TIDURLAH, Shadrina. Benamkan hati yang lara…
—
Gerimis turun. Sejenak lagi mungkin hujan deras. Aku berjalan lebih cepat seperti orang-orang lain yang bisa kulihat. Kutapaki trotoar, melewati apa saja yang ada di sana. Kaki lima, parkir motor, warung gerobak, tukang bakso, anak-anak SMP merokok, dan banyak lagi orang yang tidak satupun aku kenal.
Setelah 200 meter, aku berhenti, lalu menunggu jalanan lengang untuk menyeberang ke sisi lain. Ada seseorang berdiri di sebelahku. Perempuan. Rupanya aku punya teman untuk menyeberang. Kucoba tersenyum padanya, namun hanya terbalas tatapan dingin tanpa ada respek dari keramahan yang sudah kutawarkan. Cewek sombong, batinku.
Tatapan itu langsung dibuangnya ke lalu lintas kendaraan. Setelah dianggapnya sepi, kakinya lekas melangkah untuk membelah jalan. Padahal, aku masih melihat satu sepeda motor yang sudah dekat melaju dari arah kiri. Entah kenapa perempuan itu tidak memperhatikannya. Dia hanya membidik ke kanan.
Aku yang refleks langsung menggapai sebelah lengannya. Bisa saja, roda motor bebek itu menghantam kakinya kalau tidak segera kutarik tubuh mungil perempuan itu.
“Heyyy!” Si Pengendara memekik, lajunya melambat, dan kaca helmnya diangkat untuk menunjukkan wajah yang gusar. Aku tahu persis apa yang dirasakan pria itu. Jengkel! “Apa-apaan sih, kamu!?” Bentak perempuan yang hampir mampus itu sembari menghempaskan tanganku.
Kalau dilihat dengan kacamata logika, bukankah aku baru saja menyelamatkan dirinya dari celaka? Lalu apa alasannya hingga dia memarahiku? Heran. Apa memang perempuan selalu bersikap seperti itu?
“Maaf,” ucapku setelah tertegun sebentar “saya cuma tidak suka melihat orang nyeberang sembarangan” sewotku.
Aku beranjak meninggalkan Dia. Entah apa yang sedang dirasakannya. Lebih tepat, dipikirkannya. Dia kini mematung setelah tadi memaki. Sepertinya ada hal yang sudah memekakan emosinya. Kalau tidak sedang menstruasi, mungkin patah hati.
Matanya memang sedikit lembap, dan tidak ada warna apapun di wajah itu selain kemurungan yang melekat. Namun, aku lihat dia perempuan yang manis. Hanya sikapnya yang terlalu sinis.
—
Di sebuah kedai yang mulai ramai, di saat hujan benar-benar merinai.
“Sori…” Aku sedang membalas WA ketika seseorang mengulurkan tangannya ke wajahku. Kepalaku mendongak. Dia, perempuan yang tadi nyaris ‘ketabrak’. Jangan-jangan aku dibuntuti saat masuk kedai ini. Atau mungkin hanya kebetulan?
“Buat apa?” Tanyaku malas. “Jabat saja tanganku, agar aku lega dan tidak memikirkan masalah lebih banyak lagi” ucap perempuan itu lemah “dan maafkan salahku beberapa menit yang lalu”
Aku mengerti. Tanpa perlu menunggu apapun lagi, segera kusambut uluran tangan itu. Mumpung sinisnya sedang reda, dan nada suaranya juga lebih tenang. Dari ucapannya barusan, sudah kuduga kalau perempuan ini memang sedang dikacaukan pikirannya oleh sesuatu. ‘Jabat saja tanganku, agar aku lega dan tidak memikirkan masalah lebih banyak lagi’
Kupikir dirinya hanya ingin meminta maaf, lalu pergi. Namun ternyata tidak. Dia izin duduk di mejaku (baca: kursiku). Aku persilakan. Toh tidak ada teman yang sedang aku tunggu. Tanpa kutanya, dia sebut namanya, Shadrina. Kubalas dengan menyebut namaku, Rama.
“Mau kupesankan minum?” Aku menawari. Shadrina menggeleng. Aku tahu dia bukan sedang berpuasa, tapi lidahnya memang sedang tidak berselera apa-apa. Kecuali, mungkin, untuk mengucap segala sesuatu yang tengah mendera dirinya.
Pada dasarnya, Shadrina sudah menyematkan satu tanda tanya ke kepalaku saat pertama kali ia memaki. Di mana ada orang marah-marah pada superhero yang sudah menolongnya? Tidak ada, kecuali orang itu sedang dirundung sesuatu masalah. Maka itulah, akhirnya Shadrina memberi alasan panjang-lebar dengan menuturkan kisah pilunya padaku.
Hingga gelasku nyaris kering, dan bunyi hujan juga mulai hening, ia sudah bercerita banyak. Tapi hanya sedikit yang kusimak. Tidak terlalu mendengarkan karena aku sendiri sedang sibuk dengan Facebook. Hanya sesekali aku menatap bibirnya yang kering terus mengalur kata-kata. Dan matanya yang kulihat mulai berembun.
Shadrina lari dari rumah, lantaran ibu-bapaknya telah tega menghancurkan hubungan cintanya dengan seseorang. Cinta tak direstui. Sebenarnya aku tidak pernah suka dijadikan tempat curhat dari siapapun. Apalagi dari orang yang tidak benar-benar aku kenal. Aku tidak bisa memberi solusi apa-apa.
“Biasanya orang bermasalah sepertimu akan minggat ke rumah pacar, kan?” Cetusku asal ingat.
Wajah Shadrina malah tenggelam mendengar ucapanku. Tubuhnya terguncang-guncang sesenggukan. Rupanya benar, aku bukan pakar masalah. Tidak bisa membuat tenang, malah bikin dia tambah sedih. Dan aku bingung kalau melihat perempuan menangis. Apalagi dia bukan siapa-siapaku.
Aku menghela nafas. Sebenarnya ingin mendesah jemu, tapi takut terlihat kalau aku sudah benar-benar ‘bete’. Rasanya aku ingin pulang dan mandi. Merasa lusuh. Sedari pulang kerja tadi, bahkan aku belum cuci muka sama sekali. Mungkin motorku sudah selesai di bengkel. Dan sepertinya aku berhak permisi pulang.
“Pulang?” Shadrina terperangah, suaranya pecah-pecah, “boleh aku ikut?” Pintanya ragu.
Kedua alisku langsung naik. Apa dia bilang? Lontaran kata yang sama sekali tidak kuharapkan. Percuma saja permisi pulang. Alasannya kan memang karena aku sudah jemu mendengar keluh-kesahnya.
“Mau apa? Bukankah tadi aku tanya sama kamu? Kenapa tidak kau jawab? Kenapa kamu tidak pergi ke tempat pacarmu saja?” Notasiku naik.
Shadrina menghela nafasnya yang sesak, lalu menatap mataku dalam tiga detik, kemudian dia mulai lagi bercerita, tentang kekasihnya. Kali ini aku coba mendengarkan baik-baik. Namun tetap saja, aku tidak akan menganggap apapun yang menjadi masalahnya sebagai urusanku.
“Namanya, Reno…” Ia memulai dengan suara patah-patah. Shadrina lanjut bercerita. Katanya, begitu Reno mendapat cercaan pedas dari orangtuanya, ia merasa begitu sakit hati. Gugur niatnya untuk mempertahankan, dan memperjuangkan cinta Shadrina bersamanya. Lalu Reno memilih pergi, sejauh mungkin dari Shadrina. Aku mulai terseret arus cerita yang dipapah perempuan sedih itu. Hatiku perlahan meleleh. Betapa keputusan Reno telah memecut hati perempuan yang seharusnya ia rengkuh. Kuanggap Reno tidak sungguh-sungguh menyayangi Shadrina. Cintanya tidak sejati. Setelah terseret, tak urung juga perasaanku hanyut, lalu karam di dasar kepiluan gadis yang sudah membuatku terharu itu.
Entah sejak kapan aku memulai, tanganku tiba-tiba sedang menggenggam jemarinya. Begitu lembut. Mungkin aku sedang ingin memberi satu ketentraman untuknya. Saat itu juga aku ingin berada lebih lama di sisinya. Menemaninya.
Ada senyum yang tumbuh meski sedikit, ketika kusetujui pintanya untuk menyertaiku pulang.
—
Tubuhnya letih lunglai. Hingga tak lama setelah kutinggal merebus mie instan, Shadrina sedang terlelap di depan televisi saat aku sudah kembali. Aku tidak akan membangunkannya. Kuselimuti dia dengan hati-hati, berharap hangat mengantarnya pergi ke alam mimpi.
Tidurlah, Shadrina. Benamkan hati yang lara. Gumamku, setelah kukecup lembut keningnya.
End
Cerpen Karangan: Aditya Ramadhan Blog / Facebook: Aditya Ramadhan Aditya Ramadhan, Cirebon.