Malam itu, Diana menangis terlungkuk di kamarnya. Diana tidak menunjukan kesedihannya pada kedua orangtuanya, karena itu akan membuat mereka salahpaham. Bahkan saat Andi menghantarnya pulang, dan Andi berpamitan dengan sopan kepada kedua orangtua Diana, Diana berusaha bersikap wajar. “Anak itu sopan, Papah menyukai sikapnya yang begitu hormat sama orangtua.” Ucap Papah Diana, saat Andi telah melarikan motornya. Diana hanya tersenyum, dan gadis cantik itu langsung masuk kamar, dan menangis sejadi-jadinya di kamar.
Waktu berlalu dengan cepatnya. Tanpa terasa, ternyata malam Minggu telah kembali tiba. Seperti yang dikatakan Andi, Dimas benar-benar tiba di rumah Diana malam itu. Papah mengerutkan dahi saat melihat yang datang bukan cowok yang telah datang Minggu lalu. Namun Papah tidak banyak tanya karena mereka toh belum ada yang melamar Diana. Akhirnya, setelah berpamitan, Dimas mengajak Diana ke tempat yang sama, Pantai Alam Indah Tegal. Tidak banyak yang mereka bicarakan selama di perjalanan.
“Kita duduk disini dek.” Ucap Dimas mengajak Diana duduk. Mereka berada di tempat yang malam Minggu lalu ditempati Diana dengan Andi. Mungkin Andi telah menunjukan tempat itu, atau mungkin Dimas yang membuntuti mereka malam Minggu lalu. Namun apapun yang terjadi, dimanapun malam ini Diana dan Dimas duduk, Diana tidak peduli lagi. Toh harapannya juga telah hancur di tempat ini, toh cintanya terhadap Andi juga telah terhempas oleh derasnya ombak di laut ini. Dan Diana, sudah menyiapkan jawaban untuk Dimas, tanpa dipikirnya secara masak terlebih dahulu. Bagi Diana, semua telah tidak ada artinya, bagaikan berjalan tanpa tujuan.
“Tujuan aku mengajak kamu ke tempat ini, aku ingin mengingatkan kamu pada pristiwa Minggu lalu.” Diana hanya mengangguk mendengar suara Dimas yang serasa sangat sumbang di telinganya. “Dan tentunya, aku juga ingin menagih jawaban kamu.” Ucap Dimas melanjutkan kata-katanya. “Aku nggak pernah merasa berhutang jawaban sama kamu, karena malam itu aku bersama Andi, cowok yang sangat aku cintai.” Ucap Diana, namun hanya dalam hati. Namun pada kenyataannya Diana masih mengangguk kecil mendengar ucapan Dimas. “Jadi bagaimana jawaban kamu?” Tanya Dimas dengan suara gemetar. Diana mengangguk, dan betapapun pedih hatinya, namun Diana mencoba tersenyum. “Jadi, kamu menerima aku?” Tanya Dimas dengan senyum di bibirnya. “Iya, aku menerima kamu.” Kali ini Diana mengeluarkan suaranya. Secara refleks Dimas akan memeluk Diana, tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang di jalan yang tidak jauh dari tempat itu. Diana mendorong tubuh Dimas dengan pelan, lalu cewek itu mengajak Dimas lebih mendekat ke pantai. Ada gubuk kecil di tempat itu, yang agaknya dipakai untuk berjualan kalau siang. Mereka menuju ke tempat itu, dan Dimas kembali memeluk Diana. Kali ini Diana tidak menolak pelukan Dimas, bahkan Diana malah membayangkan Andi yang memeluknya. “Aku mencintaimu, sayang.” Ucapan itu terdengar dari mulut Dimas. Dimas membelai rambut Diana, dan Dimas mendekatkan wajahnya ke wajah Diana. Tidak lama kemudian, bibir merekapun telah berpagutan dengan hangat.
Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata dari jauh terus mengamati mereka. Ya, Andilah yang memiliki sepasang mata itu. Dengan hati yang pedih Andi mengelus dadanya. “Tugasku sudah selesai, aku sudah menyatukan hati mereka.” Ucap Andi dalam hati. Andi bangkit dari tempat duduknya, lalu mengambil motornya.
Tapi ternyata dari tempatnya tanpa sengaja Diana melihat Andi. Kali ini Diana tidak ragu lagi, bahwa dari tadi Andi ternyata mengamatinya dari jauh, dan tentunya melihat apa yang telah Diana lakukan dengan Dimas. Diana melihat Andi menstarter motornya, lalu cowok itu melaju motornya dengan kecepatan yang tinggi. Diana merasa bersalah pada Andi, karena Diana sangat mengerti perasaan Andi.
“Apa yang kamu lamunkan sayang?” Tanya Dimas yang melihat Diana daritadi melamun. “Nggak, aku nggak papa, kak.” Jawab Diana singkat. “Kamu kecewa dengan jadiannya kita?” Tanya Dimas curiga. “Nggak kak, aku sama sekali nggak kecewa.” Dimas tersenyum mendengar jawaban Diana. Cowok itu lalu melihat arlojinya. “Sudah hampir jam sembilan, kita pulang yuk. Tapi aku sekalian pamit ya, besok aku pergi lomba ke Semarang, selama 3 hari. Tapi tenang, malam Minggu kan aku sudah kembali pulang, jadi kita bisa jalan lagi deh.” “Hati-hati, Kak, dan semangat lombanya, semoga Kakak berhasil menjadi yang terbaik.” Jawab Diana. Andi tersenyum mendengar jawaban Diana yang telah membuatnya semakin bersemangat untuk mengikuti lomba nanti. Mereka berduapun segera naik ke motor, dan Dimas langsung melarikan motornya ke rumah Diana.
Pagi itu, Diana lagi santai sambil nonton Tv. Dimas sudah berpamitan pergi ke Semarang jam 6 tadi. Berhubung Diana merasa pagi itu tidak ada kegiatan apapun, Diana akhirnya hanya duduk di depan Tv sambil sesekali merenungkan cintanya pada Andi.
Namun belum lama Diana merenung, Diana dikagetkan oleh HP-nya yang berdering nyaring. Bram ternyata yang meneleponnya. “Halo, ada apa kak Bram?” Tanya Diana saat menerima telpon itu. “Halo, di. Aku mau mengabarkan, kalau teman kita mendapat musibah Di.” Ucap Bram di ujung telpon. “Siapa yang mendapat musibah, Kak? Cepet katakan dong.” Tanya Diana panik. “Baru saja Andi kecelakaan Di, motornya bertabrakan dengan mobil saat dia mau ke studio.” Seketika Diana kehilangan tenaga mendengar ucapan Bram. Namun meskipun demikian, Diana masih mempertahankan Hp-nya, agar tidak terjatuh dari tangannya. “Terus, gimana sekarang keadaan kak Andi, Kak? Kak Andi nggak papakan? Kak Andi baik-baik saja kan?” Tanya Diana sambil terisak. “Sekarang Andi berada di rumah sakit, keadaan Andi sangat kritis, mohon doanya untuk Andi, Di.” Diana tidak mampu lagi menggenggam HP-nya, sehingga HP itu terlepas dari genggaman tangannya. Diana terduduk di sofa dengan lemasnya, dan tidak lama kemudian gadis itu tak sadarkan diri.
—
“Aku pamit, Di.” Ucap Andi pada Diana. “Jangan pergi, kak, aku sayang sama kak Andi.” Jawab Diana dengan airmata yang berlinang. “Aku titip Dimas, Di. Tolong kamu sayangi dia, jangan pernah kamu sakiti hatinya, karena dia sangat menyayangimu.” Ucap Andi. “Aku cuma menyayangi kakak, aku tidak menyayangi cowok lain selain kakak.” Jawab Diana dengan tangis yang semakin menyayat hati. “Tapi ini sudah waktunya aku pergi, Di. Kalau kamu pernah berkata bahwa aku tidak akan pernah berhasil memeluk bintang sampai aku mati, maka ucapanmu benar Di. Karena kamulah bintangku, dan aku tidak akan pernah berhasil memelukmu sampai saat ajalku telah tiba.” Ucap Andi. “Jangan ngomong seperti itu, kak, jika memang akulah bintang yang kakak maksud, peluklah aku kak, sekarang bintang itu ada di depan kakak, dan telah siap menyambut pelukan kakak. Peluklah aku kak, peluklah aku.” Jawab Diana dengan airmata yang semakin membasahi pipinya. “Tidak Di, hanya Dimaslah yang akan mampu memelukmu selama hidupmu. Kini sudah saatnya aku pergi, selamat tinggal.” Ucap Andi, dan tubuh Andi smakin memudar laksana asap yang tertiup angin. Diana akan memeluk tubuh Andi, namun hanya ruang kosong dan hampa yang telah di peluknya. Andi kini benar-benar telah pergi. Diana berteriak memanggil nama Andi, namun tidak ada jawaban.
Bahkan tiba-tiba Diana berada di sebuah ruangan, yang semakin lama semakin dikenalnya, bahwa itu ternyata kamar Diana sendiri. Lalu, Diana melihat Papah dan Mamahnya duduk di sampingnya, menunggui Diana yang terkulai di tempat tidur dengan lemahnya. “Kamu sudah sadar, nak.” Ucap Mamah dengan lembutnya, lalu menyentuh dahi Diana dengan tangannya yang terasa nyaman. “Ambilkan air minum, Mah.” Ucap Papah pada mamah. Dan semakin lama, Diana semakin sadar sepenuhnya, bahwa dirinya tadi pingsan, dan di dalam pingsannya Diana bertemu Andi yang berpamitan akan meninggalkannya. Dan Diana telah teringat, bahwa Andi telah mengalami kecelakaan.
Tanpa menghiraukan Mamahnya yang memberikan segelas airminu, Diana telah bangkit dari tempat tidurnya sambil berteriak-teriak memanggil nama Andi. Diana meminta Papahnya untuk mengantar ke ruma sakit, menjenguk keadaan Andi. Papah tidak kuasa untuk menolak kemauan Diana, betapapun tubuh Diana masih sangat lemah. Akhirnya papah dan mamahnya Diana menghantarkan Diana ke ruma sakit, untuk menjenguk keadaan Andi.
Sesampainya Diana di rumah sakit, Diana langsung berlari tanpa menghiraukan apapun. Bram yang melihat Diana, langsung menenangkan Gadis itu. “Dimana Kak Andi, Kak Bram? Kak Andi nggak papa kan? Kak Andi baik-baik saja kan?” Tanya Diana yang kondisinya sebenarnya sangat syok dan lemah. “Kamu yang sabar, Di, kita semua telah merasa kehilangan.” Jawab Bram dengan airmata yang mulai membasahi pipinya. “Maksud Kak Bram apa?” Tanya Diana. “Andi telah pergi, dia telah meninggalkan kita semua.” Diana langsung terjatuh kembali tak sadarkan diri. Semua orang menjadi panik, terutama Papah dan Mamahnya Diana. Bahkan yang membuat mereka semakin panik, mereka melihat darah yang keluar dari mata, hidung, serta telinga Diana. Dokter langsung menangani Diana saat itu, namun ternyata Diana telah pergi untuk selamanya Mengejar Cintanya Andi.
Senin, 9-01-2017. Dimas terduduk di samping 2 gundukan tanah yang masih basah. Dimas tidak menyangka, bahwa kubur itulah, kubur Diana, wanita yang sangat dicintainya, dan kubur Andi, sobat yang sangat disayanginya. Air mata Dimas jatuh berlinang, lalu bibirnya mengucapkan kata: “Selamat jalan Sobat, selamat jalan kekasihku, kalian akan menjadi sepasang kekasih yang berbahagia di surga.”
TAMAT.
Cerpen Karangan: Muhammad Ainul Yaqin Blog: geriacerita.blogspot.com Seorang tunanetra dari Tegal yang sangat hobby menulis