“Sa…”, panggil Damar dari jauh. “Iya… apa…”, sahutku sambil menghampirinya yang ada di parkiran. “Nggak pa pa, manggil doang kok”. “Ih, kirain apaan”. “Emangnya kalau aku manggil pasti hal penting”. “Enggak juga sih, ya… aneh aja kamu teriak-teriak, nggak biasanya”, jawabku jujur. “Aku cuma mau lihat wajah kamu, aku takut kalau nanti aku nggak bisa lihat wajah kamu lagi Sa”, jawabnya dengan nada sendu. “Maksud kamu apa”, ucapku dengan nada ingin tahu. “Nggak pa pa kok, aku cuman bercanda, oh ya, kamu pulang sama siapa?”, jawabnya dengan sedikit senyum. “Ohh, aku pulang sama kak Yoga, tumben kamu nanyain, setahu aku 2 tahun kita sekelas baru ini kamu nanya gitu”, jawabku dengan jujur, aku ingin tahu lebih jauh tentang dia, ingin tahu kenapa dia nanya gitu sama aku, karena sesungguhnya aku suka sama dia, sejak pertama kali aku lihat dia, hanya… mungkin aku saja yang ada perasaan dengannya, mungkin dia tidak. Tapi, hari ini dia bertanya seperti itu, apakah ini awal dari balasan perasaanku selama ini ke dia. “Nggak pa pa, nanya doang kok, emang gak boleh”. “Boleh kok, emang siapa yang larang, cuman… ya.. seperti yang kubilang tadi… aneh ajaaa nggak biasanya”. “Terserah kamu deh, tapi suatu saat kamu akan tahu kenapa aku manggil kamu hari ini”, jawabnya dengan wajah tanpa ekspresi.
Malam pergi untuk sementara dan pagipun menyapa, ayam berkokok bersahut-sahutan, alarm berbunyi dengan keras, telah kuselesaikan salatku, waktunya berkemas untuk pergi ke sekolah, entah kenapa hari ini aku sangat ceria, tidak seperti biasanya yang biasa-biasa saja, hari ini seolah-seolah aku dapat balasan cinta yang diinginkan, tapi nyatanya tidak, hanya angan yang tak kan tercapai.
Tiba di sekolah, aku langsung menuju ke kelas setelah berpamitan dengan kakak sepupuku kak Yoga, kebetulan dia adalah kakak kelas sekaligus ketua OSIS di sekolah. Sampai di kelas kulihat sudah banyak siswa maupun siswi yang datang, dan tak ketinggalan dua temanku sekaligus sahabatku juga sudah datang. “Selamat Pagi”, sapaku pada mereka berdua Nina dan Cika, aku sengaja tidak mengucapkan salam pada mereka, karena salah satu temanku berbeda agama denganku yaitu Cika. “Pagi juga”, sahut mereka serempak. “Kalian lagi ngapain”, tanyaku, karena melihat mereka sedang menulis sesuatu. “Lagi… ngisi… TTS ni..”, jawab Nina. “Kalau aku lagi bingung, mau nulis apa. Emmmm… aha!!”, sambung Cika. Aku membiarkan aktivitas mereka, dan kulihat-lihat sekitar, dari tadi tidak nampak dimana Damar, aku jadi khawatir dengan apa yang ia ucapkan kemarin, walau dia bilang itu bercanda.
Krrriiiinnngggg… Bel telah berbunyi, tanda pelajaran akan segera dimulai, Damar tidak juga muncul, apa yang ia ucapkan itu benar, bahwa ia memanggilku karena ingin melihat wajahku, karena ia takut tidak dapat melihat wajahku lagi, apa perasaannya sama dengan perasaan yang kurasakan. Pikiranku campur aduk, hingga akhirnya buyar karena guru Bahasa Indonesia kami datang.
“Selamat Pagi anak-anak”. “Pagi bu…”, jawab kami serentak. “Anak-anak, sebelum ibu memulai pelajaran, ibu ingin menyampaikan sesuatu, teman kita Damar mengalami kecelakaan, dan menurut berita yang ibu dengar kecelakaannya cukup parah, jadi mohon kita semua mendoakannya supaya ia diberi kesembuhan, dan jika kalian ada waktu, ibu harap kalian bisa menjenguknya, ibu juga nanti akan ke rumah sakit untuk menjenguknya”, jelas ibu Nandini guru Bahasa Indonesia kami. “Apa.. dia kecelakaan, kapan, kenapa, parah, apa yang terjadi padanya sekarang”, gumamku dalam hati.
Krrriiiinnngggg… Bel pulang sekolah berbunyi, kami sekelas memutuskan untuk menjenguk Damar.
Sampai di rumah sakit kami langsung menuju kamar, dimana Damar dirawat. Kulihat tubuh itu telah ditutupi kain, kami terlambat, Damar telah tiada, Damar telah meninggalkan kami semua, Damar meninggal. Air mataku jatuh, kulihat di kursi tunggu juga ada yang meneteskan air mata, iya mereka adalah kedua orangtua Damar dan adik perempuan Damar, di pojok lain teman sekelasku juga menangis, ruang itu dipenuhi tangis semua orang. Angan tetaplah angan, hanya sebuah khayalan tidak pernah jadi kenyataan, aku tidak akan pernah dapat balasan, aku tidak akan pernah tahu apakah Damar juga mencintaiku atau tidak, aku rapuh, cintaku telah tiada, cintaku telah pergi.
Air mataku terus mengalir, sampai seorang gadis kecil menghampiriku, dia adalah adiknya Damar. “Kakak, kakak Melisa kan”, tanyanya. “Iya, benar, ada apa”, jawabku sambil mengusap air mataku dengan jari tangan. “Saya, Citra adik kak Damar, kak Damar pernah bilang, selain saya ada orang yang paling dia sayang. Saya cemburu lihat kakak, karena orang yang kakak bilang itu adalah kakak. Ini sebelum berangkat ke Masjid, kakak ngasih ini ke saya, dia bilang kasih ke kakak Melisa, ini kak”, ucapnya dengan linang air mata sambil menyodorkan sebuah surat berwarna biru muda. Kuambil surat itu, kubuka perlahan, dan mulai kubaca.
Untuk: Melisa Anggraini (Pencuri hati).
Aku nggak tahu, kenapa tiba-tiba aku ingin nulis ini, tapi yang pasti… aku nulis ini dengan penuh harapan.
Mel, aku suka sama kamu, sejak pertama kali aku lihat kamu, aku sering memperhatikan kamu dari jauh, tapi aku sadar… mungkin kamu nggak pernah suka sama aku. Mungkin aku aja yang terlalu berharap. Tapi, asal kamu tahu… aku ingin sekali dapat balasan cinta dari kamu, hinggaaa… hari ini aku memberanikan diri manggil kamu. Aku ingin bilang aku suka sama kamu, aku ingin kamu jadi milik aku, tapi entah kenapa aku berpikir bahwa itu adalah hari terakhir aku lihat kamu. Aku juga berfikir, mungkin ketika kamu baca surat ini aku udah nggak ada, aku nggak tahu harus ucapin apa, intinya aku cinta dan sayang sama kamu, satu harapan aku, semoga perasaanmu sama dengan perasaanku, karena aku ingin dapat balasan cinta darimu. Maaf jika surat ini membuatmu marah.
Dari: Muhammad Damar Maulana.
Air mataku makin tumpah, setelah membaca surat ini, ternyata perasaan kami sama, ingin mendapat balasan cinta. Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan, cintaku terbalas.
Kupegangi terus surat ini, walau air mata terus bercucuran. “Damar… andai aku tahu dari awal bahwa kamu juga mencintaiku, dan andai kamu tahu bahwa aku juga mencintaimu, mungkin kita akan bahagia, walau sesaat, karena kita tidak bisa menghalangi takdir. Tapi, setidaknya cinta kita sama-sama terbalas. Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku, bagiku itu sudah cukup, inilah balasan cintaku. Cintaku terhalang kematian, jemput aku Damar. Aku ingin selalu bersamamu”. Lirihku dengan derai air mata.
Cerpen Karangan: Jainah