya?” Tanya Lita sambil terus memandang mata milik Nelka untuk mengetahui kejujurannya. Itulah kemampuan hilan Lita, menangkap kejujuran seseorang. Nelka mengangguk. “Kau hilan, sama seperti Elvis, Lucas, Arko, juga Keyra dan Aldon,” sambungnya. Lita sedikit terkejut. Ia tak mengira bahwa Nelka akan mengatakan hal itu, secara jawaban yang ia duga bukanlah yang diucapkan Nelka. “Kau… tahu kami?? Dan kau tetap tak melaporkan, mendengar semua kasus menyangkut kami?? Seakan kami ini manusia biasa. Kau-” “Aku hanya ingin melindungi kalian. Melindungimu. Sama seperti yang kau lakukan untukku, Lit. Aku tahu banyak tentang kalian. Termasuk tentang cahaya mata itu. Kau, akan membunuhku malam ini,” jelas Nelka. Lita kembali dibuat terkejut olehnya. Nelka, jelas bukan orang biasa dalam hidup Lita. “Kau tahu? Dan kau mengingatku?” Tanya Lita dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Nelka mengangguk. “Sekarang silahkan bunuh aku, dan buat aku melupakanmu,” ujar Nelka kemudian. Lita menyentuh tubuh bersinar sama dengan manik matanya itu. “Menurut seorang ilmuan, hilan adalah kekuatan yang sempurna. Namun sesempurna apapun hilan itu, itu tak mengubah bahwa hilan itu seorang makhluk Tuhan yang mempunyai hati dan perasaan,” ujar Lita menatap Nelka dengan senyuman. “Aku hanya ingin kau menceritakan tentangku sebelum aku mati.” “Kau gila! Kau bisa benar benar mati! Aku gak ingin-” “Cukup ceritakan saja. Aku hanya ingin tahu lebih tentangku sebelum aku-” “Kau adalah kekasihku!” Potong Nelka dengan suara serak; menahan tangis. Ia menceritakan semua hal tentang dia dan Lita. Masa pendekatan, pacaran, sampai perpisahan. “Kau menjadikan dirimu tameng saat ada perampokan di bank sewaktu kita pulang sekolah. Mereka mengarahkan pistol ke arahku dan menarik pelatuknya. Kau… kau melindungiku dengan berdiri di hadapanku, memandangku, lalu katamu, ‘Aku merindukanmu,'” ujar Nelka tenang. Raut wajahnya hanya datar. Membuat senyum kecut muncul di wajah manis Lita yang mulai memucat. “Mungkin aku memang sebodoh itu, ya? Maaf sudah memaksamu untuk menyukaiku,” ucap Lita. Ia mendongakkan wajahnya yang menunduk; menatap Nelka. Wajah laki-laki itu tidak sedatar tadi. Segaris cahaya bulan terbias dari air di pelupuk matanya. Ketika setetes menuruni pipi tirus Nelka, Lita segera menghapusnya. Ia menyentuh halus pipi Nelka. “Aku ingin mengingatmu, walau itu artinya bunuh diri,” gumam Lita lirih, menaruh kedua tangan di pipi Nelka. Nelka memejamkan matanya, menahan sesak dan sesal, lantas menangkupkan tangan kirinya yang bebas ke atas tangan Lita di pipinya. Sebuah kalimat meluncur dari mulut Nelka, mengubah segalanya. “Aku merindukanmu!” Lita tersentak. Ia seperti tersedot ke dalam sebuah kumparan masa lalu. Semuanya, tentang ia dan lelaki di depannya saat ini. Dan kalimat yang sedari dulu ingin ia dengar dari mulut Nelka. “Aku merindukanmu!” Cahaya di manik mata Lita menghilang, begitupun sinar di tubuh Nelka. Lita tiba-tiba lemas dan jatuh, tak sampai menyentuh tanah karena Nelka segera menangkapnya.
“Kenapa… kenapa kau tak bunuh aku saja dan meneruskan hidupmu sebagai hilan, Lit?! Kenapa kamu rela ngorbanin nyawa cuma buat orang seperti aku?!” Teriak Nelka tertahan. Tubuh Lita semakin memudar, berubah menjadi debu. Namun seulas senyum masih terukir di bibir manisnya. “Untuk apa terus hidup tanpa tau apa yang membuatku bahagia? Aku bahagia bisa terus mengingatmu. Maaf aku menyerah seperti ini, tapi pernah memilikimu adalah salah satu anugrah di hidupku. Terima kasih, aku selalu merindukanmu.” Kalimat terakhir mengantar tubuh Lita yang akhirnya hilang bersama angin. Nelka menyadari kesalahannya; menyia-nyiakan ketulusan Lita. Nelka menangis tersedu, ditemani hembus angin malam dan cahaya bulan. Dari balik rimbunnya pohon hutan, seseorang memerhatikannya.
—
Maaf aku menyerah seperti ini. Namun daripada aku harus terus berjuang tanpa bisa tahu siapa kebahagiaanku, begini adalah yang terbaik. Meski harus terus menerus sakit, setidaknya aku tahu untuk apa air mataku turun.
Cerpen Karangan: Sekar Pinestri Blog / Facebook: Sekar Rafa Ini cerpen kedua yg ku kirim. Aku speechless waktu tau cerpen pertamaku diupload. Makasih banget buat Admin yg dah mau nge-upload. Sekian. Hehe